

Puisi
Afrizal Malna: sebuah jantung Jakarta di Batavia
ceritakan pada seseorang yang sudah 60 tahun, tentang kota dan generasi yang hilang”. membayangkan gambaran ruang tentang kiri, kanan, atas, bawah, dan kuasa kata melibas masuk ke dalam arah mata angin. seseorang seperti sebuah gang pada ujungnya yang buntu.
sebuah jantung Jakarta di Batavia

jantung itu terbuat dari sebuah pasar. lampu patromak dimana-mana. malam dan bekas hujan. “diobral, diobral, buku bekas, kaos oblong, sandal jepit. diobral. kerudung, kutang, celana dalam diobral. gunting kuku, jarum, benang, peniti, siapa mau beli.” –> kota adalah peta terakhir untuk melupakan dari mana asalmu.
pemberontakan teater modern bung muscar dari buku bekas. ajip rosidi teriak-teriak di atas sepeda berlari kencang: “misbach-misbach, puisimu dimuat di majalah siasat.” muslim thaher mendirikan akademi akutansi dari teater bekas. 1967. iwan simatupang petantang-petenteng mau bikin film penyakit kita semua, dan batal. kangkung, bayem …. jengkol, pete. senimanseniman senen sudah biasa membatalkan hari senin di hari minggu. “ada buku death of salesman arthur miller di toko buku loak nasution.”
es sirop, kepala ikan, dendeng kering di restoran padang. telur asin, tempe goreng, kacang buncis di warung sunda. kue putu, pedagang kopi, kacang rebus. malam berbau bedak tebal, aspirin dan pinisilin. pengemis dan sisa-sisa kaki buntung bekas kusta. tukang pijat dengan mata bolong, bunyi kaleng berisi batu menyusuri lorong-lorong malam. bang pi’i dan anak buahnya dari gembong cobra. udara panas dari lampu patromak, garis sebuah perampokan mimpi-mimpi liar. (barclays bank, 1967 itu, mulai membuat mesin teller otomatis pertama di london utara). gubernur ali sadikin sedang mengubah kota. 29 % anggaran kota dipungut dari perjudian. pembangunan, efisiensi, mulai mengubah poster-poster “bapak revolusi”. film nasional mulai meleleh di bawah film-film india.
(seorang anak masuk ke dalam kelambu tidurnya. dia membayangkan di atap kelambu itulah tuhan tinggal). jakarta diriset, disurvei, ditabulasi dalam tabung-tabung populasi menjelang 4 juta penduduk kota.
ibu-ibu mulai berhadapan dengan spiral untuk keluarga berencana, menjaga vagina mereka dari benda-benda asing. setiap aku mulai terkurung dalam kartu keluarga. belok kiri dari bioskop rex ada jalan melati. modernisasi kemudian menggusur dan menghancurkan sang legenda.
proyek senen, pusat pertokoan modern waktu itu, mulai dibangun. ketika hujan turun, kolamkolam betonnya berubah jadi kolam renang. anakanak kampung berenang-renang dalam kolam itu. berita anak hilang mulai sering terdengar. kepalanya dijadikan tumbal untuk bangunan bertingkat, katanya. hantu dan ketakutan yang aneh mulai ikut dibangun bersama semen dan besi-besi beton. gedung sarinah dipenuhi pengunjung (bukan untuk belanja). tapi untuk mencoba eskalator pertama di kota. naik dan turun di atas tangga berjalan tanpa berjalan.
(seorang anak masuk ke dalam daster tidur ibunya, bermain kelereng di dalamnya. bau ibunya yang tersimpan dalam daster, menyusun lagi dirinya sebagai seorang daging mentah. dia merasa mulai bisa bernapas bersama semua mahluk yang tertanam dalam tubuhnya. sejak itu dia tidak mau keluar lagi dari dalam daster ibunya. sebuah peta terakhir, untuk berhenti memandang dirinya sebagai seseorang).
pasar terus bergerak dan menciptakan dirinya sendiri dari kapal barang, kereta api, truk, oplet dan becak. misbach yusa biran mementaskan teater 30 menit menjelang neraka.
seorang anak, yang selamanya berusia 10 tahun, membawa jantung sebuah kota, masuk ke proyek senen. membeli sebuah kelambu dan daster. menatap simpang-siur lalu-lintas masakini, jalan raya yang telah bertingkat di senen. berusaha membangun kembali masa kanak-kanaknya di atas restoran ayahnya yang telah jadi jalan raya: rumah makan setia. piring keluarganya pecah di bawah runtuhan tembok kota. anak-anak yang jadi orang asing di kota tempatnya lahir.
