Literature
Kita yang kesepian takkan mengerti

Puisi Sederhana
Jika kita kalah malam ini penyairku
Sebelum anjing di langit melolong
Sebelum tikus-tikus merayakan rembulan
Dan kita terus gagal menjadi waktu
Kita harus tunduk dan bunuh diri
Puisi adalah detak jantung
Yang mempercepat malam
Menggiring kesunyian kita
Ke peraduan di mana kita
Menggambar cinta dengan penuh nafsu
Puisi adalah langkah kaki
Yang menuntun jiwa kita
Mengarungi lautan paling dalam
Di sana matanya
Membawa kita kembali
Ke meja-meja kopi
Kepada jendela-jendela hotel
Pada jalan-jalan berembun
Pada kereta terakhir
Yang tiba dari kejauhan subuh
Kepada sajak-sajak ngeri
Kepada nisan-nisan waktu
Di mana kita menemukan rindu
Di mana luka-luka jadi prasasti
Dengan taman bunga kehilangan
Di laut di laut penyairku
Di lautan dalam segelas kopi yang lalu
Kita mungkin menyerah sekali lagi..
Jakarta, 2017
Puisi Pendek
Ratapku bersama segelas kopi
Tentang malam yang hingar
Tentang nasib kita yang tambah sunyi
Dua dara dengan kaki selembut ombak
Duduk dalam kerapuhan
Ia sepertiku juga
Tak tahu ke mana hendak pulang
Selain menepi pada malam
Dengan lagu-lagu panjang
Tentang hari-hari kelu
Tapi siapa peduli
Kita hanya mahluk asing
Lelah pada zaman
Tapi kita tak lebih
Dari potret diri
Dalam hingar bingar
Mencari jalan pulang
Sementara kita tahu
Di rumah tak siapa menanti..
Jakarta, 2017
Penyair Zaman Kita
Para penyair kehilangan lagunya
Para penyair kehilangan bahasa
Para penyair terkapar
Di belantara malam
Di pintu-pintu pagi
Benar-benar tak berdaya
Penyair zaman kita
Benar-benar tak berdaya
Terkutuk oleh hayalannya sendiri
Tak tahu rasanya kebebasan
Menari dalam kesepian
Bercinta dengan bayangan
Penyair zaman kita
Menua dan sia-sia
Benar-benar tak berdaya
Siapa hendak dihiburnya
Setiap orang tenggelam
Dalam keterasingan sendiri-sendiri
Dan penyair tahu nasibnya
Di belantara malam
Dipintu-pintu pagi
Benar-benar tak berdaya
Kita adalah lelucon
Bagi zaman yang semu.
Jakarta, 2017
Puisi dan Penyairnya
Kita adalah tubuh masa silam
Telah menjadi kenangan
Seperti kereta tua melaju
Ke stasiun terakhir
Tak ke mana-mana lagi
Katakana padaku
Kenapa kau berhenti menulis puisi?
Kita mungkin kalah, tapi tidak puisi
Kita mungkin tak ke mana-mana lagi
Tapi puisi jarak abadi
Dan kita peziarah yang malang
Kau tahu di mana senja waktu itu istirah?
Di mata puisi !
Jakarta, 2017
Kita Adalah Jarak
Mataku terbenam di lautan
Dalam malam yang membosankan
Aku ingin menari aku ingin menunggang kuda
Betapa omong kosong telah begitu lama
Betapa larut untuk menyadari sia-sia
Orang-orang menderita
Orang-orang lupa
Waktu hanya catatan pendek
Dari halaman segala yang pergi
Kita memandang malam
Mendengar anjing melolong kesepian
Suara AC, tikus-tikus resah
Dan kita yang nyaris tak berdaya
Kita pendosa tanpa sebab
Kita menjadi bodoh ketika larut
Kita begitu kecil dan hampa
Kita seperti juga malam
Seperti sepi seperti ombak
Seperti laut—kita menelan
Kesunyian sendiri-sendiri
Kita harus terlahir setiap hari
Tapi kita hampa setiap hari
Kita mahluk fana setiap kali malam
Musik yang mengalun dalam jiwa
Datang dari penjuru kejauhan
Kita selalu dalam jarak
Kita dalam waktu yang berdenting
Menjadi bunyi, lagu, musik
Menjadi kenangan, hilang…
Kita sama dengan segala ketiadaan
Kita hanya meminjam cahaya
Untuk melihat setiap kegelapan
Kita meminjam keindahan
Untuk melihat segala hampa
Kita akan berhenti
Dan saat itu kerinduan menjadi nyawa
Kita kedinginan, seperti berdiri sendirian
Di hadapan lautan
Kita mungkin menyeberangi
Segala yang tak kita tahu di kejauhan
Kita mungkin terhempas
Dan tak satu benang pun
Menghubungkan kita dengan masa silam
Tak satu jiwa pun bebas dari hampa
Apa yang kita punya?
