

Puisi
Puisi Puisi Aghosh Kembara
Menolehlah Manis, Menolehlah
menolehlah manis, menolehlah
biar tampak itu wajah serupa Zulaikha
biar tak melulu cermin mendapat berkah
mata ini pula ingin merasakannya
betapa cantik itu tak ada cela
tahulah aku bukanlah Yusuf
tak tampan rupawan menggoda-goda
tak mampu menghasut pisau mengiris-giris jari pula
tetapi hati di dalam cangkang ini bolehlah diadu
takkan kalah dengan pujaanmu si blacan itu
menolehlah manis, menolehlah
pujian takkan keluar dari cermin
menolehlah manis, menolehlah
biar aku saja memujimu
menolehlah manis, menolehlah
lelah aku diamuk mimpi
Asoka, 2018
Berhentilah Mengeluh, Sayang
berhentilah mengeluh, sayang
hidup hanya perjalanan cerita
tak baik dibuat susah sampai berduka
bulir demi bulir itu usah cuma-cuma dibuang
coba lihat mereka, sayang
satu keluarga tak bisa menengok sunyi kota
tak tahu beda malam dan siang
tapi tak pernah aku lihat mereka berduka
si ibu dan ayah tabah mengurusi dua anaknya
betapapun anak susah dijinakkan pula
berhentilah mengeluh, sayang
kubur segala prasangka buruk di dalam ceruk
biar segala duka berguguran
biar di bibirmu itu senyum bisa bertumbuhan
biar tersumbat jalan bulir-bulir kesedihan
berhentilah mengeluh, sayang
dan berilah mata ini waktu
sejenak sampai di alam mimpi
berhentilah mengeluh, sayang
Asoka, 2018
Satu-satu Pasti Sampai
satu-satu pasti sampai
tak usah kau ragu-ragu meyakini
tak ada kata mendadak pulang
tak perlu ada kata tak bilang-bilang
tak ada beda
disayang atau tak disuka
diharap-harap atau tak berguna
bila daun jatuh apa bisa dikata?
kau boleh umbar berimbun tanya
berpuluh-puluh kutuk pun boleh juga
tapi tahulah kau itu tiada guna
Izrail pasti bilang kau itu gila
satu-satu pasti sampai
tak ada pilihan ganda
tak ada negosiasi
tak ada bincang-bincang soal puisi
satu-satu pasti sampai
kenanglah kelak aku sebagai puisi
Asoka, 2018
Lepaslah Buhulmu Untukku
lepaslah buhulmu untukku
tak kan pernah aku menghalaunya
soal tidur tak nyenyak atau makan tak enak
percayalah, rela aku sungguh-sungguh!
lepaslah buhulmu untukku
biar tidur ditumbuhi bunga-bunga
biar jaga ditumbuhi asa-asa
menjadi gila pun tak mengapa
lepaslah buhulmu untukku
tak kan pernah aku menghalaunya
sumpah!
Asoka, 2018
Di Bawah Bulan Perahu
di bawah bulan perahu
kau pernah menjadi kupu-kupu
mengepak-ngepak sayap merayuku
berputar-putar seperti lupa malu
saat lelah kau hinggap di bahuku
terdengar napasmu seperti dipompa
tahulah aku kau mudah hilang tenaga
maka kubiarkan matamu tidur semaumu
sebab bulan perahu tak bisa menyalang
jadilah malam serupa kain hitam
mengaburkan bulu-bulu kehidupan di dua sayapmu
yang mungkin sudah mulai gugur satu-satu
ketika bulan perahu bergeser
kau pun bangkit lagi membawa sayapmu
terbang bak peri kahyangan
lagi-lagi demi merayuku
tetapi di bawah bulan perahu kala itu
bibirku serupa batu
bergetar-getar menahan bulir getir
hendak menetas-netas di sudut mataku
Asoka, 2018
Senja di Bawah Senja Itu
Senja di bawah senja itu
tak terbuat dari jingga
Tetapi coklat tua
kumpulan dosa-dosa
Ia memang suka hinggap
di beranda orang diam-diam
Bukan hendak bicara soal senja
yang rentan tenggelam
musnah oleh gelap
Tetapi mengunyah bangkai saudara sendiri
tak malu-malu hingga busa di mulut buncah
tiada terkira
Senja di bawah senja itu
suka meratap bila tinggal sendiri
bicara tak keruan soal hidup tak keruan
misuh-misuh dan mengutuk kesunyian
Ia juga suka meramal kematiannya sendiri
yang katanya masih lama dan tak perlu dikhawatiri
Senja di bawah senja itu
pernah menenggak hujan berkali-kali
yang netas dari sudut matanya sendiri
Asoka, 2018
*) Aghosh Kembara. Lahir di Sumenep tanggal 18 Juli 1980. Tinggal di Sumenep. Bergiat di Komunitas Labita. Puisi-puisi saya pernah dimuat di Kabar Madura, Surabaya Post, Suara Karya, Lini Fiksi. Saya bisa dihubungi di nomor 085856524605. Pos-El: aghoshkembara@gmail.com.

