
PADA MASA SILAM TAK ADA KAFE
Enam lampu menyala
Dan di luar tiada kehidupan
Hanya sisa hujan
Lampu-lampu menggantikan waktu
Tak tahu terik atau malam
Sama saja—
Dalam asbak atau segelas kopi
Di antara bayangan lampu-lampu
Siapa nyana kita ketemu;
Tapi kita lekas jemu
Sebab pada masa silam tak ada kafe
Tak ada sajak tentang lampu-lampu
Kita sebelahan
Tapi batin lekas digulung kesunyian
Terhempas lagi dalam kejauhan
Mataku menembus matamu
“Kenapa kita tak berpeluk?” tanyaku
“Tak perlu”, katamu..
Biar kita redam sendiri
Rindu dan nafsu
Sama jauhnya;
Atau begitu dekat
Seperti puisi dan penyairnya.”
O, dara ayuku
Kita hanya sajak di kafe
Yang hilang rupa oleh lampu-lampu
Seakan di luar tiada kehidupan.
Matamu mengerling,
Kukira padaku–
entah pada kesepianmu sendiri:
“Kita akan kembali bosan,” katamu..
“Ya, seperti hari kemarin..” kataku..
Jakarta, 2022
DI KAFE YANG TELAH JADI SUNYI—
Pada malam yang hingar
Nasib kita tambah sunyi
Duduk berhadap dalam kerapuhan
Di kafe yang telah jadi sunyi—
Ia sepertiku juga
Tak tahu ke mana pulang
Selain menepi pada malam
Dengan lagu-lagu panjang
Tentang hari-hari kelu
Tapi siapa peduli
Kita hanya mahluk asing
Dalam hingar bingar
Mencari jalan pulang
atau sebab enggan;
Tahu di rumah
Tak siapa menanti.
Apa kita akan saling mencintai? Tanyamu
Tidak, kataku—
2022
KAFE-KAFE DI JAKARTA
I
Kau tahu?
Aku melihat banyak duka
Jendela kafe di kota ini dilukis
dengan gambar-gambar asmara
dengan cinta yang menua.
Siapa bisa melupakan Jakarta—
kafe-kafenya; di mana penderitaan
Dirayakan perlahan dan diam-diam.
II
Malam itu atau kemarin
Di kafe kita ketemu
Mengadu sukma yang lara
Diam-diam membuat sampan
Untuk menjauh dari duka
Mau ke mana malam ini?
Tidak, kita kelelahan.
2022