dia meletakkan jantung itu dalam sebuah puisi, yang dirancang untuk semua yang telah hilang.
meteran 2/3 jakarta
jakarta telah pergi dengan sebuah becak pagi itu. jadi nama sebuah hari dalam seminggu .
hari itu. tahun 1957 dalam bilangan 2/3. sebuah hari.
sesuatu hari. seorang hari.
melihat seorang pagi berjalan, datang, dengan sisa mimpi dari kipas angin bekas. melangkah dari atas dan bawah. menyebar sebelum ke kiri. mengetuk pintu sebelum pemadam kebakaran memadamkan kata api. punggung siapa terlihat dari belakang? kota itu, Jakarta, membawaku ke mana-mana di tempat yang sama. kadang seperti sungai. kadang seperti banjir. kerumunan angka yang terus berubah dalam batasnya.
kail mengenakan sungai sebagai topengnya, antara makanan dan kematian: riak dan mulut ikan mujair menghirup oksigen, lipatan air dan suara setelah kail menyeret mulutnya. sebuah kampung dengan gang-gang sempit, menawarkan belok dan buntu dalam jual-beli impian. seseorang dengan suara dalam bau kretek, berusaha menjemur bayangan ibunya.
“ceritakan pada seseorang yang sudah 60 tahun, tentang kota dan generasi yang hilang”. membayangkan gambaran ruang tentang kiri, kanan, atas, bawah, dan kuasa kata melibas masuk ke dalam arah mata angin. seseorang seperti sebuah gang pada ujungnya yang buntu.
tanah tinggi planet senen kwitang kali angke dan kisah tentang mat item
nama-nama itu goyang di atas jalan becek berlubang:
matraman paseban cikini kramat tunggak dan buaya terakhir di kali ciliwung
sebelum 100 tahun mobil dan kereta melayanglayang di atas kota.
saya membangun instalasi puisi ini seperti membongkar bangunan bahasa dengan meteran tentang lupa. membungkus kata, memasukkannya ke dalam mikrobiologi neurotik. mulai menulis antara tata kota dan populasi penduduk. gunting masih tersimpan dalam potongannya. titik yang tersesat dalam penggaris bahasa. dan kau tahu, tak seorang pun bisa mengubah arah mata angin di luar penggaris itu; atau kata potong yang berusaha melupakan gunting.
belok – lurus – balik – terus – berhenti atau 0,2 % mentok
saya menulisnya dari kenangan yang telah kehilangan termometer dan meterannya. kota yang menghabiskan 2/3 hutang negara. seluruh daerah menatapnya dengan mata hitam. hitam. desa-desa bangkrut. akulah bayi yang lahir sebagai mayat dalam novel muchtar lubis, jakarta dalam senja 1957. kabinet yang goyah dalam jaringan korupsi, menjadi serangga buas dalam makna. seperti kafka dalam metamorfosis seorang pegawai asuransi —— siapakah koma, siapakah titik, siapakah semua yang diberi tanda dan menghapusnya
“ , . ? / ! ()
tuan-tuan telah hilang ke dalam rekening bank dan saham-saham. sebuah surat warisan di antara jaringan distribusi barang-barang impor. sebuah puisi berusaha menyimpan suara jangrik dalam museum tentang kebersihan kota, dan melupakan cara-cara bagaimana karya sastra ditulis.
*) AFRIZAL MALNA, 2019.
Afrizal Malna (lahir di Jakarta, 7 Juni 1957; umur 62 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, novel, esai sastra yang dipublikasikan di berbagai media massa. Afrizal juga menulis teks pertunjukan teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara. Kekhasan karya Afrizal Malna adalah lebih mengangkat tema dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan tersebut. Korespondensi antarobjek itulah yang menciptakan gaya puitiknya.
Puisi
Sajak Sajak Angga Wijaya

Lidah Dimana-mana
Langit sampaikan pesan, seakan berkata
“Aku meniup nyawa, menumbuhkan lidah
di tubuh, bukan semata hanya percuma.
Lidah untuk berkata yang baik, bukan untuk
bergunjing, bak cerita sinetron menjelma
racun pagi hingga malam hari”
Namun terjadi sebaliknya; dimana-mana,
orang kerap gunakan lidah untuk hal buruk.
Gemar bicara tak benar, kaum munafik di
kitab suci yang hanya jadi sesembahan.
Jangan terlalu berharap pada gerombolan,
mereka membunuh kita dengan kata pedas.
