Foto by: Syahril Fadillah, Unplush
Fiksi & Puisi
2025-04-06 05:08:00
Siapakah Jakarta
Puisi dan Kota. Di hari ini. Panas dan wabah. Ada apa? Apakah puisi bisa digunakan sebagai cara melihat politik warga negara berdasarkan institusi kota?
By Sabiq Carebesth
Puisi dan kota. Di hari ini. Panas dan wabah. Ada apa? Apakah puisi bisa digunakan sebagai cara melihat politik warga negara berdasarkan institusi kota?
Kantor, salon, pertokoan, hotel, bioskop, juga bank, asuransi ... merupakan produk-produk baru yang sebelumnya tidak ada. Desa tidak memiliki institusi-institusi baru ini yang, sepenuhnya merupakan produk kota. Menciptakan hubungan-hubungan baru antara produksi dan konsumsi, pembagian kerja, budaya bermukim, pola makan. Bertemunya orang-orang dari asal-usul berbeda, bahasa, nilai maupun cita rasa (lihat Peter L Berger: "Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial", terjemahan A. Rahman Tolleng, 2005, LP3ES).
Kota merupakan eksperimen utama membentuk masyarakat baru yang terus berkelindan antara keberagaman, kebersamaan dan perubahan. Orang-orang datang dan pergi di antara tatapan penduduk lokal yang kian "terpinggirkan". Setiap inci lahan dibaca sebagai pundi-pundi komersial. Kota selalu memunculkan pertanyaan: "bagaimanakah caranya seseorang merasa sebagai warga kota, atau setiap warga kota cenderung terasing di kotanya sendiri dan tidak merasa ikut bertanggung-jawab dengan apa yang terjadi di sekitarnya?" Selalu memunculkan masalah kebersihan, banjir, macet, laten rasialisme, kian punahnya ruang publik untuk bermain maupun untuk konservasi memori kolektif kota. Semua yang sedang bergerak menuju pada proyek pembentukan ruang sosial yang sehat dan manusiawi.
Keterasingan itu juga dipantulkan oleh praktik-praktik petugas kota yang cendrung menjalankan tugasnya lewat ancaman hukum sebagai performance kekuasaan, tidak memiliki pendekatan budaya terhadap warga. Setiap warga kota adalah data untuk pajak (dan pungutan liar) serta objek hukum. Kota adalah bangunan yang terus berubah dengan narasi yang tidak pernah terpaparkan sebagai bagian dari bagaimana kota membangun sejarah bersama. Tempat sebagian penyair mengekspresikan keterasingannya, karena jauh dari komunitas budaya maupun alam di kampung yang pernah membentuknya.
Jakarta menjadi khas, karena ia adalah kota postkolonial terbesar di Asia Tenggara dan berada di ujung Asia. Kota yang dibangun oleh banyak suku bangsa, menjadi performance utama dari representasi bagaimana Indonesia dibentuk. Tetapi apakah Jakarta memiliki wajah Asia?
Sebagian puisi tentang Jakarta, merupakan "puisi marah", terutama pada era Orde Baru sebagai era yang paling banyak mengubah performance kota untuk mendekati kota-kota dunia. Kota yang kian jauh dari seni dibanding masa Sukarno yang banyak membuat patung-patung publik, walau pada era ini juga terbentuk pusat kesenian Taman Ismail Marzuki yang masih berjalan hingga kini. Dan wajah Jakarta kian keras sebagai wajah "duit dan kekuasaan", seperti pernah disebut JJ. Rizal dalam menarik garis lurus antara watak dagang VOC yang membentuk Jakarta dengan kenyataan Jakarta hari ini bersama politik keamanannya. Kota yang mengalami kesulitan panjang untuk membentuk budaya "pelayanan publik" sebagai etika sosial kota. Untuk urusan-urusan spesifik, orang cenderung kembali menggunakan "bahasa-ibu" sebagai cara melancarkan kepentingan-kepentingannya. Medan berkelindannya budaya informalisme dan formalisme. Antara karya-karya Misbach Yusa Biran, Benyamin S, Nyak Abas Acub dan Syumanjaya yang sudak ikonik tentang Jakarta (-Betawi). Sebuah budaya bahasa yang kini sedang diubah oleh hadirnya media sosial internet.
Melacak Jakarta melalui puisi memiliki banyak kemungkinan untuk menatap internalisasi kode-kode budaya kota. Walau puisi juga tidak bebas dari bentukkan sejarahnya sendiri yang memungkinkan penyair tidak terlalu kritis dalam kerja kuratorial atas nilai-nilai streotip maupun pembekuan identitas yang diterimanya. Karena itu juga program "Siapakah Jakarta" ini (digagas oleh Sabiq Carebesth) juga bisa menjadi cara untuk mencairkan terjadinya pembekuan kerja kuratorial puisi atas kota. Dari sekian banyak puisi yang masuk ke dalam performa ini, misalnya, ada penyair yang menulis puisi tentang peristiwa pemerkosaan sebagai "wajah kota", sebuah nilai streotip untuk kota besar di mana pun.
Unduh dan baca selengkapnya manuskrip Puisi "Siapakah Jakarta" di sini.