

Puisi
Puisi-Puisi Muhammad Husein Heikal
Kita Mengetahui Cara Keluar untuk Mendekat ke Paris
__untuk The Chainsmokers
mendekatlah
aku tak dapat berhenti memikirkan betapa menariknya dirimu
anugrah apa yang diberikan pencipta padamu
dan keajaiban apa pula yang diberikan padaku
tubuh kita yang menyatu meluruh segala detak waktu
kita memutuskan untuk berpindah kota demi kota
tak bisa berhenti, setiap sudut habis kita jelajahi
kita meyakini tak pernah bertambah tua bila terus berkelana
dan terus bersama
jangan pernah meninggalkan tubuhku
disaat gigil yang membutuhkan pelukanmu
masuklah dalam diriku dan keluarkan segala gelisah
dan kegelapan yang memerangkap resah
bawalah aku menuju kerlap-kerlip lantai dansa
aku pikir itu akan membahagiakan
bagi pengelana seperti kita
ayo, kita lakukan semua secara perlahan
setiap belokan tak menjadi kesulitan
bila kita memahami diri kita masing-masing
seperti menyadari merahnya mawar
senantiasa lebih indah dan lebih mekar
bila disematkan diatas telingamu
semua yang kita ketahui
hanyalah tentang kita berdua
dan kota demi kota yang kita lalui bersama
hingga kita memutuskan untuk tinggal dikota yang sama
pada Paris, kita berikan seluruh cinta
kau tak meninggalkanku
aku tak meninggalkanmu
senantiasa
2017
Liburan ke Amsterdam
ketika argometer taksi yang kita naiki rusak
kita memutuskan untuk menjadi pejalan kaki
menghirup aroma malam Amsterdam
lampu gas sepanjang jalan, dan embun yang
menetas dimekar bebunga satu persatu
kita terhenti sejenak
menikmati titik-titik cahaya dari jembatan
mencoba mengingat masa lalu masing-masing
dalam genggaman tangan
dan merasakan cincin yang dingin
nafas kita yang berasap
dan kita berciuman
diujung malam
Amsterdam
2017
Kamera
__untuk Ed Sheeran
secangkir kenangan bisa membuatmu tidak bisa tidur
dirimu menjadi teman bagi malam yang tenang
serta teman bagi hewan-hewan nocturnal
pemangsa bagi siapa saja yang lewat didepannya
kau mengambil kamera yang diberikan kekasihmu
sebagai hadiah ulang tahun, yang kau sendiri
tidak ingat: apa aku pernah dilahirkan?
kau potret bulan, kau potret malam
pepohonan, tanah, udara, air, rumah vertikal
hewan kecil yang lupa pulang
semua masuk kedalam memori kamera
maka itu kau sebut sebagai kenangan
esok paginya, matamu merah kekasihmu datang
ia mengecup bibirmu berulang dan membuka baju
kau diam seperti seorang pesuci
kekasihmu tak peduli dan ia mengambil kamera
pergi kekamar mandi untuk mengecek kenangan
sampai malam menjelang matanya tidak berkedip
sebelum ia menyadari kekasihnya telah mati
karena terlalu banyak melihat kelamnya kenangan
2017
Efek Hibernasi Hari Sabtu
aku sudah terlalu bosan dengan masa lalu
hanya berisi kenangan yang tak dapat diulang
aku ingin masa depan sebagai masa akan datang
dan akan ku isi masa depan dengan puisi
untuk menjadi pelindung dingin dihari tua
sebab aku tahu diriku akan mati
akan meninggalkan dirimu dan puisi
mungkin juga sebuah rumah sederhana
dengan taman bunga dan sepasang anggora
untuk kau nikmati setelah aku tiada
semestinya aku takut dengan masa depan
sedikit pun aku tidak punya persiapan
setiap hari aku hanya berkeliling
menjajakan kata-kata dibeberapa kantor media massa
ada yang tertarik, dan aku memaknai itu
sebagai kemenangan, meski lebih banyak yang tertawa
menuduh aku adalah bagian masa silam yang terlupa oleh sejarah
ya, hanya itu masa sekarang yang dapat kulakukan
pernah aku mencoba untuk mencari beasiswa masa depan
betapa sayang umur harus dihitung dengan tahun, kata mereka
sedang aku telah setia menjadi detak bagi setiap detik
pernah pula kulihat ditelevisi seorang peramal
