Logo The hero of Danzy Senna’s new novel is trying, and failing, to write the Great American Biracial Novel.

Editor Choice

2024-08-03 20:57:00

Italo Calvino: Sebuah Memoar

Saat pertama kali aku bertemu Calvino, dia mengenal sedikit buku. Pada masa itu orang-orang mulai membaca Robert Musil, Nabokov, Dylan Thomas, Carlo Emilio Gadda, Boris Pasternak: bunga terakhir dari perkembangan literature Barat. Calvino tidak menyukai

By Raymond Rosental & Pietro Citati.

Aku dan Italo Calvino berbagi lanskap: daerah pesisir Italia dari Genoa hingga Menton, di perbatasan Prancis. Kami berbagi bebatuan yang jatuh dengan curam menuju laut, bukit-bukit yang diselimuti oleh cemara dan pohon-pohon zaitun, rumpun tanaman berbunga kuning di musim dingin, buah-buah pertama dari truk perkebunan dan bunga-bunga dari biji yang bermekaran, kepiting-kepiting, kue paskah-dan kemudian, tepat di belakang pohon-pohon zaitun, petak-petak tanah liat yang tandus dan deretan pegunungan Appenini yang misterius. Dan segera setelah kami melewati gerbang-gerbang kota, di situlah gunung Fasce, petak-petak kecil di bukit-bukit berbatu yang gersang dimana para petani (pensiunan kapten kapal, para pelaut, para mandor kapal yang sudah tua tetapi juga pengacara-pengacara yang dipulangkan dari Argentina) membuat bangunan kecil, dengan dinding-dinding batu yang kering, mengambil air dari yang tak diketahui entah darimana sumbernya, dan kemudian, sebagai hobi, menanam sedikit tomat, buncis dan labu. Semuanya dalam jumlah kecil, terbatas, diambil dari sumber yang minim, melalui kecerdasan yang diasah oleh kekurangan sumber daya.


Aku dan Calvino sama-sama memiliki beberapa bidang tanah itu-miliknya, kukira lebih besar-dan berkali-kali ketika kami masih muda, kami berbincang tentang satu sudut di Liguria itu dengan kecintaan yang dimiliki seseorang untuk rumahnya. Tidaklah mungkin untuk memahami Calvino tanpa membayangkan lanskap ini, kecintaan untuk hal-hal kecil ini. Itu adalah kekayaan sesungguhnya yang dia miliki. Secara bertahap, setelah tahun-tahun berlalu, dia semakin menyukai cerpen, sajak prosa, perumpaan moral, kisah metafisik, caprice, miniatur, exvoto. Mungkin “bentuk-bentuk kecil” itu-dari Petrarch hingga Operette Morali karya Leopardi-telah mengkonstitusi esensi dari kecerdasan luar biasa orang Italia ini: digambarkan dengan tajam, terkonsentrasi, abstrak, terealisasikan dengan penghematan paling canggih dari sumber-sumber yang ada dan berlimpah gaung makna. Seperti penyair besar Persia, yang mengkonstruksi syair-syair luar biasa dengan memasangkan bersama kisah-kisah kecil yang tak terlihat, Calvino telah mempelajari seni menjalin plot cerita dan refleksinya; “bentuk-bentuk kecil” itu menerangi satu sama lain, menawarkan kiasan-kiasan dan perspektif dan tidak tetap, rancangan-rancangan bangunan yang tak terhingga. Aku tidak tahu apa yang mungkin akan dia tulis di masa depan yang sirna itu, tapi aku selalu membayangkan bahwa dengan kelenturan dan kecerdasan tangannya, menggunakan batu-batuan kecil berwarna miliknya, dia mungkin saja menggubah kisah-kisah kosmogoni dan kosmologi.