Jakarta, 2017
Kita yang kesepian takkan mengerti
Jubah malam merenggut hasrat
Membenamkan kita dalam tiada
Sekan kemarin tiada
Seakan esok tinggal hampa
Kita akan pergi juga
Menjauh dari segala
Entah kenapa kita tiada
Atau malam telah sia-sia
Para pecinta berhenti mabuk
Tapi tiada kuasa merenggut anggur
Dari bibir kekasihnya dahulu
Dan mawar yang ia tanam
Kini jadi belantara hampa
Siapa akan menemukan jalan
Dalam belantara
Mawar tumbuh merekah pada matahari
Kita yang kesepian takkan mengerti
Oh jiwa-jiwa hampa
Malam adalah lelucon paling ngilu
Tentang cinta yang tersesat
Malam adalah leucon paling ngilu
Hanya mungkin bagi mereka
Yang jiwanya penuh lara.
Jakarta, 2017
*SABIQ CAREBESTH: Lahir pada 10 Agustus 1985. Tinggal dan bekerja di Jakarta. Editor pada Halaman Kebudayaan “Galeri Buku Jakarta” (GBJ). Buku kumpulan sajaknya terdahulu “Memoar Kehilangan” (2012). Kumpulan sajak terbarunya “Seperti Para Penyair” (2017)
**Puisi ini sebelumnya terbit di Koran Media Indonesia (2017)
Literature
Bertemu Puisi (Belum) Berlalu

Puisi mereka tak masuk dalam antologi puisi Indonesia, dari masa ke masa. Para peneliti puisi Indonesia atau kritikus sastra mungkin belum sempat bertemu dengan halaman-halaman belakang di Penghidoepan.
Oleh: Bandung Mawardi

__
Bandung Mawardi, Penulis buku Dahulu: Mereka dan Puisi (2020)
Pada masa 1930-an, puisi tak cuma berebut tampil di halaman-halaman Poedjangga Baroe. Majalah itu memang memberi ruang terhormat bagi para pujangga pamer gubahan puisi bercap “baroe” atau modern. Sejak masa 1920-an, puisi-puisi ditulis oleh Muhamad Yamin dan Roestam Effendi dengan seruan agar para pujangga bergerak ke puisi modern berasal dari Eropa, meninggalkan “pantoen” dan “sjair”. Pengumuman itu disambut Ami Hamzah, Sanoesi Pane, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan JE Tatengkeng dengan segala tanggapan bermufakat atau membantah. Mereka menengok ke Barat, menggubah puisi-puisi dengan estetika “baroe” atau modern. Estetika masa lalu tetap tak semua bisa ditinggalkan atau sirna. Para pujangga masih sanggup mengucap estetika lawas agar puisi “baroe” tak terlalu asing bagi pembaca di Indonesia. Majalah Poedjangga Baroe jadi rumah mentereng bagi ratusan puisi “baroe”. Penerbitan buku-buku puisi semakin menguatkan hasrat “baroe” dalam kesusastraan Indonesia. Di luar Poedjangga Baroe dan buku puisi, kita gampang abai atas kemunculan puisi-puisi di media berbeda.
