
Jika membaca fiksi tidak membuat kita mampu memperlakukan orang lain menjadi lebih baik, maka setidaknya membaca fiksi merupakan jalan untuk memperlakukan diri kita dengan lebih baik.
Beberapa tahun yang lalu, Saya diberi kesempatan berupa hadiah untuk mengikuti sesi kecil dengan seorang biblioterapis di pusat “School of Life”, dimana isi dari sesi tersebut memberikan kursus inovatif untuk membantu orang-orang menghadapi tantangan emosional mengenai eksistensi.
Biblioterapi sendiri merupakan istilah yang sangat luas mengenai praktek kuno yang menggunakan kegiatan membaca sebagai sebuah dorongan dalam terapi. Istilah ini digunakan pertama kali pada sebuah artikel gaya tahun 1916 di The Atlantic Monthly “Sebuah Klinik Sastra”.
Saat ini, bibliotrapi mempunyai beragam bentuk, mulai dari kursus literatur yang dijalankan untuk narapidana sampai pada komunitas membaca orang tua penderita demensia.
Apakah membaca memiliki kemampuan terapis? Berthoud dan seorang teman lamanya yang juga rekan biblioterapis, Susan Elderkin banyak mempraktekan biblioterapi berbasis “afektif”, yang menyerukan kekuatan penyembuhan dari membaca sebuah buku fiksi. Mereka berdua bertemu di Universitas Cambridge sebagai mahasiswa S1. Tahun 2007 ketika seorang filsuf Alain de Botton, seorang teman di Cambridge, mulai mempunyai ide untuk merintis School of Life, mereka memberikan saran ide untuk menjalankan sebuah klinik biblioterapi.
Berthoud dan Elderkin mencari jejak mengenai metode biblioterapi sampai dengan Yunani Kuno, mereka menemukan tulisan di atas atas pintu masuk perpustakaan di Thebes: bertuliskan “tempat pemulihan untuk jiwa”.
“Praktek (bibliotherapy) sendiri mulai ada pada akhir abad sembilan belas, ketika Sigmund Freud mulai memakai literatur dalam sesi psikoanalisisnya. Setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama, prajurit-prajurit yang trauma kembali ke rumah diberi resep kursus dalam membaca. “Para penjaga perpustakaan di dalam negara diberi pelatihan mengenai bagaimana memberikan buku kepada veteran PD I, dan disebutkan juga bahwa novel Jane Austin dipakai untuk kebutuhan biblioterapetik di United Kingdom,” Ungkap Elderkin. Kemudian pada abad selanjutnya, biblioterapi dipakai dalam berbagai cara di rumah sakit rumah sakit dan juga di perpustakaan-perpustakaan, dan belakangan ini juga sudah mulai dibawa oleh para psikologis, para pekerja pemerhati sosial dan lansia, dan dokter sebagai cara terapi yang bisa digunakan.
Studi yang dirilis pada 2006 dan 2009 memperlihatkan bahwa orang-orang yang membaca banyak buku fiksi biasanya lebih baik dalam berempati dengan orang lain. Dan pada 2013, sebuah studi berpengaruh yang diterbitkan di Sains menemukan bahwa membaca sastra fiksi (daripada fiksi populer) meningkatkan hasil para peserta dalam tes yang mengukur persepsi sosial dan empati, ini merupakan hal penting dalam “ teori pikiran”: kemampuan untuk menebak dengan akurasi mengenai apa yang manusia lain bisa saja pikirkan atau rasakan, sebuah kemampuan yang baru berkembang pada umur sekitar empat tahun.
George Eliot, seseorang yang dirumorkan melewati duka cita atas kehilangan pasangannya melewati program panduan membaca dengan seorang pemuda yang kemudian menjadi suaminya, mempercayai bahwa “seni merupakan hal terdekat dengan kehidupan; seni merupakan sebuah cara untuk meningkatkan pengalaman dan memperpanjang kontak kita dengan orang-orang melebihi ikatan pirbadi kita.”
Tapi tidak semua orang setuju dengan karakterisasi dari membaca fiksi membuat kita memiliki kemampuan untuk berprilaku lebih baik dalam kehidupan nyata. Lantaran membaca novel bukan merupakan olahraga tim—tetapi individual. “Malahan, katanya, kita harus menikmati apa yang fiksi berikan pada kita, yakni lepas dari kewajiban moral dengan merasakan sesuatu dari karakter yang diciptakan – yang pada dasarnya memang anda rasakan, yaitu kehidupan manusia dalam kesakitan dan penderitaan – yang terkadang secara paradoks berarti para pembaca yang” merespons dengan empati yang lebih besar kepada situasi dan karakter yang tidak nyata karena adanya pelindung fiksionalitas.”
Dia sepenuh hati mendukung mengenai keuntungan kesehatan yang didapat dari banyaknya pengalaman dari membaca, yang “ memberikan pelarian diri yang menyegarkan dari kehidupan biasa, dan tekanan tiap hari.”
Jadi walaupun jika anda tidak setuju bahwa membaca fiksi membuat kita mampu memperlakukan orang lain menjadi lebih baik, maka setidaknya membaca fiksi merupakan jalan untuk memperlakukan diri kita dengan lebih baik. (*)