*


Logo

Ketika aku bertemu dengannya dia berusia dua puluh empat tahun, dan kapanpun aku berpikir tentangnya sebagaimana dia waktu itu, aku tersenyum. Dia menawan. Dia berjalan menelusuri jalan-jalan Turin yang kelabu, berpakaian seperti seorang imigran dari Haiti atau Santo Domingo dengan sandal dan sweter-sweter berwarna di pertengahan musim gugur atau pada awal musim dingin. Dia pemalu, seperti seorang bocah laki-laki dari daerah yang baru saja pindah ke kota besar. Dia memiliki kecenderungan inferioritas yang didorong oleh kehidupan keluarga yang eksentrik; dari waktu ke waktu kejengkelannya, sebuah perubahan retoris nada dalam suaranya seperti mengejek, gerakan tangannya mengingatkan pada sebuah fakta bahwa dia bukan termasuk orang Liguria asli Eugeno Montale tetapi merupakan bagian dari orang-orang Liguria yang penggila mitologi, periang, tukang gosip dan ahli kebatinan di bagian pesisir yang lain. Apa yang membuatku terpesona dari segala hal adalah kecepatan dan keringanannya. Dia memiliki tatapan yang segar dan luar biasa tajam, pikiran yang tangkas, kecintaan pada garis lurus, sebuah kemampuan yang elegan sebagai seorang pengarah gaya. Tinggal di Turin, yang menggambarkan dirinya sendiri stoic dan geometris, dia telah membuatkan dirinya sendiri sebuah baju zirah stoic, dan dari balik lapisan baja ini, yang digosok hingga bersinar, dia mengamati pertunjukkan besar di bumi, selalu dari suatu kemiringan, atau dari ketinggian burung yang bersenandung dan hutan lebat yang suatu kali pernah menyelimuti Eropa.


Dia sangat lucu. Banyak kesempatan aku tertawa dengannya. Banyak pula kesempatan dimana aku dengan perasaan kasih menertawakannya. Dia seringkali jatuh cinta, atau berpikir bahwa dia jatuh cinta, atau berpura-pura untuk jatuh cinta. Hampir selalu, mengikutsertakan diri mereka sendiri, putri-putri Bogus yang mengajarinya tentang tatakrama yang baik (meskipun tatakramanya sudah lebih baik dari mereka), memaksanya untuk pergi ke restoran-restoran mahal dan meminum Veuve Cloquot meskipun dia miskin dan kikir. Dia mengagumi mereka dan menderita setiap kali mendengar tentang kemewahan, kebenaran-kebenaran yang berputar turun dari atas. Hingga suatu hari dia mengerti bahwa dia telah menyia-nyiakan hatinya dan waktunya dan secara tiba-tiba dia melarikan diri. Dia tiba di Roma dengan aura yang ketakutan di matanya, menginap di hotel-hotel yang tidak dikenal, tidak memberikan nomor teleponnya kepada siapa pun….sementara para putri dari Bogus mengejarnya ke penjuru Italia dengan sebuah pistol di tas tangannya, membacakan keras-keras kepada rekan-rekannya dalam nada mendengkur seperti seekor merpati yang tertohok tiga ribu surat cinta yang dituliskan untuknya.


Aku selalu penasaran apakah Calvino memiliki perasaan. Sudah pasti dia adalah salah satu lelaki paling setia yang kukenal-setia pada teman-temannya dan pada penerbit yang terkadang tidak pantas menerima kesetiannya. Dia tidak pernah senang membicarakan psikologi. Karakter-karakter orang dan penggambaran tidak menarik baginya. Penilaiannya pada orang lain ksar dan singkat saja: mereka pintar atau bodoh, menulis buku-buku bagus atau buku-buku jelek; segalanya hal di dalam novel yang menjadikannya penting atau konflik psikologis tidak menarik minatnya. Dia tidak mempercayai emosi; dalam kekacaubalauan hati manusia selalu ada sesuatu yang mungkin mengenai dan melukainya. Aku yakin bahwa terkadang dia berpikir untuk menukar jantung-organ yang kasar itu-dengan hal lain yang akan dia temukan melalui investigasi-investigasi cerdiknya, sebuah organ yang tak kalah bergairah dan murni, tetapi terbuat dari bahan kristal, seumpama sebuah kebenaran matematika.


Aku juga penasaran apakah dibalik kernyit dalam yang bergalur-galur di antara alisnya dia memiliki sebuah ego. Aku tidak pernah mengenal orang lain yang begitu tidak agresif dalam kesehariannya. Dia selalu mencoba untuk membenarkan, untuk memahami, untuk menetralkan sindiran-sindiran. Selama masa-masa pendewasaan dengan penuh kebijaksanaan, elegan dan meremehkan dia seperti menghilang dari dunia seolah “Aku” telah mengusirnya. Dalam buku terakhirnya dia mengungkapkan sebuah kepanikan yang hampir obsesif tentang keberadaan; sementara dia mencoba melipatgandakan dirinya bagaikan tokoh dalam dongeng, dia melarikan diri dari dirinya sendiri. Bilamana, sesekali dia terlihat seperti mempertahankan ke”Aku”annya, itu arena dia telah mengambil risiko kehilangan dirinya sendiri dalam labirin cermin-cermin. Pada akhirnya, sebagaimana yang terjadi pada banyak penulis-penulis besar, dia menjadi mahluk kolektif-jenis yang menerima apapun; tak pasti, kebingungan, gelisah, rentan terhadap pengaruh sekecil apapun dari sekelilingnya, dibuat bingung oleh dinding-dinding rumahnya, dan bermacam refleksi: penguasa dari kerajaan yang hanya terdiri dari bayangan-bayangan.