Pada masa 1930-an, buku cerita bulanan Penghidoepan kadang memuat puisi-puisi gubahan para pujangga peranakan Tionghoa di halaman-halaman belakang. Penempatan di belakang mirip “hadiah”, setelah pembaca menuntaskan membaca cerita-cerita. Redaksi memberi nama rubrik puisi “Bajangan Penghidoepan.” Pemuatan puisi tak rutin tapi diminati pembaca. Buku cerita bulanan itu diterbitkan oleh Tan’s Drukkery (Surabaya). Pengirim puisi berasal dari pelbagai kota. Puisi-puisi bersemi, menghampiri pembaca. Pada masa 1930-an, puisi-puisi terkesan jadi selebrasi inklusif di Penghidoepan ketimbang di Poedjangga Baroe. Nama para pujangga di Penghidoepan memang tak kondang. Mereka telah menunaikan misi literasi, tak mengharuskan sesuai tata estetika “baroe” pada masa 1930-an. Keluguan itu membuat puisi-puisi di Penghidoepan tak pernah masuk dalam uraian sejarah puisi modern di Indonesia. Puisi mereka tak masuk dalam antologi puisi Indonesia, dari masa ke masa. Para peneliti puisi Indonesia atau kritikus sastra mungkin belum sempat bertemu dengan halaman-halaman belakang di Penghidoepan.
Buku Puisi Lama dan Puisi Baru susunan Sutan Takdir Alisjahbana tak memuat puisi-puisi gubahan pujangga peranakan Tionghoa. Buku Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga 40-an garapan JS Badudu juga tak memberi halaman-halaman memadai bagi kehadiran puisi persembahan para pujangga peranakan Tionghoa. Puisi mereka berbahasa “Melajoe” atau Indonesia dan bercerita hal-hal di Indonesia. Bahasa dan tema tetap tak jadi pertimbangan masuk ke buku antologi. Buku Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern, 4 jilid, susunan Linus Suryadi AG tak mengikutkan puisi-puisi berasal dari Penghidoepan. Perbedaan justru ada di buku berjudul Meneer Perlente: Antologi Puisi Periode Awal, editor Sapardi Djoko Damono dan Melani Budianta, terbitan Pusat Bahasa, 2009. Buku itu memuat puisi-puisi gubahan para pujangga keturunan Tionghoa di pelbagai surat kabar, sejak akhir abad XIX.
Kini, kita ingin menengok lagi Penghidoepan agar puisi-puisi tak mubadzir. Pada terbitan Penghidoepan No 116, 1934, redaksi memuat ceirta berjudul Dari Djoerang Siksa’an karangan Tjia Swan Djioe. Di halaman 113-116, setelah cerita tamat, redaksi memuat puisi-puisi dari para pelanggan dan pembaca setia Penghidoepan. Redaksi perlu memberi pengumuman berjudul “Sedikit Kabar Redactie”, memakai struktur puisi: Banjak pembatja ambil bagian dalem ini taman/ sair./ Selaloe kirim karangan, seperti ketarik ilmoe/ sihir./ Hingga bikin kita girang dan goembira berpikir./ Kerna banjak perasa’an hati, djadi toempah/ teroekir.// Sair doeka dan girang, senantiasa kita trima./ Jang penting dan moeloek lantas dimoeat sigra/ Satoe dan laen aken sama-sama petik/ kegoenaannja./ Artinja semoea boeat satoe dan satoe boeat semoea. Penjelasan itu tentu berbeda dengan cara Sutan Takdir Alisjahabana melakukan seleksi puisi atau menulis kritik puisi di Poedjangga Baroe. Redaksi Penghidoepan tak berlagak paling mengerti estetika. Kehadiran puisi justru dimaknai selebrasi bersama tanpa patokan-patokan ketat.
Kita ajukan puisi berjudul “Satoe Kenangan” gubahan Liang. Puisi bersahaja, bermaksud berbagi amanat tanpa samar: Akoe pandang itoe boenga dengen pikiran/ melajang/ Sembari sedot dan rasaken ia poenja keharoeman/ Tapi, ah Goesti, akoe liat ia lantas djadi berarakan/ Kerna koembang djahat dateng timboelkan keroesakan// Akoe pikir, itoe sama sadja dengen keada’annja/ penghidoepan/ Dari manoesia jang bermoela tjantik, djadi/ rontok berantakan/ Seperti di permoelaan dalem kasenengan dan/ kegoembira’an/ Tapi kamoedian itoe semoea djadi moesna/ tiada keliatan. Puisi itu tak usah dibandingkan dengan puisi-puisi gubahan Amir Hamzah, Tatengkeng, Sanoesi Pane, atau Sutan Takdir Alisjahbana. Redaksi Penghidoepan memuat puisi Liang mungkin dengan pertimbangan berbagi pesan kehidupan pada pembaca tanpa metafora rumit. Pesan dianggap bisa berterima ke pembaca.