yang bisa melacak masa depan
aku bergegas melompat masuk kedalam televisi
mengejar peramal yang langsung lari begitu melihatku
aku tak ingin memaksanya, aku kembali keluar dari televisi
ketika suasana telah malam, kabut telah mengelam
entah mengapa, tiba-tiba aku ingin belajar cara merenovasi waktu
2017
Penyair Kelana
[titimangsa menjadikanmu pengelana
bagi kota demi kota
dan
puisi menjadikanmu petarung
menakluk kata demi kata]
ketika kau berada di Djibouti kau teringat
gadis-gadis kecil berkerudung letih
berlarian untuk pergi mengaji ke surau
tapi di Palestina mereka memanggul luka
sedang ayahnya menjadi mortir dan senjata
darah menyemerbakkan amisnya
sampai ke Tanah Suci
tanah damai yang riuh makhluk pemuja Tuhan
ayat-ayat suci dilantun mendengung hingga ke Selatan
tempat hewan berbulu tebal mendekap lembut anaknya
seperti orang Amerika yang cinta pada tanah airnya
setelah merdeka dari tuan tanah Inggris
kau menyadari ketika mentari menyapa pagi
perang adalah kodrat bagi manusia
agar bumi tidak terlalu sempit
dan pedang Izrail tak perlu ditebaskan
seperti orang Prancis yang menebang tiang bendera
negara dan kaum sendiri sebangsanya
airmata menumpah dilayar televisi
seorang anak berkulit hitam berumur lima tahun
melemparkan topinya hingga ke Aljazair
semestinya dibulan rajab Raja Arab
harus menemui Nebukadnezar
untuk bercerita tentang Ratu Balqis menyantap kurma
dari kota Spinx, patung berkepala singa
kau terlanjur meyakini perkataan ilmuwan
dunia itu berputar, sedang jiwamu bergetar
ketika mengangkat telepon dari ibumu
Tanah Air, tanah tempat kau mengais masa kecil
bersama sekumpulan anak bugil
menceburkan diri pada kedalaman makna kehidupan
yang kini kau saksikan diseberang samudera
memisahkan berbagai pengetahuan
meski di Berlin kau baru menyadari
hidup terlalu penuh kekesalan dan kekejaman
nyawa bisa kehilangan arti
bahkan kata bisa kehilangan makna
dan barangkali kau telah kehilangan Dia
seperti grizzly yang buta
kau memutuskan terjun ke dasar lembah
2017
______________________
Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997. Saat ini tengah menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara. Menulis puisi, terkadang cerpen dan esai, yang termuat Horison, The Jakarta Post, Kompas, Utusan Malaysia, Media Indonesia, Koran Sindo, Koran Jakarta, Republika, Investor Daily, Analisa, Waspada, Medan Bisnis, Mimbar Umum, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Lampung Post, Riau Pos, Rakyat Sumbar, Merapi, Haluan, Sumut Pos, Suara Karya, Rakyat Sultra, Koran Amanah, Koran Madura, Koran Pantura, Tanjungpinang Post, Pontianak Post, Tribun Bali, Malang Pos, Lombok Post, Kabar Madura, Tribun Jateng, Harian Fajar, Aksara, Majalah Puisi, Majalah Sagang, Jejak. Selain itu termuat pula dalam buku antologi Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Esai Pilihan Riau Pos, 2015), Merenda Hari Esok (Aksara, 2016), Perayaan Cinta (Puisi Inggris-Indonesia Poetry Prairie, 2016), Ketika Tubuhmu Mawar (Puisi Terbaik Sabana Pustaka, 2016), Menenggak Rindu (Puisi Pilihan Sabana Pustaka, 2016), Pulang (Sajak-sajak Anak Negeri, 2016), Perempuan yang di Pinang Malam (Puisi Pemenang Negeri Kertas, 2016), Mengais Makna (Puisi Pilihan Stepa Pustaka, 2016), Pasie Karam (Temu Penyair Nusantara, 2016), Matahari Cinta Samudra Kata (Hari Puisi Indonesia 2016), 1550 MDPL (Pesta Penyair Kopi Dunia, 2016), Cinta yang Terus Mengalir (Ta’aruf Penyair Muda Indonesia, 2016), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (Festival Puisi Bangkalan II, 2017) dan Antologi Rupa Sastra (Negeri Kertas, 2017).
