

Puisi
Puisi-Puisi H.P. Lovecraft
Misteri Hidup
Hidup! O, Hidup!

Apalah arti dari pertunjukan indah yang berpendar?
Apakah ingatan itu cepat berlalu?
Ia yang telah mati adalah kunci Kehidupan—
hilang sudah tanda, dalamnya liang kubur
Manusia adalah nafas, dan Hidup adalah api;
Kelahiran adalah kematian, dan paduan suara telah bungkam.
Peraslah keabadian jantung duniawi!
airmata dari utas tua
Hidup! O, Hidup!
Rumah
Ini adalah hunian yang dikelilingi hutan
dekat dengan bukit-bukit,
Di mana dahan pohon mengatakan
Legenda ajaib yang sakit;
Kayu terlalu tua
Bahwa mereka bernapas dari kematian,
Merayapi tanaman merambat, pucat dan dingin,
Tumbuh dengan keganjilan;
Dan tak ada yang tahu nektar yang mereka sesap itu dari kebun lembap dan berlumpur
Di kebun itu tumbuh
bunga mekar yang alami,
Bertukar pucat dengan tangkap
wewangian di udara;
Rupanya matahari sore
Dengan sinar merah yang bersinar
Sedang menenun warna buram
Pada pandangan ganjil,
Dan pada aroma bunga-bunga itu berpendar hari-hari yang tak terhitung jumlahnya.
Deretan rerumputan melambai
Di teras dan halaman,
Kenangan yang redup
Dari hal-hal yang telah raib;
Batu-batu jalan
terhampar dan basah,
Serta ruh garib mengintai
saat matahari merah telah terbenam,
Ruh itu disesaki gambar samar yang akan ia segera lupakan.
Di bulan Juni yang hangat
Aku bertahan dengan itu semua,
Saat terpaan surya di siang hari
Berdenyutlah masa muda
Rupanya aku menggigil kedinginan,
Tebersit oleh kilauan,
Pada sebuah gambar, kubuka gulungannya—
Terpancarlah rupa usiaku
Menatap waktu sebelum kilat itu keluar dari malam-malamku yang berlimpah.
Arkade
-dengan kepala terangkat
O beri aku kehidupan di desa,
Tanpa rintangan, bebas, dan jelita;
Tempat di mana semua seni berkembang,
Grove Court dan Christopher Street.
Aku muak dengan kebiasaan lama,
Dan kritik yang tak membangun,
Jadi bernyanyilah untuk ruang yang lapang,
Biar estetikus bekerja dengan bebas.
Di sini setiap penyair adalah seorang jenius,
Dan para seniman seperti Raphaels,
Lalu di atas atap Patchin Place
Bakat-bakat itu terdiam dan merenung.
Sebuah Kota
Dahulu begitu cerah dan indah,
Kota Cahaya itu;
Sebuah wahyu ditangguhkan
Di kedalaman malam;
Sebuah kawasan penuh keajaiban dan kemuliaan, di mana kuil-kuilnya seterang pualam.
Aku ingat musimnya
Terbit di pandanganku;
Zaman edan tak beralasan,
Hari-hari yang menumpulkan otak
Saat musim dingin berjubah putih dan pucat pasi, datang untuk menyiksa dan menggila.
Lebih indah dari bukit Sion
Memancar di langit,
Ketika sinar Orion
Menggelapkan mataku,
Tidur jadi dipenuhi memori kelam dan berlalu begitu saja.
Di rumah mewah nan megah
Dengan ukiran indah,
Suasana tenang dan teduh
Di sudut beranda,
Sekeliling taman harum dan keajaiban mekar di sana.
Bulevar itu memikatku
Pada lanskap luhur;
Meyakinkanku dan membusur
Pada suatu waktu
Aku berkelana dengan penuh kegembiraan dan bersukacita dalam damai.
Dari kejauhan, di alun-alun itu terpampang
Patung-patung;
Berjanggut panjang, berwibawa,
Makam seorang lelaki di sebuah zaman—
Rupanya patung itu rapuh dan janggut pada wajahnya kian hancur.
Di kota yang berkilauan itu
Aku tak melihat manusia;
Tapi itu fantastis, dan bersahabat
Pada himpunan kenangan,
Dapat bertahan di alun-alun, dan menatapnya dengan penuh kekaguman.