GP Sie dalam puisi berjudul “Keloehan” juga berbagi pesan tanpa penggelapan estetika. Puisi termuat di Penghidoepan No 115, 1934. Sie seperti melakukan dokumentasi perasaan atas realitas masa 1930-an. Puisi sebagai dokumentasi berisi ungkapan-ungkapan dramatis dan mengacu ke cara tanggap pribadi. Puisi juga sesak nasihat. Kehadiran puisi “Keloehan” jadi bacaan sejenak untuk merenung. Sie menulis: Di doenia djarang teroendjoek kesoetjian/ Kerna bergolaknja orang poenja kenapsoean/ Lantaran roemah tangga poenja kesoesahan/ Mendjadikan soeami poenja hati ta keroean// Doenia penoeh dengen keloeh dan tangisan/ Dari kemiskinan dan berbagai kesedihan/ Ngeri, ngeri sekali ia poenja keada’an/ Hingga ia dinamaken djoerang kedoeka’an. Kini, setelah puluhan tahun berlalu, pembaca mungkin menuduh puisi itu cengeng. Puisi jadi luapan perasaan. Sutan Takdir Alisjahbana mungkin memberi cap melemahkan nasionalisme, mengganggu modernisasi, dan menghina optimisme kebaruan.
Rubrik “Bajangan Penghidoepan” menjadi ruang berbagi nasihat, renungan, atau pesan. Para pembaca merasa menemukan alasan menikmati puisi demi “memetik hikmah” atau menjalankan misi “mengingatkan” dan “mewartakan.” Urusan asmara, pernikahan, keluarga, nafkah, kemiskinan, spiritualitas jadi tema-tema berulang. Pembaca mungkin tetap menikmati, enggan bosan atau protes. Puisi terasa jadi cara berekspresi “terhormat” agar bisa berkomunikasi dengan sesama pembaca Penghidoepan. Tsiang-nien persembahkan puisi berjudul “Bingkisan Dari Satoe Ajah”, dimuat di Penghidoepan No 103, 1933. Puisi berisi nasihat bijak, gampang terbaca dan terpahami: Djadilah istri jang baek dan bergoena/ Djadilah djoega satoe iboe jang bidjaksana/ Itoelah apa jang soeami harep di mana-mana/ Biar sekarang, begitoepoen di djaman koena… Ati-ati djangan sampe kena penjakit djoedi/ Djoedi djahat melebihi segala setan memedi/ Bila kaoepoenja kawan adjak kaoe djoedi/ Djawablah dengen lantas: “Akoe tida soedi.” Kita anggap nasihat itu lumrah. Tata kata Tsiang-nien tak muluk sebagai puisi “baroe” tapi cenderung menginginkan ke pertimbangan pesan.
Pada masa 1930-an, nasihat bagi istri atau pembinaan istri dalam berkeluarga sudah jadi masalah besar dan genting. Modernisasi membuat orang-orang sering linglung nilai, tergoda paham-paham baru, atau repot beradaptasi dengan zaman kemajuan. Tema itu pernah diuraikan secara apik dalam buku berjudul Satoe Istri jang Doenia Impiken atawa Penoentoen Kebroentoengan Roemah Tangga oleh Ang Kiauw San, terbitan Ang’s Publishing House, Batavia, 1935. Buku “ditoelis boeat njonja-njonja dan gadis-gadis Tionghoa dari segala tingkatan dan pladjaran jang hargaken dan inginken kebroentoengan roemah tangga, tapi haroes dibatja oleh seswatoe orang lelaki.” Tebal 92 halaman. Puisi gubahan Tsiang-nien itu ringkas, pantas jadi rangsangan pembaca menuju buku karangan Ang Kiauw San. Tema dan isi puisi terasa tak basi, selalu jadi aktual.