Puisi
Menulis Puisi

1/
Kopi dari kabut nun jauh
Menghadirkan beku
Dingin di lembah
Kau terperosok jatuh
Tak ada sesiapa
Apakah kehidupan mati?
Kini kau tahu artinya
Kenangan dan waktu
Masa lalu yang ditakdirkan
Masa depan yang purba
2/
Sebatang rokok yang menggerus waktu
Kau meminta dan mengakrabi
Agar dari apinya menyala cahaya
Menerangi sukmamu yang mengepulkan kabut
Mencari dalam kegelapannya—bayangan-bayangan
“Bisakah kita tidak saling menyakiti?” Jiwamu bergumam.
3/
Buku harian di akhir tahun
Putih tandus seperti lembah mati
Bagaimana kau bertahan
Dalam ketandusan?
Menanam kata-kata
Dalam tandusnya sukma
Bila darinya mekar
Kembang-kembang jiwa
Kau mengiranya sajak-sajak
Siapa yang menghidupkan sajak?
Kembang jiwa—padi dan anggur
Untuk para penggembala
Yang kembara memboyong
Serigala dalam kalbunya
Kita tidak membuat puisi untuk dibaca
Kita tidak menulis puisi untuk dengan kata-kata
Kita menyusun dunia
Menulisnya dengan mantera!
4/
Kita adalah domba sekalian gembala
Kita mahluk terkutuk sekalian sufi terkasih
Kita serigala yang lolongnya menandai larut
Membangunkan para penggembala dari kematian
Agar kelana mencari dunia mati
Menyiram bebatuan dengan air mata
Hanya kekasihnya yang jauh mengirim mawar
Yang tangkainya terbuat dari sayap rajawali
Mengambilnya ke tempat tinggi, entah puncak sunyi.
Desember, 2018
Puisi
Puisi-Puisi Novia Rika Perwitasari

DALAM PERJALANAN KE STASIUN KERETA
Dalam perjalananku ke stasiun kereta, matahari telah luput
udara dingin menembus—kulit terbuka
kebisingan, kemacetan demi kemacetan
melenyapkan suara batin langit
wajah-wajah asing melintas
lampu jalan yang suram dan muram
di bawah grafiti sayap
menyulap siluet napasku
udara dingin menembus—kulit terbuka
kebisingan, kemacetan demi kemacetan
melenyapkan suara batin langit
wajah-wajah asing melintas
lampu jalan yang suram dan muram
di bawah grafiti sayap
menyulap siluet napasku
Dalam cermin hitam di bangunan dan mobil-mobil
aku melihat bayangan diriku yang tak sempurna;
pantulanku yang tak sempurna di jendela
mengumumkan adanya manusia di dalam diriku
mengintip jiwaku di antara orang-orang asing
dan percakapan yang hilang
dalam perjalanan ke stasiun kereta
Ini adalah perjalanan pulangku
di antara wajah-wajah yang merindukan rumah
menatah langit yang suram
pada baja kereta yang dingin
dan ruang di antara kursi-kursi kosong
dengan kelupaan yang selalu kulakukan
pada diriku dan jiwaku
Aku selalu sendirian
hingga kau datang hanya untuk menambah keheningan
keheningan yang tiba-tiba, sungguh lebih dari cukup
untuk memperbaiki setengah hatiku yang rusak
Diam-diam aku berharap, lebih lama
tiba di rumah
untuk menghirup udara tanpa batas ini
Jakarta, April 2018
TIBA DI STASIUN
Inginku memeluk bayangmu
di kaca kereta yang berganti-ganti cerita
namun kesunyian mengaburkan waktu
dan pintu terbuka di pemberhentian selanjutnya
Selamat tinggal, itu saja kataku
Akasia, 21 April 2018
JALAN HIDUP
Kita berdiri di beranda rumah, pagi-pagi sekali
Menanti pertanda arah hari dalam cahaya matahari
Perlahan merambati tubuh kita yang sekaku batang pepohonan
Kabar apa yang kita nanti, kita cari
Selain ingatan hangat yang mengepul di dekat secangkir teh hangat
Semakin mengental, semakin melekat tanpa perlu disuarakan
Setiap pagi aku menunggu matahari
Menelanjangi diri dari rasa sakit yang terkikis
Selapis demi selapis di bawah gradasi langit fajar
Sekali lagi hidup memberikan kesempatan mencicip luka
Yang terus kita obati dengan cara-cara rahasia
Goresan-goresan itu seringkali menyala di kala malam
Ketika kita fasih berbicara bahasa kalbu
Lalu, saat matahari menapak cakrawala maka hidup kita kembali menyala
Berjalan dengan kekuatan sederhana dan menjadi manusia
Apakah yang kita punya itu kepalsuan?