Aku menemukan bara yang mulai redup
Bersinar dalam pikiranku,
Dan berupaya keras mengingat
Keabadian di masa lampau;
Untuk menjelajah tanpa batas, dan menuju masa lalu yang lepas dari kurungan
Lalu peringatan menggetarkan itu
Buat jiwaku menyatu
Bagai pagi yang merisaukan
Terbit spektrum kemerahan,
Dan dalam kegugupan aku melayang lewat dongeng mencekam yang terlupa dan hilang.
Ketika Menerima Gambar Angsa
Angsa yang melankolis dengan anggun termenung
Merapati makam delman yang tak beruntung;
Di kawanan rerumputan, pepohonan poplar menangis,
Kuncen dengan sabar merawat makam yang basah.
Seandainya kubisa, haruskah aku menggugat
Bapa surgawi, atau Yang Maha Mulia,
Ketika pernah berkibar begitu tinggi, lalu terempas jauh ke dalam
Menyambut Cygnus yang berduka dengan persembahan!
Kawanan burung dengan dungu masih berhamburan di udara
Merintih perih untuk terus menyanyikan sebuah ode.
Matahari Terbenam
Hari-hari tak berawan datang semakin dekat;
Keagungan kencana mengendap di ladang;
Lintuh, mencuri bayangan dengan nyaman
Untuk menenangkan daratan dan lautan.
Dan dalam pelita yang luhur, lembut dan permai,
Ada jiwa yang jelita, kebahagiaan yang megah;
Melepaskan silau tengah hari, pemandangan nan indah
Kian berkat dan rahmat di bumi dan langit.
Tak lama pelita paling luhur itu memahkotai masa mudaku,
Atau kilau paling terang merawat belukar itu,
Senja mengental, dan nampak adegan kilat
Meninggalkan kenangan akan sucinya cinta!
____
Referensi dan Biodata
1. Misteri Hidup diterjemahkan dari Life’s Mystery
Sumber: http://www.hplovecraft.com/writings/texts/poetry/p353.aspx
2. Rumah diterjemahkan dari The House
Sumber: http://www.hplovecraft.com/writings/texts/poetry/p181.aspx
3. Arkade diterjemahkan dari Arcadia
Sumber: http://www.hplovecraft.com/writings/texts/poetry/p337.aspx
4. Sebuah Kota diterjemahkan dari The City
Sumber: http://www.hplovecraft.com/writings/texts/poetry/p184.aspx
5. Ketika Menerima Gambar Angsa diterjemahkan dari On Receiving a Picture of Swans
Sumber: http://www.hplovecraft.com/writings/texts/poetry/p051.aspx
6. Matahari Terbenam diterjemahkan dari Sunset
Sumber: http://www.hplovecraft.com/writings/texts/poetry/p124.aspx
Selain dari tautan tersebut, puisi-puisi tersebut juga terdapat di buku To a Dreamer: Best Poems of H. P. Lovecraft (Necronomicon Press: 2019) yang dikumpulkan dan disunting oleh S. T. Joshi.
Penerjemah:
Galeh Pramudianto, kelahiran 1993. Bekerja sebagai pendidik dan mengelola platform Penakota.id bersama rekannya. Buku puisinya Asteroid dari Namamu (2019) diterjemahkan ke bahasa Inggris lewat beasiswa Komite Buku Nasional. Ia menerima penghargaan Acarya Sastra 2019 dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kemendikbud. Puisinya “Barus, Suatu Pertanyaan” melaju di Majelis Sastra Asia Tenggara 2020.
Puisi-puisi di atas diterjemahkan dari buku To a Dreamer: Best Poems of H. P. Lovecraft (Necronomicon Press: 2019) by S. T. Joshi oleh Galeh Pramudianto. Ia bekerja sebagai pendidik dan mengelola platform Penakota.id bersama rekannya. Buku puisinya “Asteroid dari Namamu” (2019) menerima beasiswa penerjemahan dari Komite Buku Nasional. Ia menerima penghargaan Acarya Sastra 2019 dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kemendikbud.
Puisi
Sajak Sajak Angga Wijaya

Lidah Dimana-mana
Langit sampaikan pesan, seakan berkata
“Aku meniup nyawa, menumbuhkan lidah
di tubuh, bukan semata hanya percuma.
Lidah untuk berkata yang baik, bukan untuk
bergunjing, bak cerita sinetron menjelma
racun pagi hingga malam hari”
Namun terjadi sebaliknya; dimana-mana,
orang kerap gunakan lidah untuk hal buruk.
Gemar bicara tak benar, kaum munafik di
kitab suci yang hanya jadi sesembahan.
Jangan terlalu berharap pada gerombolan,
mereka membunuh kita dengan kata pedas.