Di Penghidoepan No 131, 1935, pembaca bertemu puisi nasihat berjudul “Saling Mengarti” gubahan YS Chan. Puisi bercerita nasihat kakek pada cucu. Kita mengandaikan para pembaca di masa 1930-an menjadi pembaca mendapat ribuan hikmah dari puisi-puisi di rubrik “Bajangan Penghidoepan.” Kita simak nasihat Chan: Tjoetjoekoe, kaloe kau djadi sepasang merpati/ Kau haroes hidoep roekoen dan saling mengarti/ Masing-masing koedoe berlakoe tiada menjakiti/ Tapi berlakoe mengindah en saling menghormati// Terhadep masing-masing djangan berparas asem/ Dari pada asem ada lebih baek saling mesem/ Tjoba tengok soedaramoe jang berada di Lasem/ marika sampe loepa daratan, kerna tersengsem! Nasihat sempat mengandung humor. Puisi untuk bernasihat itu lazim. Di Penghidoepan, pembaca dan penulis saling berbagi nasihat. Begitu. (*)
__
Bandung Mawardi
Penulis buku Dahulu: Mereka dan Puisi (2020)
Literature
Analogi dan Ironi dalam Romantisme

Ketika bahasa tengah dalam usaha menyusun visi bagi dirinya sendiri untuk menjadi kembaran jagad raya, itulah yang disebut analogi. Semakin visi itu memuncak, secara simultan musuh kembarnya lahir dengan visi keruntuhan, suatu kecelakaan fatal—kematian, itu lah ironi. Yang seperti kata Charles Pierre Baudelaire, ironi lantas memiliki banyak nama: anomali, kecelakaan (bahasa), ajaib, banal, atau yang aneh dan yang ganjil.
Dalam kelahiran kembar analogi dan ironi itu lah, “romantisme”, sebagaimana dengan baik dijelaskan Octavio Paz dalam banyak esainya, menyatakan diri dan berlangsung.
Romantisme mengembangkan visi arsitekturalnya di atas pondasi analogi dan ironi untuk menjadi negasi bagi modernitas. Suatu negasi yang tetap berada di dalam modernitas itu sendiri—sekali lagi meski dengan misi utama menumbangkannya! Suatu relasi “filial” sekaligus kontroversi antara romantisme dan modernitas.
Romantisme adalah anak dari abad modern, abad kritik (the age of criticism), dengan demikian ia juga mewarisi sifat memberontak, sehingga romantisme sekalian merupakan kritik terhadap kritisisme rasional.
Dibandingkan waktu historis, romantisme lebih menyukai waktu asali (the time of origins) sebelum sejarah: ia lebih suka hasrat-hasrat, nafsu, cinta dan daging yang segera dan sekarang—ketimbang masa depan yang utopian yang digadang modernitas dan proyek rasionalisme kritisnya.
Dengan paham itu kaum romantik membangun tradisi puisinya sendiri di era modern, terutama melalui Yeats, Rilke dan kaum surelialis—sampai ketika musuh kembarnya, ironi, merusak irama (rhythm) cyclical kerajaan imajinasi dan sensibilitas kaum romantik.
Waktu oleh ironi dikembalikan menjadi sepenuhnya linear, menuju ke kematian dewa-dewa dan manusia sekaligus sebagai suatu peristiwa historis.
Baca juga: Octavio Paz, Puisi Panjang dan Tanda..
Bacalah beberapa puisi yang bersemangat “menghidupkan apa yang dikira orang mati” dalam istilah Chairil Anwar—dalam beberapa bait pembukanya, kemudian dengan begitu tak terduga dalam moment bersamaan, mengabarkan keruntuhan pada bait penutup puisinya—itu lah romantisme (puisi) jika bisa digambarkan, sekedar untuk tidak mendistorsinya sebagai lebay belaka, atau kecemenan perasaan yang muda usia.
Dengan demikian mudah dipahami pula, bahwa bagaimana pun, tindakan puitik (romantik) adalah juga suatu subversi—semangat pemberontakan, paling tidak atas definisi waktu di dalam sejarah linear, yang toh kerap merupakan suatu konstruksi dari kepentingan ekonomi politik kekuasaan.
Afrizal Malna dalam pengantar yang ditulis untuk buku saya “Memoar Kehilangan” menulis begini: “Karena kenangan tidak sama dengan rapuhnya bahasa yang ikut berubah bersama dengan perubahan sosial-politik”. (*)
*) Sabiq Carebesth: Penyair, founder and editor in chief Galeri Buku Jakarta (GBJ).
