
Ketika retorika dan darurat politik memang bisa mengarahkan banyak orang cerdas menjadi budak setia Stalin atau, lebih buruk lagi..
Beberapa penulis bercakap pada kita melalui kondisi zamannya—kita perlu kembali ke situasi zamannya untuk betul-betul memahami bentuk gagasannya—dan sedikit yang berbicara pada kita secara permanen, melompat, seperti melipat waktu—mengalir, dari era mereka ke era kita. Kelompok terakhir tidak dapat diprediksi dan kehadiran mereka tampaknya tidak bergantung pada kualitas pemikiran tertentu, melainkan pada semacam kejernihan jiwa. Kita perlu bekerja keras, misalnya, untuk memahami karya filsafat Jean-Paul Sartre, dengan kombinasi ganjil teori Jerman dan politik Prancis kontemporer. Membacanya adalah pekerjaan (bermanfaat).
Namun Albert Camus, teman baik sekaligus rival Sartre, masih berbincang dengan kita secara langsung, kendati rentang waktunya sama jauh dengan kita dan Satre. Camus bukanlah pemikir yang luas—atau bahkan, dalam arti tertentu, orisinal—tetapi dia merengkuh kualitas yang biasa digambarkan anak-anak, dengan kagum, sebagai “bijaksana”. (Seperti dalam “Leonard Cohen adalah seorang yang bijaksana“). Apa yang dia katakan tentang segala persoalan selalu simpel dan mendalam, dan biasanya benar. Kita membacanya sebagai orang sezaman kita, dan dia jarang mengecewakan kita. Dia masih sangat populer, seperti yang dikatakan putrinya Catherine belum lama ini, sebab ia menulis bukan dalam rangka menemukan plot sejarah dan merapat ke arus utama, tetapi atas nama para korban sejarah.
Pikiran ini digerakkan penemuan di arsip Charles de Gaulle oleh penulis biografi dan peneliti Vincent Duclert: sebuah surat yang sebelumnya tidak dikenal dari Camus yang dikirim dari Paris ke London pada suatu waktu di 1943. Tidak bertanda tangan tapi langsung dapat dikenal dari nada dan konteksnya, berjudul “Dari Intelektual yang Melawan” dan dikutip surat kabar Le Figaro bulan lalu. Dengan persetujuan Catherine Camus, ia juga muncul di sebuah buku baru tentang Albert Camus karangan Duclert. Surat itu sangat aneh dan khas Prancis: kisah filosofis yang nyaring dan mengesankan tentang krisis Perlawanan Prancis berikut masa depannya, yang secara sensitif melangkah melalui pelbagai ladang ranjau solidaritas antar-Pemberontak. Surat itu, meskipun berakar kuat pada waktunya sendiri, berhasil membicarakan kurang lebih soal perselisihan kita sekarang dengan ramalan yang menakutkan.
Camus, seorang Prancis keturunan Aljazair, hidup di Lyon ketika perang pertama kali pecah, di mana dia menulis draf novelnya “The Stranger”, kemudian pindah ke Paris tempatnya menulis editorial untuk jurnal Perlawanan bawah tanah Combat (memang, nada dan gaya surat itu sangat mirip dengan editorial sehingga langsung terlihat seperti miliknya). Situasi saat itu sudah jamak diketahui. Perlawanan itu, dengan pola yang rumit, seolah dipimpin dari London oleh pemimpin militer sayap kanan de Gaulle, tetapi bertempur di Prancis bersama koalisi pasukan konservatif, Katolik, patriotik, dan anti-Nazi—bersama kumpulan pasukan “liberal” Republik yang resah dan mencurigakan, termasuk sosialis lama, didukung oleh komponen kuat Komunis yang turut serta di awal perang saat pakta Stalin-Hitler masuk dengan ganas dan berani ke dalam perlawanan bersenjata begitu Uni Soviet diinvasi.
