Puisi
Puisi-Puisi Arif Purnama Putra

Peladang Gambir
katanya jalan-jalan itu dipenuhi lumpur dan bebatuan besar
di kelilingi pohon-pohon menjulang,
landung bukit yang melihat ke pantai dan ciling
mondarmandir.
di sana ditanami anak-anak gambir,
tumbuh subur bagai ilalang padang rumput
berakar mekar di tanah bukit,
di mana hiruk-pikuk kaki berdoa subur.
di tanah itu harapan digantung,
perlahan daun-daunnya muncul, hijau dengan bintik coklat akibat ulat
di naungi rumah penghuni, api tungku menggumpal menuju awan
daun-daun dituai tangan-tangan tebal yang dilapisi getah gambir
kasar dan tahan api, tahan belati. ia habiskan seharian di sana,
memasak, menumbuk daun.
datanglah pasar ahad, orang hilir membawa keranjang-keranjang
mengebut motor penuh lumpur kuning,
ban tahu mementalkan tanah-tanah
sumringah gigi kuning menerpa matahari,
puas dikenang, anak bini menunggu jajan.
ia datangi toke, ia bongkah karung-karung berisi gambir
ditimbang dan selesai dengan memelas naikkan harga,
“harga gambir turun,
karena sebagian orang ketahuan mencampurkan tanah saat mencetak”
ia jawab dengan doa, semoga semuanya kembali seperti semula,
berharap yang lain tidak kena sial akibat mereka.
Padang, 2017
Koto Baru
(sebuah kampung)
lalu banjir mendatangkan keruh air hulu
kecoa-kecoa bekejaran keliling rumah,
dedaun kering sangkut pada semak keladi
bocah-bocah berenang, riuh suara girang air datang
orang-orang malang berkokoh badan di antara dingin dan kelaparan,
ia sampaikan kepada
suara bising bahwa yang lapar adalah perut, bukan rumah.
di perintang malam, dinihari juga sampaikan kemalangan
periuk hanyut dibawa bandang,
ngigau bapak-bapak membuat pecah suara hening malam
di luar, air mengalir tenang, sesekali terdengar semilir angin selatan
ia kabarkan tentang bertahan, ia gelar banjir berhari-hari
pasang surut tak lagi datang, kadang datang lalu pergi
“lamanya pasang surut kembali, lelah kami menanti”
memelas seorang ibu, mengucapkan sebuah permohonan,
namun ia tamukan lagi hujan nan
deras bersama badai-badai membawa tampias tangis.
Padang, 2017
Kisah Mantra Limau Puruik
kita telah sampai pada pertemuan antara duduk dan berdiri
mengenang segala kesakitan serta kesembuhan
menuliskan puisi-puisi malang, menyanyikannya menjadi lagu pengingat
kadang menimbang kebaikan, menyimpulkan tentang suara-suara sumbang
perihal parau dan irama indah, pun kalimat-kalimat drama
dan selalu berujung kelupaan
dari kisah bertuah sampai legenda jawara yang katanya sejarah
muncul berabad-abad tahun, terkenal bertuah seantero semenanjung malaya
orang pesisir namanya, tempat berkumpulnya mistis nan melegenda
pemecah ilmu lainnya, mulai mantra penyembuh sampai penggila wanita ada di sana.
sajak-sajaknya indah, dipakai bila malam tiba
menggema suara mantra di telinga penerimanya,
terjaga mengenang sianu yang
melafalkannya.
dia antara duduk dan berdiri, berjalan tidak tahu arah
hanya tinggal cerita juga dongeng mantra-mantra
cerita sakti mandaraguna, pelafal handal,
pengguna asam limau purui yang melegenda
katanya jaman berganti, semuanya hanya cerita
tapi selalu jumawah, pemilik segala mantra,
ketika ditanya itu hanya kisah.
