

Classic Poetry
Puisi-Puisi Alexander Pushkin
Kucintai Kau
Engkau kucintai; cinta, barangkali;
Belum begitu sirna di jiwaku;
Tetapi biarkanlah ia lebih banyak tidak mengusikmu;
Aku tak mau mendukakanmu sebintik pun
Engkau kucintai dengan diam-diam, dengan tanpa pengharapan,
Kadang dengan ketakutan, kadang dengan hasad
kita menyiksanya
Kucintai kau dengan tulus yang sangat,
dengan lembut yang sangat
Demikianlah Tuhan menganugrahimu
untuk dicintai oleh yang lain
1829
Arrivederci
Dengan seberaninya, buat yang penghabisan kalinya
Aku membelai-belai wajahmu yang kekasih di dalam pikiran,
Membangkitkan impian dengan kekuatan hati
Dan dengan rasa takut yang lemah dan
Dengan kemuraman mengenang cinta bagimu.
Tahun-tahun kita saling silih berganti berkejaran
Mengubah segalanya, mengubah kita
Tentunya engkau dengan pakaian gelap perkabungan
Diperuntukkan bagi penyairmu
Dan sahabatmu ini telah mati untukmu.
Damaikanlah sahabatku yang jauh
Rasa berpisah hatiku
Bagaikan seorang istri yang tanpa suami
Bagaikan seorang sahabat,
Yang memeluk sahabatnya dengan diam-diam
Menjelang pemenjaraannya
1830
Aku Di Sini, Inesilla
Aku di sini, Inesilla,
Aku di sini di bawah jendela.
Sevilla direngkuh
Kegelapan dan mimpi.
Kegagahan menjejali aku,
Aku diselubungi jubah hujan,
Dengan sebilah gitar dan pedang
Aku di sini di bawah jendela.
Kau tidurkah? Dengan bunyi gitar
Kau bakal aku bangunkan.
Lelaki tua-kah yang bangkit dari tidurnya,
Dengan pedang aku akan baringkan dia.
Tingkap sutra
Pasangkan di jendela…
Mengapa kau berlama?.. Tidakkah ada
Orang lain di sini?..
Aku di sini, Inesilla,
Aku di sini di bawah jendela.
Sevilla direngkuh
Kegelapan dan mimpi.
1830
Persembahan Kepada Seseorang
Aku ingat keselintasan yang memberi takjub:
Engkau muncul di hadapanku
Bagai pemandangan yang sepintas lalu
Bagai rupawanan sejati yang begitu pintar.
Dalam kelelahan kesedihan yang tanpa pengharapan,
Dalam kecemasan kesia-siaan yang ramai,
Suara yang lembut lama memanggilku
Dan sifat-sifat yang jelita saling mengimpikan.
Tahun-tahun berlalu.
Tiupan angin badai melawan
Menghilangkan impian-impian yang dulu,
Dan aku melupakan suaramu yang lembut,
Sifat-sifat surgamu.
Di pelosok yang sudut, di dalam kegelapan pemenjaraan
Dasar hatiku menggeliat lirih.
Tanpa kedewaan, tanpa inspirasi,
Tanpa butiran air mata, tanpa kehidupan,
Tanpa kecintaan.
Rasa untuk bangun mulai datang kembali di dalam jiwa
Dan sekali lagi engkau muncul
Bagai pemandangan yang sepintas lalu
Bagai kebagusan cerah yang begitu pintar.
Dan hati dihempas dalam kegiuran yang sangat
Dan kedewaan, dan inspirasi
Dan hidup, dan butiran air mata
Dan cinta
Menghidupkan kembali hati sekali lagi.
1825
Malam Hari
Untukmu, suaraku yang halus dan lelah
Mengusik kebisuan larut dari malam gelap
Lilin yang sedih di dekat peraduanku
Bersinaran; sajak-sajakku, bersenyawaan dan berdeburan,
Beraliran, anak sungai kasih sayang, beraliran, dijejali olehmu
Dalam kegulitaan matamu bercahayaan di depanku,
Bersenyuman padaku – dan aku mendengar suara-suara:
Karibku yang lembut, karibku … kau aku asmarai
Dan aku adalah milikmu
adalah milikmu
1813
Demi Tepian Pantai Tanah Negeri Yang Jauh
Demi tepian pantai tanah negeri yang jauh
Kau tinggalkan tempat lain;
Di detik-detik yang tak terlupakan, di detik-detik yang menyedihkan
Aku menangis begitu lama di depanmu.