Puisi
Puisi Musim Hujan

Nyanyian Hujan
Kita yang membakar api
Kau yang memilih tersedu
Jika tidak karena lukanya, kita telah sirna
Jika tidak karena ratapmu, kita telah menua;
Dan sia-sia
Nyanyikan lagi lagu jiwamu
Aku telah terkutuk mendenger deritamu
Cinta kita yang semi tanpa musim
Tumbuh dari akar kengerian
Jika tidak karena lukanya, kita telah sirna
Jika tidak karena ratapmu, kita telah menua;
Dan sia-sia
Betapa fana cinta betapa lara asmara
Betapa abadi rasa betapa dalam tangis
Kita yang terbakar dan habis
Jika tidak karena lukanya, kita telah sirna
*
Jika saja kau ingat
Betapa lembut tatapmu dulu
Betapa gairahku pada sekujur jiwamu
Seakan seluruh bumi menjadi musik
Kita lagut dalam tari yang mabuk
Betapa tak perdulinya
Jiwa kita alangkah bebasnya
Tidak gerak dari kerling matamu
Adalah madah dan sihir bagi jiwaku
Hidupku karena kerling matamu
Sungging senyummu nyawaku
Walau telah pasti kita kan sama pergi
Ke kubur tergelap nun abadi
Kenakan gaunmu warna merah
Tunggu aku di puncak kesunyian
Aku datang dengan selendangmu
Mengantarkan nasibku pada kengerianmu
Kita sama pergi kita sama abadi
Biarkan musik mengalun, kita terus saja
Menari-narikan tarian jiwa
Nyalakan api dalam matamu
Biar kita terbakar; dan puisi menjelma mantera
Dari dalam jiwa paling diliputi cinta.
Sayangku, siapa itu mengintip dari celah langit
Seperti maut menyungging; dan kita terus menari..
O, apa yang lebih ngeri dari matamu yang berhenti
mengerling?
Dan jiwaku ingin mati dalam kerling cintamu, pada
matamu..
Jakarta, 7 April 2016
Yang Hilang Dalam Hujan
Rambutmu cahaya petang
Kakimu tarian abadi
Kerling matamu ranjang sukmaku
Aku luruh pada sejengkal tulang dilehermu
Keindahan sepanjang kemabukan
Pada bibirmu aku menuju kebebasan
Kita berpagut tiada henti
Seolah sebantar lagi kita pergi…
*
Hentakkan lagi dan tertawalah
Lepas itu kita ke laut
Menacari kebebasan biar pasti karam
Tapi telah pasti kita pemberani
Mengayuh sampan walau rapuh
Ke tengah ke intinya penghidupan
Tiada sawan menali
Kita memang memilih pergi…
*
Jika saja kau ingat
Bagaimana aku luput
Ketika rambutmu tergerai
Dan matamu melesat ke dalam jiwaku
Kuserahkan seluruh
Kau menali—kita telah luruh.
Jakarta, 23 Maret 2016
___________________________
*) Sabiq Carebesth: Lahir pada 10 Agustus 1985. Pendiri Galeri Buku Jakarta (GBJ). Buku kumpulan sajaknya terdahulu “Memoar Kehilangan” (2012), “Seperti Para Penyair” (2017).
Classic Poetry
Puisi Georg Trakl

Musim Gugur Yang Cerah
Begitu akhir tahun; penuh megah.
Bertanggar kencana dan buahan ditaman
Sekitar, ya aneh, membisu rimba.
Yang bagi orang sepi menjadi taman.