Padang, 2017
Pelaut Malang
pelaut-pelaut itu mengabarkan badai dan gelombang
air yang asin menyulut risau, menyampaikan ketakutan
pulau-pulau kecil penuh semak berduri,
pandan-pandan dan kelapa menjulang ke pantai
ia kabarkan tentang ketakutan,
ia sebutkan kapal-kapal bernama diterjang ombak
suara-suara tolong disampaikan,
riak penuh buih ombak-ombak mengempas ke pantai tak
bernama
cadik-cadiknya yang patah diterima tepian pantai
tidak ada berita juga kabar bahagia
awak-awak tanpa cadik berenang dengan sesak,
kapalnya pecah di tengah
“riak gelombang mengantarkan kemalangan,
tiada doa yang berguna, selain berenang menuju daratan”
seorang awak tergeletak, terkapar di sebuah pulau tak bernama
ia ceritakan tentang gemuruh menyelinap lalu mengganas menerpa kapal
ia tuturkan puluhan ketakutan, dari kematian nun jauh dari pertolongan.
Padang, 2017
Berita Dari Lagu Lama
kudengarkan lagu itu, melewati keramaian pasar minggu
dengan suara rintang ia katakan kesedihan,
kampung-kampung yang ditinggalkan
juga orang-orang yang terlupakan
digadang-gadang negeri pesona, menyimpan banyak sejarah
kaba nan diceritakan melalui biola,
nyanyian sejuta umat kaum parewa dulunya
sekarang berganti artis-artis ibu kota, gaya-gaya mewah
ia tinggalkan peristiwa sejarah kaum, pun anak bini di rumah
“ini waktu yang berganti, bung”
kata seorang pria parubaya memakai kemeja kotak-kotak,
ia berjalan menuju suara keriuhan acara pemuda.
Padang, 2017
Jalan Pulang
di jalan menuju rumah, ilalang melambai menyambut kepulangan
desirnya sampai ke sela telinga
siluet batu karang terlihat indah, menghempas berirama ombak pulang pergi
teringat nyanyian-nyanyian pengantar tidur ibu,
katanya “tidurlah, Nak. tidurlah. cepat besar membantu orang tua”
lalu tampak juga layang-layang putus, dikejar bocah-bocah,
meneriaki kawan-kawannya,
nun jauh terdengar burung-burung gereja pulang,
bapak-bapak penuh lumpur gontai berjalan membawa cangkul sawah
—serta ibu menanti di rumah.
ia pulang dengan gagah, luka-luka yang menganga serasa kering
seraya doa-doa, ia sampaikan keselamatan
cerita-cerita dari negeri serakah, pun wanita-wanita tanpa busana
ia sebutkan bahwa rantau bukan peraduan indah, hanya pelarian tanpa nama.
Kemudian beranda rumah menyamput kepulangan,
ia rebahkan diri, sepanjang napas doa keselamatan dijabahkan
“ayah, ibu, dunsanak, dan tepian mandi. Saya pulang”
Pesisir Selatan, 2017
Arif Purnama Putra, lahir di Pesisir Selatan, selatan Sumatera Barat. Sekarang tinggal di Padang, melanjutkan kuliah di STKIP PGRI PADANG, dengan jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Menulis adalah cara menghilangkan perbuatan buruk dan tidak bermanfaat. Berusaha menyukai ketertinggalan daerah dan lokalitas tempat tinggal, sebelum mengetahui kehidupan luar. Tergabung bersama komunitas menulis “Daun Ranting” karya pernah dimuat beberapa media (koran dan media online).
Puisi
Sajak Sajak Angga Wijaya

Lidah Dimana-mana
Langit sampaikan pesan, seakan berkata
“Aku meniup nyawa, menumbuhkan lidah
di tubuh, bukan semata hanya percuma.
Lidah untuk berkata yang baik, bukan untuk
bergunjing, bak cerita sinetron menjelma
racun pagi hingga malam hari”
Namun terjadi sebaliknya; dimana-mana,
orang kerap gunakan lidah untuk hal buruk.
Gemar bicara tak benar, kaum munafik di
kitab suci yang hanya jadi sesembahan.
Jangan terlalu berharap pada gerombolan,
mereka membunuh kita dengan kata pedas.
Mata yang berbinar seiring percakapan yang
makin panas. Seperti dalam film, kumpulan
makhluk malas tak berguna. Ada yang
kurang jika tak membicarakan orang lain.
Seakan mereka paling utama dan sempurna
Kuman di seberang lautan tampak begitu jelas
Lidah menjulur dari segala tempat; layar ponsel
pintar, pintu, jendela bahkan dari lubang kemaluan
manusia itu. Hingga pada suatu waktu, di alam
setelah kematian, lidah mereka terbagi menjadi
potongan kecil, tumbuh di sekujur tubuh yang
terpanggang api abadi neraka. Cerita itu
kudengar berkali-kali beberapa hari ini.