Tanganku yang terasa dingin
Berusaha menahankanmu;
Keluh rintihku memohon-mohon kepadamu untuk tidak menghentikan
Rasa ngilu berpisah yang mengerikan.
Tetapi kau, lantaran ciuman yang menyusahkan hati
Mengatupkan kedua bibirmu;
Dari tempat pelarian yang suram
Kau memanggilku ke tempat yang lain.
Kau katakan: “Di hari bersua
Di bawah langit biru yang kekal,
Di dalam bayangan pohon-pohon zaitun dan ciuman cinta
Kita sekali lagi, kawanku, akan bersatu.”
Tetapi di sana, di mana lengkung langit
Bercahayaan di dalam kilauan membiru,
Di mana bayang pohon-pohon zaitun jatuh di atas air,
Kau tertidur dengan mimpimu yang penghabisan.
Kecantikanmu, penderitaanmu
Lenyap di dalam jambangan abu mayat –
Dan dengan kecantikan dan derita, ciuman pertemuan sirna
Tetapi aku menantikan sentuh cium itu; yang memanggil-manggilmu
1830
Bukit Georgia
Di bukit-bukit Georgia kegelapan malam merentang;
Aragva mericik lirih di hadapanku.
Aku merasa sayu dan mudah; kedukaanku berpancaran;
Kedukaanku dipenuhi olehmu,
Kecuali olehmu; olehmu seorang
Tidak ada yang menyiksa kemurunganku,
Tidak ada yang mengusik,
Dan hati sekali lagi kembali menyala
Dan mencintai – sebab itulah,
Hati tidak sanggup tidak mencintai.
1829
*Puisi-Puisi Alexander Sergeyevich Pushkin ini diterjemahkan oleh Ladinata Jabarti. Penerjemah pernah menimba bahasa Rusia langsung dari negeri Beruang Merah. Kini ia mengajar Sastra dan Bahasa di Universitas Padjajaran, Bandung.
**Alexander Sergeyevich Pushkin, dipandang sebagai sastrawan besar Rusia bukan hanya karena sejumlah karya yang dia hasilkan seperti puisi The Bronze Horseman, The Stone Guest, Mozart and Salieri, atau karya favoritnya Eugene Onegin. Lebih dari itu, dia diakui sebagai peletak dasar bahasa Rusia modern. Bahasa yang digunakan dalam berbagai karya Pushkin menjadi benchmark yang diikuti sastrawan-sastrawan Rusia yang hidup setelahnya, seperti Ivan Turgenev, Ivan Goncharov dan Leo Tolstoy. Muridnya, Nikolai Gogol begitu mengagungkan Pushkin.
Classic Poetry
Puisi Georg Trakl

Musim Gugur Yang Cerah
Begitu akhir tahun; penuh megah.
Bertanggar kencana dan buahan ditaman
Sekitar, ya aneh, membisu rimba.
Yang bagi orang sepi menjadi taman.
Lalu petani berkata: nah, sukur.
Kau bermain dengan senja Panjang dan pelan
Masih menghibur dibunyi terakhir
Burung-burung di tengah perjalanan.
Inilah saat cinta yang mungil
Berperahu melayari sungi biru
Indahnya gambaran silih berganti
Semua ditelah istirah membisu.
*) Georg Trakl (3 February 1887 – 3 November 1914) Penyair Austria. Salah satu penyair liris terpenting berbahasa Jerman di abad 21. Ia tak banyak menulis karena meninggal. Overdosis kokain menjadi penyebabnya. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
Classic Poetry
Puisi Rainer Maria Rilke

Hari Musim Gugur
Tuhan: sampai waktu. Musim panas begitu megah.
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
Dan atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan buahan penghabisan biar matang:
Beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka kemurnian dan baru jadi
Gulang penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang kini tidak berumah, tidak kan menegak tiang.
Yang kini sendiri, akan lama tinggal sendiri.
Kan berjaga, membaca, menyurat Panjang sekali
Dan akan pulang kembali melewati gang
Berjalan gelisah, jika dedaunan mengalun pergi.
Musim Gugur
Dedaunan berguguran bagai dari kejauhan,
Seakan di langit berlajuan taman-taman nun jauh;
Gerak-geriknya menampikkan tak rela jatuh.
Dan dalam gulingan malam dunia berat—jatuh
Lepas dari galau gemintang masuk kesunyian.
