
Tetapi pada saat itu ia, saya dan Anda—belum memahami “bahwa kita belum menjadi seorang penyair…” (Yukio Mishima dalam Shi o Kaku Shōnen—The Boy Who Wrote Poetry)
Sabiq Carebesth *)
Bagaimana penyair bekerja membentuk dunianya? Keintiman mereka pada kesunyian telah santer terdengar; menggumuli bahaya dari kata-kata; berlangsung di kamar-kamar yang asing; di bar atau kontrakan sempit, di pojok kafe dan bising ruang—dalam kesendirian dan sesak, digulung ombak dari kekacauan pikiran yang ingin diheningkan. Para penyair ini, begitu akrab dengan segala yang rumit untuk diakrabi; kesepian atau kesendiriannya, penolakan dan pengabaian—tetapi apakah itu menjawab pertanyaan: siapakah penyair?
Kita membayangkan; dalam dunia sekarang yang serba lekas dan bising; kesunyian kerap justeru berada di antara segala riuh, di mall, di bar, di jalanan macet–tetapi penyair, para seniman kita, memilih waktu dan ruangnya sendiri, membangun ruangnya dalam gerhana waktu sekaligus bahasa; lalu dalam sekejap menenun keteraturannya sendiri, menyusun wadag dunia seperti bagaimana ia ingin; memberi yang mati ruh—lalu membebaskan dunia bentukannya itu dari tarik ulur kepentingan luaran—dan terciptalah sajak dan puisi. Gerhana historis yang berusia sependek Dian Sastro menuturkan “Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih…”
Proses dan momen gerhana demikian lebih dari sekadar area “pekat” bagi kegelisahan yang dibuat penyair sendiri; itu adalah bagaimana mereka ingin mengabdikan dirinya, juga karena kutukan, bahwa kebebasan yang lekat sebagai ‘sandangannya’ itu justeru penanda tugas ia tak otonom atau terbebas dari dari beban-beban alienasi peradaban.
Keterasingan dari kenyataan yang dibentuk oleh kuasa ekonomi dan politik; di mana ia sendiri hidup, menghela nafas dan mencari penghidupan seperti manusia lainnya. Sajak dan puisi tak selalu merupakan perkakas untuk membersihkan tragedi dan kepandiran sejarah dari produk konstruksi ekonomi dan politik—sajak dan puisi ada untuk mengingatkan keagungan manusia dan kemanusiaan ideal. Ketiadaan puisi akan mendegradasi kualitas peradaban ke dalam kubangan persaingan tanpa batas di mana segala yang korban rentan dilupakan seakan keberadaanya tak pernah bermakna.
Serba ambiguitas dunia dalam diri para penyair adalah mekanisme soliter yang tak diberi wewenang untuk menjadi otonom atas kehidupan liyan meski dia sendiri harus menepi seakan ia liyan dari keseluruhan realitas.
Kesia-siaan yang akbar itu; kemarahan dan penyesalan yang sunyi, adalah altar universal bagi keluhan peradaban kita; ia adalah metafora itu sendiri. Kemegahan dan kehancuran dunianya adalah mitos bagi sejarah, tetapi juga kenyataan “lelayu” bagi kehilangan dunia atas keberadaan manusia-manusia yang menyadari kutukannya dan tak menakuti bebannya—gerhana historisitas semacam itu adalah selubung hitam di mana para penyair tersesat atau sengaja menjadi penghuni—atau barangkali nasib “terkutuknya” sebab ia mungkin tak menginginkannya.

Suatu kali saya bertanya pada penyair abad kita, Afrizal Malna—dunia semacam apakah itu? “Hidup sangat menarik, tetapi membosankan karena banyak tabu-tabu yang membuat hidup terasa lumpuh. Cara kita menghadapi tabu-tabu, adalah cara kita mulai mengenali nilai-nilai secara personal, internal. Tidak dipaksakan dari luar. Puisi, tabu-tabu dan nilai-nilai personal merupakan sebuah spektrum yang merentang kerja menulis sebagai sesuatu yang politis dan historis.“ dan seperti gerhana ia tersingkap oleh edaran waktu aktual: “Saya tidak tahu, apakah saya masih cukup waktu untuk menghadapi hidup saya yang paling sulit di usia tua antara usia, menulis, kebutuhan hidup, dan kemampuan tubuh?”
Tetapi sekarang, menurut saya, kepada yang lebih muda “Kita berkewajiban menolong para penyair ini yang kelak akan melanjutkan kesastraan yang agung. Sastra bukan semata soal mengutak-atik kata; yang penting itu adalah hal-hal yang tak terucapkan, atau hal-hal yang bisa kita temukan di luar kata-kata yang tertuang. Tanpa emosi mendalam ini, sastra tak ubahnya permainan, dan kita tahu sastra bisa lebih dari itu.” (Who Needs Poets?—The New York Times Archive, 1971)
Suatu hari kelak untuk pertama kalinya dalam hidup, saya juga barangkali Anda akan berhenti menulis puisi. Tetapi pada saat itu ia, saya dan Anda—belum memahami “bahwa kita belum menjadi seorang penyair…” (Yukio Mishima dalam Shi o Kaku Shōnen—The Boy Who Wrote Poetry)
Lalu Siapakah Penyair?—di dunia yang telah sedemikian algoritmis dengan teknologi di mana waktu berlalu dan terbelah dengan cara lebih lekas dan berbeda kalau tak malah jungkir. Ruang dan medium yang tak lagi sama. Tetapi betapa pun dunia berubah oleh konskuensi perkakas-perkakas peradaban, sajak dan puisi selalu akan dengan semangat dan ruh keindahannya yang sama, menolong keterasingan kita. Entah siapakah penyair, tetapi itulah tugas sejarahnya. (*)
*) Sabiq Carebesth—Editor, founder Galeri Buku Jakarta.