Bagiku, itulah kehidupan di bawah debu-debu matahari
Berlimpah cahaya, penuh bayangan dan pada saatnya pun tenggelam
Kita punya cara untuk memilih menjaga hati
yang kita cintai, dan mengikhlaskan hati kita sendiri
Terkadang cahaya akan hilang, lorong gelap menemui jalan terang
Cinta akan ditantang cobaan dan rasa benci mendadak hambar
Tak ada yang akan memilihkannya untuk kita
Jalan ini hanya kita yang mampu laluinya
Dengan kekuatan yang tersisa dalam napas
Jakarta, 29 Agustus 2018
BULAN TENGGELAM DI MATAMU
Aku melihat bulan tenggelam di matamu
Entah berapa lama, sinarnya merasuki
dan aku mulai melihat bayanganmu
berjalan melintasi lampu-lampu jalan,
pohon-pohon yang dimakan temaram,
asap-asap kendaraan dan riuh jalanan
Aku tak mengira akan mencari jejakmu
di tengah asing riuh malam
Di bawah bulan yang tenggelam di matamu
aku melihat kilas cahaya, saat kau menoleh
dari atas jembatan penyeberangan
mungkin saja, kau sama sepertiku
mencari jejak yang ditinggalkan bulan
Meski saat kita saling menemukan
kita sudah terbiasa pada cahaya bulan yang tak bersuara
Aku melihatnya di matamu, bulan yang tenggelam itu
mengisi kesunyian yang kita rahasiakan
dan aku tahu, tak ada jalan untuk membuka rahasia
kecuali pada angin jalanan ketika kita berjalan bersama
Malam ini
bulan menerangi setengah bagian bumi,
menerangi mata kita,
menerangi kesunyian yang timbul tenggelam,
dan sebelum ucapan selamat tinggal
sekali lagi aku melihat bulan tenggelam di matamu
Akasia, 17 April 2018
KOTA TANPA NAMA
Bila hati adalah kota yang kehilangan nama
tumbuh semarak dari ingatan yang berpijar
melingkar dan berpendar di sudut-sudut kota
Dan kota yang sibuk mencatat setiap perjalanan
tumbuh dari bumi, turun dari langit,
bertemu di persimpangan mata hati
Rombongan pejalan kaki menyusuri jalan berdebu;
sementara kita mencari jalan sendiri
yang terus bersisian, bersinggungan
namun tak akan pernah menjadi tujuan
tak akan mungkin, meski betapa dahsyat
hati ini berdetak di sampingmu
Kita telah menjadi bagian perjalanan,
fragmen yang berserakan di sudut kota
Di setiap keramaian dan ritme yang tak terkejar
sejenak waktu menghadirkan ruang temu
tempat kita bersandar tanpa saling bersentuhan,
tanpa saling bertatapan, tanpa saling mengungkapkan perasaan
Semua ingatan menjadi satu di dinding-dinding kota
mekar di setiap pergantian siang-malam
Bila suatu saat nanti,
aku menghentikan langkah di tengah jalan pulang
mungkin aku tengah mengingatmu
mungkin aku menyebut namamu dalam sepi
mungkin aku menahan luka ini sendiri
Akasia, 4 November 2018
*) Novia Rika Perwitasari. Berasal dari Malang, Jawa Timur. Saat ini tinggal di Tangerang Selatan. Senang menulis puisi untuk menghidupkan jiwanya. Karya puisinya masuk dalam berbagai buku antologi puisi nasional serta beberapa media puisi internasional seperti Dying Dahlia Review, The Murmur House, Haiku Masters NHK Japan, Optimum Poetry Zine. Pernah meraih juara 1 nasional lomba puisi Penerbit Oksana (2015), juara 1 nasional lomba puisi Majelis Sastra Bandung (2016), juara 1 nasional lomba puisi “Pindul Bersajak” (2017), juara 2 nasional Sayembara Pena Kita (2017), dll.