Buku
Pahlawan Dibalik Layar

Oleh: Umar Fauzi Ballah *)
Dalam situasi bernegara dan berbangsa yang diliputi laku korupsi dan kolusi sebagian besar elit politik, bahkan kerawanannya telah menjangkau sakit kebudayaan—membangunkan sosok anutan dari tidur sejarahnya bisa menjadi upaya baik dalam mencarikan jalan ingatan; bahwa bangsa ini dibangun oleh pribadi berintegritas dan orang-orang jujur. Sosok Djohan Sjahroezah, adalah salah satunya.
Usaha Riadi Ngasiran—penulis buku “Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah, Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah” untuk mengumpulkan renik kehidupan seorang Djohan Sjahroezah dalam buku biografi karyanya patut diapresiasi dengan kegembiraan, terutama karena usaha kerasnya mengingat sosok yang ditulis tidak setenar Bung Karno atau Bung Hatta. Usaha memperkenalkan sosok Djohan Sjahroezah yang dikenal sebagai tokoh pergerakan dan politikus adalah momentum tepat di tengah kondisi korup elite di negara ini.
Nama Djohan memang tidak setenar Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Hatta, Soekarno, maupun Adam Malik, teman seangkatannya, serta mertuanya, H. Agus Salim. Ia juga tidak setenar sosok reaksioner, bung Tomo, walaupun pada saat meletus peristiwa 10 November 1945, bung Djohan juga sedang berada di Surabaya untuk melindungi Tan Malaka (hlm. 147).
Djohan adalah pahlawan dalam kapasitasnya dan perannya sebagai organisator yang disegani di Indonesia, terutama di tanah Jawa. Ia bukan pahlawan yang dikenang namanya dengan mengangkat senjata. Ia juga bukan pahlawan yang disegani karena kelihaian berpidato, tetapi ia adalah satu-satunya tokoh yang paling dipercaya banyak kelompok dalam membangun jaringan-jaringan bawah tanah. Ia mengkader pemuda saat itu di berbagai daerah seperti Batavia, Bandung, Yogyakarta, maupun Surabaya yang pada saat itu ia menjadi buruh di perusahaan minyak Belanda, BPM (Bataafsche Petroleum Maatshappij).
Djohan Sjahroezah adalah tokoh kelahiran Muara Enim, Sumatera Selatan, 26 November 1912. Ia seakan menggenapi tokoh-tokoh lain dari trah Minangkabau yang juga berjibaku di panggung sejarah Indonesia seperti Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Tan Malaka, Hamka, Mohammad Natsir, H. Agus Salim, maupun Sutan Sjahrir, pamannya.
Dengan kelihaiannya membangun jaringan, dia bersama Adam Malik, Soemanang, A.M. Sipahuntar, dan Pandoe Kartawiguna mendirikan Kantor Berita Antara tahun 1937 yang sampai saat ini masih eksis. Kantor Berita Antara adalah perjuangan perdananya dalam rangka turut serta memperjuangan kebebasan bangsa Indonesia. Ia menyadari betul fungsi dan peranan pers sebagai alat perjuangan.
KB Antara bukanlah tempat pertama Djohan di bidang jurnalistik. Sebelumnya, dia bergabung dengan Arta News Agency, sebuah kantor berita milik Samuel de Heer, seorang Belanda. Ia memutuskan keluar dari Arta tahun 1937 dengan kesadaran bahwa dirinya harus mengembalikan komitmen aslinya: mengutamakan fungsi dan tanggung jawab kemasyarakatan. Masyarakat di bawah kekuasaan penjajah harus dibebaskan, demikianlah posisi dan peranan pers yang telah didefinisikannya. Djohan dan jurnalis sezaman merumuskan peranan pers sebagai pengantar masyarakat ke masa depan (hlm. 83).
Lingkaran Sjahrir
Ketika membincangkan kehidupan Djohan, tidak bisa terlepas dari sosok Sutan Sjahrir. Karena itu, sebagian besar buku ini berada dalam “alur” Sutan Sjahrir. Ketika membicarakan tindak-tanduk Djohan, muncul juga peran Sutan Sjahrir di dalamnya. Djohan adalah salah satu loyalis utama Sutan Sjahrir.