2020
Penyair Melihat Hujan
Dari kamar lantai dua kontrakan, penyair itu melihat hujan
Suara air jatuh di atap rumah sebelah yang baru dibangun
Ia kehilangan langit tempat awan berarak, sumber inspirasi
ketika ia menulis puisi. Kini di depannya hanya hamparan
tembok. Tapi tak apa, semua akan menjadi biasa oleh hal itu
Hujan ternyata tak lama, hanya mampir sebentar basahi malam
yang amat gerah.Istrinya tertidur pulas, setelah seharian bekerja
di toko bangunan sebagai tenaga administrasi. Kucing tak tampak
di kamar, mereka beranjak setelah mendapat makanan.Pergi malam
hari dan kembali di pagi hari sesuka hati bagai raja di istana.
Penyair itu belum juga tertidur, ia bahagia kini bisa bekerja lagi.
Kemarin kawan di ibu kota menelponnya, ia ditawari menjadi
Wartawan budaya. Istri juga ikut senang, setidaknya
bebannya berkurang karena kini ada pemasukan baru
Tak risau ketika melihat saldo tabungan terus berkurang
Terlalu bahagia juga tak baik, sebab itu bisa membuat senyawa
dalam otak tak seimbang. Penyair itu ingin meminum obat tidur,
tapi ia menundanya. Biarlah malam ini ia merayakan kebahagiaan
dengan duduk di beranda memandangi sisa hujan dan udara dingin
Ia bersyukur telah diberi ruang untuk menjadi dirinya. Sudah enam
buku ia tulis dalam dua tahun ini. Tak pernah terpikir sebelumnya,
kini ia menjadi penulis. Mencintai hidup dengan segala upaya,
seperti hujan selalu tepat janji, datang saat amat dirindukan.
2020
Beranda Rumah Sakit Jiwa
Bisa keluar ruangan bangsal begitu
membahagiakan. Bagai raja sehari,
duduk menonton berita di televisi.
Tapi hati-hati, benda itu bisa bicara
Bercakap-cakap dengan kegilaan
Mengajakmu berbincang berdua
Pengatur saluran terus kau ganti
Perawat tersenyum lalu melarang
Mengajakmu kembali ke bangsal
“Coba ramal saya, kamu indigo?
kudengar kabar tentang dirimu
akhir-akhir ini saya sering lelah”
Aku menjawab dengan tuntas
Di matanya kulihat rasa cemas
Kebosanan jelang menopause
Kami berpisah saat senja tiba
Berbisik ia pada teman sejawat
Tepat saat pintu terali dibuka
“Skizofrenia Paranoid. Kasihan.
Kudengar ia mahasiswa pintar,
ditinggal kekasih amat dicinta”
Aku tersenyum mendengarnya
Batas kewarasan sangat tipis
Tak ada cermin untuk berkaca
2020
Belajar Bercinta
Sepasang anak muda itu hidup bersama. Berbagi banyak hal;
cinta, uang, air mata. Pelaminan selalu dinanti, tapi apa daya
kantong lebih sering kosong. Biaya hidup mesti dipenuhi;
kontrakan, listrik, air, pulsa juga kuota internet untuk bekerja
dan hiburan pelepas lelah selepas rutinitas.
Jangan kalian pikir ini hanya soal asmara atau hubungan ranjang.
Mereka telah lama beranjak dari hal itu. Cinta tak hanya seks,
ia lebih agung dari naluri rendah ini. Bisa jadi, mereka telah lama
belajar bercinta. Tahun-tahun awal kamar menjadi saksi percintaan
di ujung senja yang muram.
Pertengkaran beberapa kali menghiasi hari dalam babak hidup
membara,waktu demi waktu. Ada saatnya mereka bersedih
kehilangan seekor kucing, ada kala tawa penuhi ruang hati tak
sepi oleh kesunyian. Cinta menjadi dasar rumah jiwa yang
merdeka. Aku adalah saksi apa yang mereka alami.
2020
___
I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak SMA saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Buku kumpulan puisi terbarunya, Tidur di Hari Minggu (2020). Selain penulis,sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan di Denpasar.
.