Mata yang berbinar seiring percakapan yang
makin panas. Seperti dalam film, kumpulan
makhluk malas tak berguna. Ada yang
kurang jika tak membicarakan orang lain.
Seakan mereka paling utama dan sempurna
Kuman di seberang lautan tampak begitu jelas
Lidah menjulur dari segala tempat; layar ponsel
pintar, pintu, jendela bahkan dari lubang kemaluan
manusia itu. Hingga pada suatu waktu, di alam
setelah kematian, lidah mereka terbagi menjadi
potongan kecil, tumbuh di sekujur tubuh yang
terpanggang api abadi neraka. Cerita itu
kudengar berkali-kali beberapa hari ini.
2020
Penyair Melihat Hujan
Dari kamar lantai dua kontrakan, penyair itu melihat hujan
Suara air jatuh di atap rumah sebelah yang baru dibangun
Ia kehilangan langit tempat awan berarak, sumber inspirasi
ketika ia menulis puisi. Kini di depannya hanya hamparan
tembok. Tapi tak apa, semua akan menjadi biasa oleh hal itu
Hujan ternyata tak lama, hanya mampir sebentar basahi malam
yang amat gerah.Istrinya tertidur pulas, setelah seharian bekerja
di toko bangunan sebagai tenaga administrasi. Kucing tak tampak
di kamar, mereka beranjak setelah mendapat makanan.Pergi malam
hari dan kembali di pagi hari sesuka hati bagai raja di istana.
Penyair itu belum juga tertidur, ia bahagia kini bisa bekerja lagi.
Kemarin kawan di ibu kota menelponnya, ia ditawari menjadi
Wartawan budaya. Istri juga ikut senang, setidaknya
bebannya berkurang karena kini ada pemasukan baru
Tak risau ketika melihat saldo tabungan terus berkurang
Terlalu bahagia juga tak baik, sebab itu bisa membuat senyawa
dalam otak tak seimbang. Penyair itu ingin meminum obat tidur,
tapi ia menundanya. Biarlah malam ini ia merayakan kebahagiaan
dengan duduk di beranda memandangi sisa hujan dan udara dingin
Ia bersyukur telah diberi ruang untuk menjadi dirinya. Sudah enam
buku ia tulis dalam dua tahun ini. Tak pernah terpikir sebelumnya,
kini ia menjadi penulis. Mencintai hidup dengan segala upaya,
seperti hujan selalu tepat janji, datang saat amat dirindukan.
2020
Beranda Rumah Sakit Jiwa
Bisa keluar ruangan bangsal begitu
membahagiakan. Bagai raja sehari,
duduk menonton berita di televisi.
Tapi hati-hati, benda itu bisa bicara
Bercakap-cakap dengan kegilaan
Mengajakmu berbincang berdua
Pengatur saluran terus kau ganti
Perawat tersenyum lalu melarang
Mengajakmu kembali ke bangsal
“Coba ramal saya, kamu indigo?
kudengar kabar tentang dirimu
akhir-akhir ini saya sering lelah”
Aku menjawab dengan tuntas
Di matanya kulihat rasa cemas
Kebosanan jelang menopause
Kami berpisah saat senja tiba
Berbisik ia pada teman sejawat
Tepat saat pintu terali dibuka
“Skizofrenia Paranoid. Kasihan.
Kudengar ia mahasiswa pintar,
ditinggal kekasih amat dicinta”
Aku tersenyum mendengarnya
Batas kewarasan sangat tipis
Tak ada cermin untuk berkaca
2020
Belajar Bercinta
Sepasang anak muda itu hidup bersama. Berbagi banyak hal;
cinta, uang, air mata. Pelaminan selalu dinanti, tapi apa daya
kantong lebih sering kosong. Biaya hidup mesti dipenuhi;
kontrakan, listrik, air, pulsa juga kuota internet untuk bekerja
dan hiburan pelepas lelah selepas rutinitas.
Jangan kalian pikir ini hanya soal asmara atau hubungan ranjang.
Mereka telah lama beranjak dari hal itu. Cinta tak hanya seks,
ia lebih agung dari naluri rendah ini. Bisa jadi, mereka telah lama
belajar bercinta. Tahun-tahun awal kamar menjadi saksi percintaan
di ujung senja yang muram.
Pertengkaran beberapa kali menghiasi hari dalam babak hidup
membara,waktu demi waktu. Ada saatnya mereka bersedih
kehilangan seekor kucing, ada kala tawa penuhi ruang hati tak
sepi oleh kesunyian. Cinta menjadi dasar rumah jiwa yang
merdeka. Aku adalah saksi apa yang mereka alami.