Puisi
Sajak Cinta Sepanjang Malam

1/
Cinta adalah masa yang menjadi silam
Yang terbakar menjadi api unggun
Di antara orang-orang mabuk
Kepayang dan kedinginan
Menahan pilu dan menari
Hasrat yang terkburu dan pedih yang menjulang
Dewi kasmaran memadahkan kidung dan lara
Janji yang silam
Tangismu dan ratapku bangkit
Dari kedalaman
Membisu dalam nyanyian
Tersesat dalam tarian yang asing
2/
“Mabuklah dalam cinta—
Kenapa tak kau nyanyikan lagu jiwamu?—
Beritahu seluruh dunia
Cinta yang tak sanggup berhenti
Ia berlari memburu
Lagu-lagu telah dikidungkan
Kenapa tak kau miliki cintamu
Yang telah menjadi lagu burung-burung malam
Dinyanyikan sepanjang pesta
Saat semua perindu
Merayakan keheningan.”
3/
Detak jantungmu
Pejam matamu
Ratap dan pilimu
Lelahmu yang menunggu
Bersekutulah bersama
Mabuk dan menyanyilah
Cinta adalah sajak panjang
Milik penyair dan penari
Yang tak pernah menulis sajak cintanya
Yang tak pernah menyanyikan lagu kasmaran
Detak jantungmu lagu ratapmu
Telah menjadi serigala
Yang melolong ke puncak dan jauh
Ratap cinta yang memanggil…
4/
Cinta ini akan kehilangan bahasa
Lagu ini akan kehilangan irama
Rembulan akan menjadi api
Seorang akan tetap menari
Perindu akan tetap bernyanyi
Kata-kata pulang ke surga
Yang tidak mabuk tidak mengerti
Yang bukan penyair takkan mendengar
Ratap cinta yang memanggil..
5/
“Lagu-lagu akan berakhir
Penyair akan berhenti
Api kan padam
Waktu segera berlalu
Pesta dan sunyi kan jadi pagi
Jika jiwa tak juga berpeluk
Takkan ada kisah cinta
Takkan ada lagu dan tari
Tak ada kesunyian dan hening
Juga tidak ratap dalam duka kata
Cintalah yang melahirkan bahasa
Cinta yang membakar semua
Cinta yang menyusun sajak ini
Cinta yang membakar
Sajak cintaku sepanjang malam”
6/
Peluk cintamu sebelum
Lampu-lampu kota ini dipadamkan
Dan orang-orang menggantinya
Dengan kata-kata tak bermakna
Berhamburan di jalan-jalan
Di kafe-kafe
O kekasihku, tak ada sajak dikafe-kafe
Tak ada sajak di jalan-jalan
Kita semua telah terlambat
Kehilangan lagu-lagu
Ditinggalkan dan Lelah
O kekasihku
Aku mabuk—senidirian!
Sepanjang malam—dalam sajak-sajak cinta
Yang gagal kutulis untukmu.
Jakarta, 23 Oktober 2018
-
Tabloids4 weeks ago
Tulisan Bermutu Tinggi; Modal Yang Perlu Dimiliki Seorang Penulis
-
Tabloids2 weeks ago
Budi Darma: Menata Bangsa dengan Menulis
-
Tabloids3 weeks ago
Obrolan yang panjang dan nyaris tuntas dengan penyair eksotis Donald Hall
-
Tabloids4 weeks ago
Mau Menulis?
-
Tabloids3 weeks ago
Seni Melampaui Panduan Menulis—Memikirkan Kata
-
Buku1 week ago
Paradigma Platon Perihal Pedagogi
-
Tabloids2 weeks ago
Octavio Paz: Antusiasme—kegila-gilaan yang bersifat ketuhanan—merupakan tanda (resmi) perpuisian
-
Interview2 weeks ago
Caroline Webb : Saya belajar nilai presisi dan kejelasan dalam menulis dari laporan perbankan