Lalu petani berkata: nah, sukur.
Kau bermain dengan senja Panjang dan pelan
Masih menghibur dibunyi terakhir
Burung-burung di tengah perjalanan.
Inilah saat cinta yang mungil
Berperahu melayari sungi biru
Indahnya gambaran silih berganti
Semua ditelah istirah membisu.
*) Georg Trakl (3 February 1887 – 3 November 1914) Penyair Austria. Salah satu penyair liris terpenting berbahasa Jerman di abad 21. Ia tak banyak menulis karena meninggal. Overdosis kokain menjadi penyebabnya. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
Classic Poetry
Puisi Rainer Maria Rilke

Hari Musim Gugur
Tuhan: sampai waktu. Musim panas begitu megah.
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
Dan atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan buahan penghabisan biar matang:
Beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka kemurnian dan baru jadi
Gulang penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang kini tidak berumah, tidak kan menegak tiang.
Yang kini sendiri, akan lama tinggal sendiri.
Kan berjaga, membaca, menyurat Panjang sekali
Dan akan pulang kembali melewati gang
Berjalan gelisah, jika dedaunan mengalun pergi.
Musim Gugur
Dedaunan berguguran bagai dari kejauhan,
Seakan di langit berlajuan taman-taman nun jauh;
Gerak-geriknya menampikkan tak rela jatuh.
Dan dalam gulingan malam dunia berat—jatuh
Lepas dari galau gemintang masuk kesunyian.
Kita semua jatuh. Ini tangan bergulingan
Dan padang Akumu itu: tak satu pun luput!
Betapa pun, ada orang yang sambut
Maha lembut ini jatuh di lengan kasihan.
Lagu Asmara
Betapa beta akan tahan jiwaku, supaya
Jangan meresah dikau? Betapa nanti ia
Kuntandai lintas dirimu ke benda lain?
Ah, aku ingin, semoga dapat ia kupisah
Ke dekat suatu sungai di tengah kegelapan
Disuatu tempat, sepi dan asing, nan tidaklah
Lanjut berdesing, bila kalbumu berdesingan.
Tapi semua yang menyentuh kita, kau dan aku,
Bagai penggesek menyatukan; kau dan aku.
Menarik bunyi tunggal dari sepasang tali
Pada bunyian mana kita ini terpasang
Dan ditangan pemain mana kita terpegang?
Wahai lagu berseri.
Dari buku ketika
Kau hari nanti, nyala pagi berkilau
Yang mencerah ranah keabadian
Kau kokok ayam disubuh akhir zaman
Embun, misa pagi dan perawan
Orang asing, sang ibu dan maut.
Kaulah sosok yang berubah-ubah
Yang menjulang dari nasib, selalu sepi
Yang tinggal tak dipuji dan tak diwelasi
Dan belum dipetakan bagai rimbaraya
Kau hakikat benda yang dalam nian
Yang menyimpan kata-kata wujudnya
Dan bagi yang lain selalu lain menyata;
Dipantai bagai kapal, di kapal; daratan.
*) Rainer Maria Rilke (1875-1926): ia kelahiran Praha, Ceko.Dianggap penyair bahasa Jerman terbesar dari abad 20. Karyanya yang terkenal antara lain Sonnets to Orpheus, Duino Elegies, Letters to a Young Poet, dan The Notebooks of Malte Laurids Brigge. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
-
Budaya4 months ago
Mengembalikan Kedigdayaan Maluku
-
Milenia4 months ago
Drama Korea, Instrumen Pengajaran dan Dosen
-
Kajian3 months ago
Dostoyevsky, Antara Kemuraman Jiwa, Kejahatan Dan Hukuman
-
Kolom3 months ago
Ambilkan Buku, Bu!
-
Milenia4 months ago
Tradisi Puisi “Imagism”: Mencari yang Konkrit, Menyepuh yang Abstrak
-
Kajian2 months ago
Sigmund Freud dan The Interpretation of Dreams
-
Cerpen4 months ago
Cinta yang Sulit
-
Kajian2 months ago
Imajinasi dan Strukturalisme Jacques Lacan