Dalam surat itu, Camus pertama-tama menulis tentang kejatuhan “élite”—kelas intelektual, administratif dan bahkan militer yang merupakan kebanggaan meritokrasi Prancis. Dia memulai dengan catatan berimbang, sangat bervisi, yang sulit dipegang pada saat terbaik, secara heroik sulit untuk dipertahankan saat krisis eksistensial seperti itu. “Di sini, secara singkat saya merangkum perasaan seorang intelektual Prancis,” tulisnya, “ketika menghadapi situasi saat ini yang dapat diamati dari dalam. Terus terang, pertama adalah perasaan sedih. Saya punya keyakinan mendalam bahwa perang yang diadopsi Prancis metropolitan, di mana kita semua terlibat, dapat mengarah pada kelahiran kembali orang-orang ini atau pada kejatuhannya yang pasti.”
Kegagalan élite itu, tampaknya, bertanggung jawab atas “kekalahan aneh” Prancis, seperti yang dikatakan sejarawan Marc Bloch (Seperti yang dikatakan Picasso kepada Matisse, para jenderal Prancis adalah “profesor Beaux-Arts”—yaitu, bagian dari kader administrastif buta yang sama).
Bagaimana mungkin orang berpikir tentang élite ini sekarang, surat itu bertanya, dan bagaimana semestinya élite itu menyusun kembali dirinya sendiri setelah perang dimenangkan—jika benar ia dimenangkan? Sebuah bangsa mati, tulis Camus, karena élite-nya melebur, secara harfiah. Para élite itu dapat dibentuk ulang bukan dari kelas tradisional pelintas ujian administratif, melainkan élite baru penentang, yang keahliannya berakar pada “pengalaman nyata” dan yang menjaga realitas mereka. Dia mengeluh bahwa perlawanan langsung dan bersenjata di Prancis belum ditanggapi dengan tindakan militer dari luar—mungkin terkesan melebih-lebihkan sumber daya Angkatan Darat Prancis di pengasingan, tidak sabar untuk “front kedua” yang telah lama dijanjikan tetapi hanya dikirim pada bulan Juni 1944.
Atas dasar apa masa depan Prancis dapat dibangun? Terlepas antara model Amerika dan Soviet—pada saat ketika prestise Uni Soviet, karena keberhasilan Angkatan Daratnya melawan Nazi, berada pada titik tertinggi sepanjang masa—Camus berbicara untuk Rusia dan eksperimen sosialnya, meski berhati-hati berkata bahwa Prancis hanya dapat “dengan susah payah mengakui gagasan tentang kuasa Negara di mana semua kebebasan akan hilang”. Dia menulis bahwa, sementara kita harus mencari keadilan sosial yang pura-pura dikejar oleh Soviet, klaim kebebasan pribadi tidak dapat diabaikan atau diperlakukan sebagai hal sekunder.

Camus terus menuntut sentralitas kebebasan sebagai pelindung penting korban sejarah, kendati kritik terhadap mengemukanya kekuasaan Amerika dia identifikasi sebagai “masa depan yang terlalu mirip dengan masa lalu” dan di mana “dengan dalih kebebasan, keadilan sengaja diletakkan di satu sisi”. Lalu, apa ideologi Perlawanan Prancis? “Jika kita memiliki doktrin untuk dirumuskan,” tulisnya, “itu akan menjadi salah satu keseimbangan keadilan dan kebebasan, tentu sulit untuk diwujudkan, tetapi di luar itu tidak ada yang bisa dilakukan.”
Keadilan dan kebebasan: tuntutan apa yang bisa lebih mendasar atau bahkan lebih rendah? Kendati begitu, kesederhanaan bicara Camus tidak pernah bisa menutupi signifikansi dan ketinggian artikulasinya. Dia menolak model Soviet dan menganggapnya terlalu brutal juga monolitik; idenya dipersepsikan sebagai model imperialis Barat yang terlihat lebih menawarkan jalan serupa yang telah membawa Prancis ke kejatuhannya. Ia menyerukan revolusi keadilan, bersama dengan pembaruan kebebasan yang terus-menerus. Dalam visi Camus—yang pasti dia bagikan cuma-cuma dengan de Gaulle yang memiliki hal-hal sepele untuk dikhawatirkan—keadilan, termasuk keadilan ekonomi, tidak ada artinya tanpa komitmen yang sama kuatnya terhadap kebebasan.