Ketika Sutan Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada 12 Februari 1948, Djohan adalah sosok yang masih setia mengikuti Sjahrir. Sebelumnya, pada 1 November 1945 Amir Sjarifuddin mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi), sedangkan Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis (Paras) pada 19 November 1945. Karena persamaan sikap antikapitalis dan antiimperialis, pada 16—17 Desember 1945 kedua partai tersebut bergabung menjadi Partai Sosialis (PS) yang di dalamnya juga ada kelompok komunis. PS tidak berumur lama karena ketegangan kelompok komunis dan kelompok sosialis di dalamnya yang puncaknya terjadi ketika Bung Hatta mengumumkan kabinetnya pada 29 Januari 1948 menggantikan Kabinet Amir Sjarifuddin. Sjahrir adalah pendukung penuh Kabinet Hatta, sedangkan Amir memutuskan menjadi oposisi bagi Kabinet Hatta. Hal itu membuat Sjahrir dan kelompoknya, termasuk Djohan keluar dari Partai Sosialis dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Judul : Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah, Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah | Penulis : Riadi Ngasiran | Penerbit : Penerbit Buku Kompas | Tahun : cetakan pertama, Mei 2015 | Tebal : xlvi + 418 hlm. | ISBN : 978-979-709-918-3 | Harga : Rp99.000,00
Sebagai tokoh yang bergerak di dunia pergerakan, Djohan memiliki banyak kader yang tentunya diharapkan mengikutinya sebagai bagian dari lingkaran Sjahrir. Namun, kenyataannya berbeda. Tidak sedikit kader-kadernya berada di seberang jalan menjadi kader partai komunis. Dengan kemampuannya memahami ajaran Marxisme dan jurnalistik, Djohan menjadi corong untuk menjelaskan pandangan-pandangan kelompok sosialis secara tertulis dalam rangka menjawab “tuduhan-tuduhan” kelompok komunis.
Riadi Ngasiran, dengan pengalamannya di bidang jurnalistik dan sastra, berhasil mengolah biografi ini dengan baik. Pernik kehidupan Djohan memang tidak disampaikan secara dramatis sebab biografi ini adalah catatan politis tentang sosok Djohan Sjahroezah. Riadi menggambarkan sosok Djohan secara umum dalam tiga masa penting, yakni perannya sebagai tokoh pergerakan bawah tanah dalam usahanya mengkader pemuda; peran Djohan di dunia jurnalistik; dan perannya sebagai politikus Partai Sosialis Indonesia.
Djohan, sebagaimana manusia biasa, juga menjalani hidup sebagaimana kebanyakan masyarakat. Hal ini takluput dari catatan Riadi. Kisah Djohan dengan istrinya, Violet Hanifah, putri H. Agus Salim, pun digambarkan dengan hidup, seperti perjuangan masa-masa sulit bersama sang istri. Dalam biografi ini, Riadi menyuguhkan tempo tulisan yang dinamis. Di saat tertentu, ia menggambarkan secara naratif dan di saat yang lain secara argumentatif dengan memaparkan berbagai fakta tekstual.
Sebuah buku tidak lain adalah representasi ide-ide sang penulis. Kehadiran biografi ini menjadi wacana tandingan yang menampilkan tokoh dari golongan sosialis. Riadi Ngasiran sadar betul bahwa, selain karena peran Djohan sebagai tokoh jurnalis, menampilkan sosok Djohan adalah meneguhkan keberimbangan wacana tentang peran pergerakan yang dilakukan oleh kelompok sosialis, terutama kaitannya dengan konfrontasi golongan komunis.
Buku ini telah menandai keberadaan sosok yang tidak begitu populis di panggung sejarah Indonesia. Buku ini dihadirkan di waktu yang tepat. Keteladanan Djohan Sjahroezah dalam perjuangannya melalui berbagai pergerakan aktivis dan politis harusnya menjadi ruang refleksi bagi pergulatan politis Indonesia saat ini yang sudah jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. (*)
*) Umar Fauzi Ballah penikmat buku di Komunitas Stingghil, Sampang tinggal di Sampang sebagai Kepala Rayon LBB Ganesha Operation Sampang.