Mata yang berbinar seiring percakapan yang
makin panas. Seperti dalam film, kumpulan
makhluk malas tak berguna. Ada yang
kurang jika tak membicarakan orang lain.
Seakan mereka paling utama dan sempurna
Kuman di seberang lautan tampak begitu jelas
Lidah menjulur dari segala tempat; layar ponsel
pintar, pintu, jendela bahkan dari lubang kemaluan
manusia itu. Hingga pada suatu waktu, di alam
setelah kematian, lidah mereka terbagi menjadi
potongan kecil, tumbuh di sekujur tubuh yang
terpanggang api abadi neraka. Cerita itu
kudengar berkali-kali beberapa hari ini.
2020
Penyair Melihat Hujan
Dari kamar lantai dua kontrakan, penyair itu melihat hujan
Suara air jatuh di atap rumah sebelah yang baru dibangun
Ia kehilangan langit tempat awan berarak, sumber inspirasi
ketika ia menulis puisi. Kini di depannya hanya hamparan
tembok. Tapi tak apa, semua akan menjadi biasa oleh hal itu
Hujan ternyata tak lama, hanya mampir sebentar basahi malam
yang amat gerah.Istrinya tertidur pulas, setelah seharian bekerja
di toko bangunan sebagai tenaga administrasi. Kucing tak tampak
di kamar, mereka beranjak setelah mendapat makanan.Pergi malam
hari dan kembali di pagi hari sesuka hati bagai raja di istana.
Penyair itu belum juga tertidur, ia bahagia kini bisa bekerja lagi.
Kemarin kawan di ibu kota menelponnya, ia ditawari menjadi
Wartawan budaya. Istri juga ikut senang, setidaknya
bebannya berkurang karena kini ada pemasukan baru
Tak risau ketika melihat saldo tabungan terus berkurang
Terlalu bahagia juga tak baik, sebab itu bisa membuat senyawa
dalam otak tak seimbang. Penyair itu ingin meminum obat tidur,
tapi ia menundanya. Biarlah malam ini ia merayakan kebahagiaan
dengan duduk di beranda memandangi sisa hujan dan udara dingin
Ia bersyukur telah diberi ruang untuk menjadi dirinya. Sudah enam
buku ia tulis dalam dua tahun ini. Tak pernah terpikir sebelumnya,
kini ia menjadi penulis. Mencintai hidup dengan segala upaya,
seperti hujan selalu tepat janji, datang saat amat dirindukan.
2020
Beranda Rumah Sakit Jiwa
Bisa keluar ruangan bangsal begitu
membahagiakan. Bagai raja sehari,
duduk menonton berita di televisi.
Tapi hati-hati, benda itu bisa bicara
Bercakap-cakap dengan kegilaan
Mengajakmu berbincang berdua
Pengatur saluran terus kau ganti
Perawat tersenyum lalu melarang
Mengajakmu kembali ke bangsal
“Coba ramal saya, kamu indigo?
kudengar kabar tentang dirimu
akhir-akhir ini saya sering lelah”
Aku menjawab dengan tuntas
Di matanya kulihat rasa cemas
Kebosanan jelang menopause
Kami berpisah saat senja tiba
Berbisik ia pada teman sejawat
Tepat saat pintu terali dibuka
“Skizofrenia Paranoid. Kasihan.
Kudengar ia mahasiswa pintar,
ditinggal kekasih amat dicinta”
Aku tersenyum mendengarnya
Batas kewarasan sangat tipis
Tak ada cermin untuk berkaca
2020
Belajar Bercinta
Sepasang anak muda itu hidup bersama. Berbagi banyak hal;
cinta, uang, air mata. Pelaminan selalu dinanti, tapi apa daya
kantong lebih sering kosong. Biaya hidup mesti dipenuhi;
kontrakan, listrik, air, pulsa juga kuota internet untuk bekerja
dan hiburan pelepas lelah selepas rutinitas.
Jangan kalian pikir ini hanya soal asmara atau hubungan ranjang.
Mereka telah lama beranjak dari hal itu. Cinta tak hanya seks,
ia lebih agung dari naluri rendah ini. Bisa jadi, mereka telah lama
belajar bercinta. Tahun-tahun awal kamar menjadi saksi percintaan
di ujung senja yang muram.
Pertengkaran beberapa kali menghiasi hari dalam babak hidup
membara,waktu demi waktu. Ada saatnya mereka bersedih
kehilangan seekor kucing, ada kala tawa penuhi ruang hati tak
sepi oleh kesunyian. Cinta menjadi dasar rumah jiwa yang
merdeka. Aku adalah saksi apa yang mereka alami.