2020
___
I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak SMA saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Buku kumpulan puisi terbarunya, Tidur di Hari Minggu (2020). Selain penulis,sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan di Denpasar.
.
COFFEESOPHIA
Tak Ada Sajak di Kafe-Kafe

I

(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
ISBN 978-623-93949-0-5
____
Puisi Sabiq Carebesth dalam buku ini menggunakan banyak kata yang berfungsi menebar berbagai asosiasi.Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat—Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi—dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
-Afrizal Malna, Penyair.
__
Buku ini bisa dipesan via kontak whatsapp 082111450777 atau tokopedia bookcoffeeandmore
Rp. 100.000
Aku tak menulis sajak untuk pembaca
Mereka mudah murka dan kecewa
Sajak-sajakku bukan pelipur lara
Aku menulis sajak untuk angin
Mereka hening dan luas.
Di sana
Sajak-sajakku bisa rebah istirah
Sebab kerap
Ia lelah menempuh jalan panjang
Melewati tiap hampa dan sia-sia;
Ia rapuh dan lambat
Tapi senantiasa mencari puncak;
Di sana hanya hening
Di sana hanya kekosongan;
Selalu hanya sejenak
Tapi sajakku memahami
Terjalnya jalan kembali ke mula
Ingatan dari mana ia lahir
Merepih jalan memuncak.
II
Aku pernah mengira sajakku terbuat dari waktu
Mengira tersusun dari sore yang menderita
Dengan bunyi senja yang beringsut pada gelap
Dangan tatakan dari kayu di mana jiwa dibelah;
Sementara kuncup bunga tetap mekar tak iba—
pada sajakku.
Tapi sajakku tak dibuat untuk pembaca
Sajakku memang bukan sajak
Ia hanya sajak—memenuhi takdirnya
Untuk memapah jiwa-jiwa
Keluar dari sekam hampa
Agar senantiasa berdetak
Meski dengan suara jauh
Meski dengan kebisuan serigala
Serupa kepak rajawali di pucuk langit
Atau suara kesunyian tempat ibadah
Yang ditinggalkan hasrat para penyembah
Karena kematian yang tak memberi aba
III
Sajakku
Sajak-sajak rapuh
Yang tak sanggup bertahan
Untuk sampai pada pembacanya
Ia lahir lalu mendaki
Kembali pada sepi sebelum sempat
Duduk di antara pengunjung kafe
Yang tak pernah sempat menuntaskan
Menulis sajak tentang sajak-sajak
Tapi kini tak ada sajak di kafe-kafe
Sebab di luar hujan membadai
Orang-orang berlindung dalam kaca
Senantiasa sia-sia dan mengulanginya
Mereka membayar gairah
Dengan cinta yang ditambatkan sejenak
dan terburu;
Tak sempat bercumbu
Sibuk mengulur waktu
Seolah waktu segera habis
Dan kebisuan pun tak sempat memakna
IV
Aku menulis sajakku di kafe
Tapi sajakku bukan sajak
Sajakku tidak ditulis
Untuk dibaca para pembaca
Aku menulis sajak di kafe
Tapi tak ada sajak di kafe-kafe
Dan kau menunggu akhir sajakku?
Aku tidak menulis sajak untukmu
Aku telah menghapus dendam sukmaku
Sebelum sempat menjadi sajak
Maka sajakku tak punya kekuatan
Untuk meledak dan menulis sejarah
Waktu selalu lekas
Tapi sajak-sajak tidak
Sebab ia kedinginan
Seperti rumah yang ditinggalkan
Seperti pendaki di ujung petang
Ia hanya ingin istirah
Atau pohon-pohon kepurbaan akan menelannya
Hilang dalam gerbang sepi
Membeku bersama dingin
yang tak mungkin dipahaminya.
V
Kenapa sajak-sajak harus ditulis untuk pembaca?
Sajakku tak kutulis untuk pembaca!
Aku tak ingin sajakku dibaca
Sajakku bukan sajak
Aku ingin sajakku dibentangkan
Dalam sukma sehingga jiwamu membahana
Atau biarkan sajakku
Menjadi lumut pepohonan
Yang mewarnai jiwa
Menjadi selimut bagi tubuh waktu
Dan ketika para serigala menjadi sepi
Sajakku menjulang mengabarkan nyanyian
Agar sang rajawali kembali
Menemui kekasihnya yang tersesat
Di antara belantara kesepian
Di antara pepohonan purba
Dan para pendaki masih mencari
Nyanyian bagi jiwanya yang duka
Maka kutulis sajakku
Untuk menjadi kabut
Selimut bagi jiwa yang beku
Agar penantiannya menumbuhkan dedaunan rindu
Yang berguguran di hutan-hutan waktu
Menjadi api bagi peziarah puncak
Dengannya kehangatan menyerta
Peziarah tiba di puncaknya
Dan sajakku merayakan kenangannya
Sendirian..