Kita semua jatuh. Ini tangan bergulingan
Dan padang Akumu itu: tak satu pun luput!
Betapa pun, ada orang yang sambut
Maha lembut ini jatuh di lengan kasihan.
Lagu Asmara
Betapa beta akan tahan jiwaku, supaya
Jangan meresah dikau? Betapa nanti ia
Kuntandai lintas dirimu ke benda lain?
Ah, aku ingin, semoga dapat ia kupisah
Ke dekat suatu sungai di tengah kegelapan
Disuatu tempat, sepi dan asing, nan tidaklah
Lanjut berdesing, bila kalbumu berdesingan.
Tapi semua yang menyentuh kita, kau dan aku,
Bagai penggesek menyatukan; kau dan aku.
Menarik bunyi tunggal dari sepasang tali
Pada bunyian mana kita ini terpasang
Dan ditangan pemain mana kita terpegang?
Wahai lagu berseri.
Dari buku ketika
Kau hari nanti, nyala pagi berkilau
Yang mencerah ranah keabadian
Kau kokok ayam disubuh akhir zaman
Embun, misa pagi dan perawan
Orang asing, sang ibu dan maut.
Kaulah sosok yang berubah-ubah
Yang menjulang dari nasib, selalu sepi
Yang tinggal tak dipuji dan tak diwelasi
Dan belum dipetakan bagai rimbaraya
Kau hakikat benda yang dalam nian
Yang menyimpan kata-kata wujudnya
Dan bagi yang lain selalu lain menyata;
Dipantai bagai kapal, di kapal; daratan.
*) Rainer Maria Rilke (1875-1926): ia kelahiran Praha, Ceko.Dianggap penyair bahasa Jerman terbesar dari abad 20. Karyanya yang terkenal antara lain Sonnets to Orpheus, Duino Elegies, Letters to a Young Poet, dan The Notebooks of Malte Laurids Brigge. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
Classic Poetry
Puisi Friedrich Nietzsche

Eco homo (lihat, manusia)
Ya! Aku tahu asalku dimana
Tak terpuaskan, nyala laiknya
Aku membubus menelan diri
Terang jadinya segala kupegang
Sisa kutinggal; semua arang
Memang nyala hakikat diri.
Mentari Silam
Hari hidupku!
Mentari silam.
Sepuh emas meliputi laut yang rata
Bukit batu panas bernafas; istanakah di atasnya:
Bahagia, dalam nikmat tidur petangnya?
Dalam cahaya hijau
Masih main-main
Bahagia mendaki jurang nan jingga.
Hari hidupku !
Senja telah dibatas
Telah hampir padam nyala matamu
Telah mulai turun rinai tangis embunmu
Telah merata di laut putih;
Merahmu mesra,
Nikmat bimbangmu yang penghabisan….
Dilamun Sepi
Gagak-gagak riuh
Berisik terbang menuju kota
Sebentar… salju turun—
Bahagia orang, yang kini masih—ada kampungnya!
Kini kau kelu
Menoleh, ah, sekian lamanya!
Yang lari kedunia sebelum waktunya!
Duna—gerbang
Keribuan gurun dingin dan bisu
Jang kehilangan,
Bagai kau kehilangan, tak kunjung lesu.
Kini kau lagut
Ternasib kelana dimusim dingin
Ya—asap, tak henti
Mencaari langit-langit lebih dingin
Terbanglah burung
Kumandangkan lagu ala burung gurunmu!
Sembunyikan, anakku
Dalam es dan cerita, hatimu yang luka.
Gagak-gagak riuh.
Berisik terbang menuju kota:
Sebentar… salju turun—
Celaka orang, yang tiada kampugnya.
*) Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), selain penyar adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, dan juga komposer. | editorial team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
-
Interview4 months ago
Haruki Murakami: Saya Kurang Suka Pada Gaya Kepenulisan Realis
-
Classic Poetry4 months ago
Puisi-Puisi Arthur Rimbaud
-
Milenia4 months ago
Tips Menulis Prosa Dari Ernest Hemingway
-
Budaya4 months ago
Mengembalikan Kedigdayaan Maluku
-
Inspirasi4 months ago
Alice Munro: Menulis Harus Disiplin dan Percaya Diri
-
Kolom4 months ago
Potret Membaca Kita
-
Milenia4 months ago
Drama Korea, Instrumen Pengajaran dan Dosen
-
Milenia4 months ago
Marlina dan Perlawanan Perempuan