2020
___
I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak SMA saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Buku kumpulan puisi terbarunya, Tidur di Hari Minggu (2020). Selain penulis,sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan di Denpasar.
.
COFFEESOPHIA
Tak Ada Sajak di Kafe-Kafe

I

(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
ISBN 978-623-93949-0-5
____
Puisi Sabiq Carebesth dalam buku ini menggunakan banyak kata yang berfungsi menebar berbagai asosiasi.Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat—Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi—dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
-Afrizal Malna, Penyair.
__
Buku ini bisa dipesan via kontak whatsapp 082111450777 atau tokopedia bookcoffeeandmore
Rp. 100.000
Aku tak menulis sajak untuk pembaca
Mereka mudah murka dan kecewa
Sajak-sajakku bukan pelipur lara
Aku menulis sajak untuk angin
Mereka hening dan luas.
Di sana
Sajak-sajakku bisa rebah istirah
Sebab kerap
Ia lelah menempuh jalan panjang
Melewati tiap hampa dan sia-sia;
Ia rapuh dan lambat
Tapi senantiasa mencari puncak;
Di sana hanya hening
Di sana hanya kekosongan;
Selalu hanya sejenak
Tapi sajakku memahami
Terjalnya jalan kembali ke mula
Ingatan dari mana ia lahir
Merepih jalan memuncak.
II
Aku pernah mengira sajakku terbuat dari waktu
Mengira tersusun dari sore yang menderita
Dengan bunyi senja yang beringsut pada gelap
Dangan tatakan dari kayu di mana jiwa dibelah;
Sementara kuncup bunga tetap mekar tak iba—
pada sajakku.
Tapi sajakku tak dibuat untuk pembaca
Sajakku memang bukan sajak
Ia hanya sajak—memenuhi takdirnya
Untuk memapah jiwa-jiwa
Keluar dari sekam hampa
Agar senantiasa berdetak
Meski dengan suara jauh
Meski dengan kebisuan serigala
Serupa kepak rajawali di pucuk langit
Atau suara kesunyian tempat ibadah
Yang ditinggalkan hasrat para penyembah
Karena kematian yang tak memberi aba
III
Sajakku
Sajak-sajak rapuh
Yang tak sanggup bertahan
Untuk sampai pada pembacanya
Ia lahir lalu mendaki
Kembali pada sepi sebelum sempat
Duduk di antara pengunjung kafe
Yang tak pernah sempat menuntaskan
Menulis sajak tentang sajak-sajak
Tapi kini tak ada sajak di kafe-kafe
Sebab di luar hujan membadai
Orang-orang berlindung dalam kaca
Senantiasa sia-sia dan mengulanginya
Mereka membayar gairah
Dengan cinta yang ditambatkan sejenak
dan terburu;
Tak sempat bercumbu
Sibuk mengulur waktu
Seolah waktu segera habis
Dan kebisuan pun tak sempat memakna
IV
Aku menulis sajakku di kafe
Tapi sajakku bukan sajak
Sajakku tidak ditulis
Untuk dibaca para pembaca
Aku menulis sajak di kafe
Tapi tak ada sajak di kafe-kafe
Dan kau menunggu akhir sajakku?
Aku tidak menulis sajak untukmu
Aku telah menghapus dendam sukmaku
Sebelum sempat menjadi sajak
Maka sajakku tak punya kekuatan
Untuk meledak dan menulis sejarah
Waktu selalu lekas
Tapi sajak-sajak tidak
Sebab ia kedinginan
Seperti rumah yang ditinggalkan
Seperti pendaki di ujung petang
Ia hanya ingin istirah
Atau pohon-pohon kepurbaan akan menelannya
Hilang dalam gerbang sepi
Membeku bersama dingin
yang tak mungkin dipahaminya.
V
Kenapa sajak-sajak harus ditulis untuk pembaca?
Sajakku tak kutulis untuk pembaca!
Aku tak ingin sajakku dibaca
Sajakku bukan sajak
Aku ingin sajakku dibentangkan
Dalam sukma sehingga jiwamu membahana
Atau biarkan sajakku
Menjadi lumut pepohonan
Yang mewarnai jiwa
Menjadi selimut bagi tubuh waktu
Dan ketika para serigala menjadi sepi
Sajakku menjulang mengabarkan nyanyian
Agar sang rajawali kembali
Menemui kekasihnya yang tersesat
Di antara belantara kesepian
Di antara pepohonan purba
Dan para pendaki masih mencari
Nyanyian bagi jiwanya yang duka
Maka kutulis sajakku
Untuk menjadi kabut
Selimut bagi jiwa yang beku
Agar penantiannya menumbuhkan dedaunan rindu
Yang berguguran di hutan-hutan waktu
Menjadi api bagi peziarah puncak
Dengannya kehangatan menyerta
Peziarah tiba di puncaknya
Dan sajakku merayakan kenangannya
Sendirian..