COFFEESOPHIA
Tak Ada Sajak di Kafe-Kafe

I

(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
ISBN 978-623-93949-0-5
____
Puisi Sabiq Carebesth dalam buku ini menggunakan banyak kata yang berfungsi menebar berbagai asosiasi.Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat—Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi—dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
-Afrizal Malna, Penyair.
__
Buku ini bisa dipesan via kontak whatsapp 082111450777 atau tokopedia bookcoffeeandmore
Rp. 100.000
Aku tak menulis sajak untuk pembaca
Mereka mudah murka dan kecewa
Sajak-sajakku bukan pelipur lara
Aku menulis sajak untuk angin
Mereka hening dan luas.
Di sana
Sajak-sajakku bisa rebah istirah
Sebab kerap
Ia lelah menempuh jalan panjang
Melewati tiap hampa dan sia-sia;
Ia rapuh dan lambat
Tapi senantiasa mencari puncak;
Di sana hanya hening
Di sana hanya kekosongan;
Selalu hanya sejenak
Tapi sajakku memahami
Terjalnya jalan kembali ke mula
Ingatan dari mana ia lahir
Merepih jalan memuncak.
II
Aku pernah mengira sajakku terbuat dari waktu
Mengira tersusun dari sore yang menderita
Dengan bunyi senja yang beringsut pada gelap
Dangan tatakan dari kayu di mana jiwa dibelah;
Sementara kuncup bunga tetap mekar tak iba—
pada sajakku.
Tapi sajakku tak dibuat untuk pembaca
Sajakku memang bukan sajak
Ia hanya sajak—memenuhi takdirnya
Untuk memapah jiwa-jiwa
Keluar dari sekam hampa
Agar senantiasa berdetak
Meski dengan suara jauh
Meski dengan kebisuan serigala
Serupa kepak rajawali di pucuk langit
Atau suara kesunyian tempat ibadah
Yang ditinggalkan hasrat para penyembah
Karena kematian yang tak memberi aba
III
Sajakku
Sajak-sajak rapuh
Yang tak sanggup bertahan
Untuk sampai pada pembacanya
Ia lahir lalu mendaki
Kembali pada sepi sebelum sempat
Duduk di antara pengunjung kafe
Yang tak pernah sempat menuntaskan
Menulis sajak tentang sajak-sajak
Tapi kini tak ada sajak di kafe-kafe
Sebab di luar hujan membadai
Orang-orang berlindung dalam kaca
Senantiasa sia-sia dan mengulanginya
Mereka membayar gairah
Dengan cinta yang ditambatkan sejenak
dan terburu;
Tak sempat bercumbu
Sibuk mengulur waktu
Seolah waktu segera habis
Dan kebisuan pun tak sempat memakna
IV
Aku menulis sajakku di kafe
Tapi sajakku bukan sajak
Sajakku tidak ditulis
Untuk dibaca para pembaca
Aku menulis sajak di kafe
Tapi tak ada sajak di kafe-kafe
Dan kau menunggu akhir sajakku?
Aku tidak menulis sajak untukmu
Aku telah menghapus dendam sukmaku
Sebelum sempat menjadi sajak
Maka sajakku tak punya kekuatan
Untuk meledak dan menulis sejarah
Waktu selalu lekas
Tapi sajak-sajak tidak
Sebab ia kedinginan
Seperti rumah yang ditinggalkan
Seperti pendaki di ujung petang
Ia hanya ingin istirah
Atau pohon-pohon kepurbaan akan menelannya
Hilang dalam gerbang sepi
Membeku bersama dingin
yang tak mungkin dipahaminya.
V
Kenapa sajak-sajak harus ditulis untuk pembaca?
Sajakku tak kutulis untuk pembaca!
Aku tak ingin sajakku dibaca
Sajakku bukan sajak
Aku ingin sajakku dibentangkan
Dalam sukma sehingga jiwamu membahana
Atau biarkan sajakku
Menjadi lumut pepohonan
Yang mewarnai jiwa
Menjadi selimut bagi tubuh waktu
Dan ketika para serigala menjadi sepi
Sajakku menjulang mengabarkan nyanyian
Agar sang rajawali kembali
Menemui kekasihnya yang tersesat
Di antara belantara kesepian
Di antara pepohonan purba
Dan para pendaki masih mencari
Nyanyian bagi jiwanya yang duka
Maka kutulis sajakku
Untuk menjadi kabut
Selimut bagi jiwa yang beku
Agar penantiannya menumbuhkan dedaunan rindu
Yang berguguran di hutan-hutan waktu
Menjadi api bagi peziarah puncak
Dengannya kehangatan menyerta
Peziarah tiba di puncaknya
Dan sajakku merayakan kenangannya
Sendirian..