Kebenaran ini seharusnya cukup mudah untuk kita tegaskan hari ini. Diperlukan kejernihan Camusian untuk melakukannya pada puncak perang—ketika retorika dan darurat politik memang bisa mengarahkan banyak orang cerdas menjadi budak setia Stalin atau, lebih buruk lagi, berkolaborasi dengan Nazi. Tidak mudah mengatakan semua ini pada saat krisis. Namun ini adalah tema abadi Camus: kebutuhan akan kebebasan bukan sebagai klise biasa, tetapi sebagai kondisi yang mengisi hidup kita; kebebasan berpikir untuk diri sendiri tanpa terancap oleh persetujuan massa; cengkeraman berbahaya bahwa abstraksi ideologi dapat mengecoh kita; tanggung jawab untuk melihat ketidakadilan dengan jelas dan memiliki keberanian untuk melawannya; kesiapan untuk menyimpulkan, seperti yang dilakukan oleh tokoh Camus, Jean Tarrou dari novel “Sampar” bahwa, “ada sampar dan ada korban, dan terserah kita, sejauh mungkin, untuk tidak bergabung dengan sampar”. Dan semuanya masih perlu didengarkan, lagi dan lagi.
Peneliti Camus terkemuka Robert Zaretsky menulis belum lama ini tentang betapa relevan eksistensialisme Camus belakangan. Yang terjadi di masa lalu, dapat terlihat dalam krisis kita saat ini. Para eksistensialis, Zaretsky menunjukkan, melampirkan sarat penting pada klaim biasa yang kita buat untuk universalitas moral:
“Kita juga harus menerima bahwa pilihan berbeda dari orang lain dalam situasi yang sama dapat sama baiknya dan sama-sama patut dipertahankan”. Kemanusiaan itu sendiri lah yang harus kita perjuangkan—menerima semua kompromi dan tindakan setengah-setengah yang penting bagi keberadaan manusia, dan tidak terlalu mudah mengutuk atau memaafkannya.
Camus menyingkap dirinya, dengan caranya sendiri, sebagai sesuatu yang sangat mengerikan: seorang sentris.Tapi sentrisme diperlukan sebagai sebuah kondisi, bila tidak mau menyebutnya sebagai label, demi upaya sederhana memutar kepala untuk melihat seluruh cakrawala. Mencari titik tengah pada setiap pertanyaan itu bodoh; menjadi sentris untuk melihat dunia apa adanya, adalah perasaan esensial yang sudah semestinya. Pada saat Camus menulis suratnya, perlawanan bukanlah posisi retorikal membangga-banggakan diri, melainkan risiko hidup-mati yang diambil setiap hari. Namun dia masih siap untuk mempertaruhkan nyawanya demi pandangan bahwa tidak ada satu garis pun yang harus diikuti dalam hidup.
Camus percaya, bahkan secara ekstrim, bahwa élite terpelajar yang terdiri hanya dari sekumpulan pikiran yang berkomitmen, diperbarui oleh pengalaman hidup, merupakan hal penting untuk masyarakat yang waras. Membacanya sekarang—ketika kita perlu diingatkan kembali bahwa setiap upaya depresiasi kebebasan sipil sebagai hal sekunder atau tidak penting bagi kemajuan kita adalah barbar, ketika setiap upaya untuk menutup gagasan kita tentang pembebasan dari cita-cita keadilan sosial akan gagal—Camus, sang “intelektual pemberontak,” menunjukkan, kesederhanaan program politik tidak perlu menjadi penghalang bagi tindakan heroisme yang diilhaminya. (*)