VI
Sementara di kafe aku memesan kopi
Sambil melihat matahari berwarna putih
Aku tak juga mendapati sajak-sajak
Tak mendapati dedaunan dan peziarah
Tidak serigala kedinginan
Tidak juga rajawali yang kesepian
Kekasihku pun tak ada
Aku mencari sajak-sajakku
Tak ada yang membacakannya
Di kafe hanya pendusta
Yang membual tentang mimpi
Menebus hasrat dengan cinta
Yang sebentar dan tak berbalas
Masing-masing menjauh dari jiwanya
Kehilangan sajak-sajak milik jiwanya
Dan sajakku tak kunjung berhenti
Bernyayi ria dalam tarian kalbuku
Ia ingin berkisah tapi aku mulai lelah
VII
Aku harus pulang
Membawakan sisa sajakku
Anak gadisku telah menunggu
Di ranjang dengan ribuan malaikat
Menantiku membacakan sajak-sajakku
Di rumah kubacakan sajakku
Untuknya entah ratusan malaikat:
“Tak ada sajak di kafe-kafe
Pergilah pada jauh
Mendakilah pada hasrat
Sebab cinta membawa para ksatria
Pergi berperang sebagai martir
Untuk menaklukkan kesepiannya sendiri
Maka jadikan tanganmu perisai
Dan hatimu martir.”
___
Sabiq Carebesth, 2019
Puisi
Samsara Duka


(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat–ekspresionis. Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi— dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
____
Afrizal Malna, dalam pengantar untuk buku Samsara Duka
Kirab malam dengan panji-panji hitam di malam larut; hujan dengan lolongan serigala berusia berabad yang terkutuk oleh nasibnya sendiri—sebagai penjaga gerbang sunyi antara malam dan larut; onggokan jiwanya telah melihat cahaya dan mentari terindah yang tak mungkin lagi jadi bagiannya. Ia telah tahu ke mana kembara—hanya berujung laut mati bagi matanya: ia telah tahu kemana kelana hanya memperpanjang usia dukanya—tetapi tinggal tiada siapa datang—tidak duka tidak cintanya yang lalu, waktu telah memasungnya sebagai tugu kesunyian di kota dengan lampu-lampu warna rembulan atau di antara dinding-dinding kafe dan galak tawa muram dari jiwa-jiwa yang diburu ingatan pada luka dan kepalsuan . O hendak bagaimana ia tuju lautan dalam jiwanya? Embun dan kabut, terik dan sunyi tak menjelmakan apa-apa; sungai-sungai kering, danau-danau bisu, dan gunung-gunung hanya lintasan beku—sedang malam penuh rembulan; dan tak satu lagu pun dapat dikenang. Jiwanya akan mati sebagai penjaga malam dengan lolongan timur dan barat yang gemanya menari-narikan angin, dan pohon-pohon purba sama birunya dengan lumut-lumut waktu yang tak lagi bisa ditakar; seperti usia kerinduan yang telah jadi abadi dalam kefanaan saban hari; begitulah akhir cerita semua cinta sejati; membenam dalam kepurbaan, menjadi langit dan gemintang; menjadi perjalanan dan duka cinta, genangan kenangan tentang ranum bibir belia, atau pipi merah jambu yang terbakar terik mentari pertama di laut timur, atau payudara yang bercahaya; atau botol-botol bir di redup hotel-hotel, jendela kereta yang membekukan gerak dan batin, tempat-tempat dan kesunyian yang tak sempat dikunjungi atau apa saja dalam segala rupa samsara—yang tak mungkin dimiliki kecuali dukanya; atau segala rupa panji-panji hitam waktu yang tak mungkin diulang kembali; sebagai gelak tawa atau percumbuan penuh duka—yang mengantar pecinta ke puncak kekosongan. (*)
Jakarta, 28 April 2020
Sabiq Carebesth
___
*) Buku sajak ini akan diterbitan Galeri Buku Jakarta pada pekan ke 4 Agustus 2020. Untuk info pemesanan silakan kontak whatsapp +62 813-1684-2110 (Book Coffee and More )