VI
Sementara di kafe aku memesan kopi
Sambil melihat matahari berwarna putih
Aku tak juga mendapati sajak-sajak
Tak mendapati dedaunan dan peziarah
Tidak serigala kedinginan
Tidak juga rajawali yang kesepian
Kekasihku pun tak ada
Aku mencari sajak-sajakku
Tak ada yang membacakannya
Di kafe hanya pendusta
Yang membual tentang mimpi
Menebus hasrat dengan cinta
Yang sebentar dan tak berbalas
Masing-masing menjauh dari jiwanya
Kehilangan sajak-sajak milik jiwanya
Dan sajakku tak kunjung berhenti
Bernyayi ria dalam tarian kalbuku
Ia ingin berkisah tapi aku mulai lelah
VII
Aku harus pulang
Membawakan sisa sajakku
Anak gadisku telah menunggu
Di ranjang dengan ribuan malaikat
Menantiku membacakan sajak-sajakku
Di rumah kubacakan sajakku
Untuknya entah ratusan malaikat:
“Tak ada sajak di kafe-kafe
Pergilah pada jauh
Mendakilah pada hasrat
Sebab cinta membawa para ksatria
Pergi berperang sebagai martir
Untuk menaklukkan kesepiannya sendiri
Maka jadikan tanganmu perisai
Dan hatimu martir.”
___
Sabiq Carebesth, 2019
Puisi
Samsara Duka


(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat–ekspresionis. Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi— dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
____
Afrizal Malna, dalam pengantar untuk buku Samsara Duka
Kirab malam dengan panji-panji hitam di malam larut; hujan dengan lolongan serigala berusia berabad yang terkutuk oleh nasibnya sendiri—sebagai penjaga gerbang sunyi antara malam dan larut; onggokan jiwanya telah melihat cahaya dan mentari terindah yang tak mungkin lagi jadi bagiannya. Ia telah tahu ke mana kembara—hanya berujung laut mati bagi matanya: ia telah tahu kemana kelana hanya memperpanjang usia dukanya—tetapi tinggal tiada siapa datang—tidak duka tidak cintanya yang lalu, waktu telah memasungnya sebagai tugu kesunyian di kota dengan lampu-lampu warna rembulan atau di antara dinding-dinding kafe dan galak tawa muram dari jiwa-jiwa yang diburu ingatan pada luka dan kepalsuan . O hendak bagaimana ia tuju lautan dalam jiwanya? Embun dan kabut, terik dan sunyi tak menjelmakan apa-apa; sungai-sungai kering, danau-danau bisu, dan gunung-gunung hanya lintasan beku—sedang malam penuh rembulan; dan tak satu lagu pun dapat dikenang. Jiwanya akan mati sebagai penjaga malam dengan lolongan timur dan barat yang gemanya menari-narikan angin, dan pohon-pohon purba sama birunya dengan lumut-lumut waktu yang tak lagi bisa ditakar; seperti usia kerinduan yang telah jadi abadi dalam kefanaan saban hari; begitulah akhir cerita semua cinta sejati; membenam dalam kepurbaan, menjadi langit dan gemintang; menjadi perjalanan dan duka cinta, genangan kenangan tentang ranum bibir belia, atau pipi merah jambu yang terbakar terik mentari pertama di laut timur, atau payudara yang bercahaya; atau botol-botol bir di redup hotel-hotel, jendela kereta yang membekukan gerak dan batin, tempat-tempat dan kesunyian yang tak sempat dikunjungi atau apa saja dalam segala rupa samsara—yang tak mungkin dimiliki kecuali dukanya; atau segala rupa panji-panji hitam waktu yang tak mungkin diulang kembali; sebagai gelak tawa atau percumbuan penuh duka—yang mengantar pecinta ke puncak kekosongan. (*)
Jakarta, 28 April 2020
Sabiq Carebesth
___
*) Buku sajak ini akan diterbitan Galeri Buku Jakarta pada pekan ke 4 Agustus 2020. Untuk info pemesanan silakan kontak whatsapp +62 813-1684-2110 (Book Coffee and More )