Saat pertama kali aku bertemu Calvino, dia mengenal sedikit buku. Pada masa itu orang-orang mulai membaca Robert Musil, Nabokov, Dylan Thomas, Carlo Emilio Gadda, Boris Pasternak: bunga terakhir dari perkembangan literature Barat. Calvino tidak menyukai Musil, Nabokov, Gadda, tidak juga Dr. Zhivago atau pun Under Milk Wood. Seperti Jendral Stumm von Bordwehr, dia merasakan keberadaan musuh dimana pun: bahaya dari kekosongan, labirin itu, lautan objektivitas; dia mempelajari banyak garis pertempuran, manuver-manuver pertahanan dan pengepungan, menggali parit-parit, memasang pagar kawat berduri, menyebarkan prajurit-prajuritnya yang lemah dalam seragam dan topi kecil berwarna. Aku menjadi terganggu dengannya. Tetapi aku keliru. Calvino bukan seorang kritikus. Dia tidak dalam kewajiban apa pun untuk menjadi objektif tentang siapapun. Tugas utamanya hanya untuk mempertahankan dunianya yang sangat menyenangkan yang terbuat dari kertas tisu dan cahaya-cahaya lembut.


Apa yang terjadi setelahnya aku tak yakin bagaimana cara untuk menceritakannya kembali. Dalam beberapa tahun penulis kecil menawan yang telah membayangkan “Our Anchestors” menjadi pembawa narasi utama Italia di abad dua puluh yang akan datang. Ini merupakan metamorfosis yang panjang yang berjalan hampir tak disadari, dalam lobaratorium khayalan dari literatur eksperimental. Bacaannya menjadi semakin dewasa. Sekarang dia membaca Musil dan Paul Valery-tepatnya buku-buku yang sewaktu muda dia benci-dan Petrarch, Kafka, Proust, Eugenio Montale, yang pada suatu masa, dengan terdistraksi dan tak mau ambil pusing, dia lewati. Semua yang dia baca, bahkan hal-hal yang paling tidak berhubungan, memasuki aliran darahnya. Pada saat ini dia semata-mata literatur; seorang sastrawan sebagaimana layaknya seorang yag beriman atau seorang pebisnis, dan meskipun begitu dengan kewajaran yang sama layaknya pohon-pohon cemara yang tinggi di halaman rumahnya menghisap nutrisi dari tanah dan menyebarkannya kesuluruh cabang yang ada pada dirinya.


Lanskapnya berubah. Jika saat dia tinggal di Paris dia seperti seorang alien, atau di Roma seperti tamu, saat ini rumah sesungguhnya baginya adalah rumpun cemara di Roccamare, dekat Castiglione della Pecasia, yang dalam cara pandang tertentu merupakan pengulangan dari lanskap alam Liguria di masa mudanya. Disini pun, semuanya serba terbatas; sebidang pasir terserak diantara dua daratan yang menjorok ke laut, serumpun cemara, sebuah taman kecil dimana semuanya terlihat seperti dibuat dalam skala lebih kecil. Dia menulis di tempat yang tinggi di rumahnya, sebuah ruang kerja yang kecil yang dapat dicapai dengan sebuah tangga kecil yang sangat berbahaya, bagaikan dalam sebuah aerial kandang ayam atau sarang merpati. Dibawah kakinya, istrinya berbincang dengan teman-temannya atau para pembantu rumah tangga. Tukang antar barang datang dan pergi, teman-teman tiba; dia terus saja menulis, terbenam dalam kebisingan kehidupan, menjaga rumah itu seperti seekor bangau. Meskipun dia tak pernah mengatakan tidak untuk hal apapun, pada saat ini dia sudah sangat dalam menjauhkan dirinya dari realitas, terbungkus dalam dunianya yang terbuat dari bayangan-bayangan lemah. Di antara dirinya dan orang lain, dia menempatkan isitinya; istrinya dharapkan dapat memberitahunya tentang semua hal; seperti apa wajah-wajah orang lain, apa yang terjadi di rumpun-rumpun cemara, bayangan-bayangan yang dihasilkan pepohonan, wewangian apa yang menyebrangi padang rumput, apa rasa dari makanan-makanan itu, bunyi-bunyian musik. Di atas sana seperti seekor lebah dia menerima madu yang dikumpulkan oleh istrinya dan menyimpannya di dalam sarang halus di pikirannya.



Selengkapnya di buku "Memikirkan Kata" (2025)