VI
Sementara di kafe aku memesan kopi
Sambil melihat matahari berwarna putih
Aku tak juga mendapati sajak-sajak
Tak mendapati dedaunan dan peziarah
Tidak serigala kedinginan
Tidak juga rajawali yang kesepian
Kekasihku pun tak ada
Aku mencari sajak-sajakku
Tak ada yang membacakannya
Di kafe hanya pendusta
Yang membual tentang mimpi
Menebus hasrat dengan cinta
Yang sebentar dan tak berbalas
Masing-masing menjauh dari jiwanya
Kehilangan sajak-sajak milik jiwanya
Dan sajakku tak kunjung berhenti
Bernyayi ria dalam tarian kalbuku
Ia ingin berkisah tapi aku mulai lelah
VII
Aku harus pulang
Membawakan sisa sajakku
Anak gadisku telah menunggu
Di ranjang dengan ribuan malaikat
Menantiku membacakan sajak-sajakku
Di rumah kubacakan sajakku
Untuknya entah ratusan malaikat:
“Tak ada sajak di kafe-kafe
Pergilah pada jauh
Mendakilah pada hasrat
Sebab cinta membawa para ksatria
Pergi berperang sebagai martir
Untuk menaklukkan kesepiannya sendiri
Maka jadikan tanganmu perisai
Dan hatimu martir.”
___
Sabiq Carebesth, 2019
Puisi
Samsara Duka


(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat–ekspresionis. Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi— dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
____
Afrizal Malna, dalam pengantar untuk buku Samsara Duka
Kirab malam dengan panji-panji hitam di malam larut; hujan dengan lolongan serigala berusia berabad yang terkutuk oleh nasibnya sendiri—sebagai penjaga gerbang sunyi antara malam dan larut; onggokan jiwanya telah melihat cahaya dan mentari terindah yang tak mungkin lagi jadi bagiannya. Ia telah tahu ke mana kembara—hanya berujung laut mati bagi matanya: ia telah tahu kemana kelana hanya memperpanjang usia dukanya—tetapi tinggal tiada siapa datang—tidak duka tidak cintanya yang lalu, waktu telah memasungnya sebagai tugu kesunyian di kota dengan lampu-lampu warna rembulan atau di antara dinding-dinding kafe dan galak tawa muram dari jiwa-jiwa yang diburu ingatan pada luka dan kepalsuan . O hendak bagaimana ia tuju lautan dalam jiwanya? Embun dan kabut, terik dan sunyi tak menjelmakan apa-apa; sungai-sungai kering, danau-danau bisu, dan gunung-gunung hanya lintasan beku—sedang malam penuh rembulan; dan tak satu lagu pun dapat dikenang. Jiwanya akan mati sebagai penjaga malam dengan lolongan timur dan barat yang gemanya menari-narikan angin, dan pohon-pohon purba sama birunya dengan lumut-lumut waktu yang tak lagi bisa ditakar; seperti usia kerinduan yang telah jadi abadi dalam kefanaan saban hari; begitulah akhir cerita semua cinta sejati; membenam dalam kepurbaan, menjadi langit dan gemintang; menjadi perjalanan dan duka cinta, genangan kenangan tentang ranum bibir belia, atau pipi merah jambu yang terbakar terik mentari pertama di laut timur, atau payudara yang bercahaya; atau botol-botol bir di redup hotel-hotel, jendela kereta yang membekukan gerak dan batin, tempat-tempat dan kesunyian yang tak sempat dikunjungi atau apa saja dalam segala rupa samsara—yang tak mungkin dimiliki kecuali dukanya; atau segala rupa panji-panji hitam waktu yang tak mungkin diulang kembali; sebagai gelak tawa atau percumbuan penuh duka—yang mengantar pecinta ke puncak kekosongan. (*)
Jakarta, 28 April 2020
Sabiq Carebesth
___
*) Buku sajak ini akan diterbitan Galeri Buku Jakarta pada pekan ke 4 Agustus 2020. Untuk info pemesanan silakan kontak whatsapp +62 813-1684-2110 (Book Coffee and More )