
Dia tidak benar-benar mabuk gairah Dionysian. Ketika ia mengunjungi lagi kota Sils-Maria di Swiss, 18 tahun sejak perjalanan pertamnya, dia menyesali sekaligus merayakan kedewasaannya. Ia memajang senyumnya untuk dijadikan foto keluarga dan melipur diri di tengah kekhawatiran bahwa ia telah menjadi “hewan peliharaan yang tengah tersenyum,” alias sesuatu yang terus dimanjakan.
Kaag, Kepala Departemen Filsafat di Universitas Massachusetts di Lowell, mulai bereksperimen dengan apa yang disebut sebagai filsafat sudut pandang orang-pertama—itu bukan santapan nikmat bagi jurnal-jurnal usang namun penyelidikan yang meyakinkan mengenai “kejadian sehari-hari” – yang ada di dalam buku terbitan tahun 2016, American Philosophy: A Love Story.
Membaurkan kisah roman dengan penelitian akademik, (John) Kaag berkisah tentang bagaimana ia menemukan perpustakaan pribadi yang berisi kemegahan filsafat abad ke-20, lalu meninggalkan satu pernikahan yang menyedihkan dan masuk ke dalam pelukan istrinya yang sekarang, seorang filsuf Kantian bernama Carol Hay.
Saat Kaag dan Hay bekerja untuk menyelamatkan isi perpustakaan tersebut, mereka tak menemukan penghiburan apapun. Namun, mereka bergulat dengan filsuf transendentalis seperti Ralph Waldo Emerson dan para pragmatis seperti William James. Sepanjang perjalanan itu, mereka lantas melihat cinta sebagai suatu tantangan alih-alih sumber rasa nyaman.
Dari romansa perspustakaan itu Kaag menghasilkan buku baru “Hiking With Nietzsche”—seperti pendakian ia menemukan cinta sebagai suatu tantangan alih-alih sumber rasa nyaman. Tetapi lebih dari cinta dan pernikahan, Kaag menunjukkan hal lain tentang mengatasi penderitaan dalam kehidupan yang ia palajari dari Nietzsche.
Buku itu menunjukkan upaya untuk mengembalikan filsafat ke bentuknya yang paling relevan – yaitu, untuk menautkannya kembali ke kelindan pengalaman hidup sehari-hari. Hiking With Nietzsche menjelajahi dua perhitungan – satu oleh Nietzsche, satu oleh Kaag – atas tawaran-tawaran hidup modern.
Kaag terpukau oleh ide mengenai dekadensi – yang diteliti Nietzsche pertama kali di buku The Birth of Tragedy, dan yang mengusiknya hingga akhir hayat. “Apakah mungkin bila keberlimpahan membuat kita menderita?” tanya dia. “Apakah badan yang sehat bisa menimbulkan sakit jiwa?” Dengan membaurkan biografi, sejarah intelektual, dan esai personal, Kaag menjalani tiga penjelajahan yang saling terkait: evolusi Nietzsche dari seorang pemula di masa muda menjadi seorang pembelot ikonoklas di usia paruh baya, upaya Kaag untuk meniti kembali jejak Nietzsche di pegunungan Alpen di Swiss, dan upaya Kaag lainnya untuk meniti lagi upayanya di Alpen, kali ini bersama Hay dan anak perempuan mereka yang berusia 3 tahun.
Hasilnya tidaklah sekadar perkenalan yang mudah dipahami atas pemikiran-pemikiran Nietzsche. Buku Kaag ini, meski judulnya menjemukan, juga merupakan konfirmasi bahwa filsafat berkembang maju ketika ia menyediakan penawar bagi kegilaan yang sengit menghadapi kehidupan ini.
Mengamini Penderitaan
Bagaimana “cara Nietzsche memupuk tantangan dan keberanian eksistensial yang mendorongnya hingga ke puncak gunung?” tanya Kaag.
Mungkin permulaanya saat itu seperti ini – melalui penolakan sederhana terhadap kehendaknya sendiri. Hidup makin teguh dan gembira dari penolakan semacam ini, suatu pencobaan sunyi yang dialami bahkan oleh orang paling terdidik di beberapa momen hidupnya.
Ketika Kaag menapaki trek perjalanan Nietzsche, penolakannya mulai berubah bentuk menjadi sikap bermati-raga yang intens, hingga ia sering merasakan pusing. Saat ia menyerah, ia menemukan sebuah hotel mewah dan memesan santapan yang sangat mewah dan banyak.
Perubahannya terjadi secara radikal – dan, dalam tataran tertentu, sangat bersifat Nietzsche: “Sihir yang bertarung demi kita, mata Venus yang mempesona dan membutakan musuh-musuh kita, adalah sihir yang paling ekstrim, suatu godaan yang dihasilkan segalanya yang bersifat ekstrim,” tulis Nietzsche di The Will to Power, buku yang dipublikasikan pasca kematiannya, yang dianggap banyak orang sebagai karya terbaiknya. Hasutan ini, inti dari ajaran-ajaran dan gayanya yang sangat hiperbola, pun semakin memikat dan dipenuhi semangat kemudaan.
Untungnya, Kaag, yang berumur 37 tahun, menyadari adanya aspek liar dan naif dari beberapa pandangan radikal Nietzsche, dan dia mengakui bahwa selama kelekatannya dengan pahlawannya itu ia “benar-benar menjengkelkan.”
Namun, dia tidak benar-benar mabuk gairah Dionysian. Ketika ia mengunjungi lagi kota Sils-Maria di Swiss, 18 tahun sejak perjalanan pertamnya, dia menyesali sekaligus merayakan kedewasaannya. Ia memajang senyumnya untuk dijadikan foto keluarga dan melipur diri di tengah kekhawatiran bahwa ia telah menjadi “hewan peliharaan yang tengah tersenyum,” alias sesuatu yang terus dimanjakan.
Untuk “Menjadi”
Bagaimana ia harus mempertahankan diri? Ketika ia kembali ke keluarganya setelah seharian mendaki sendirian, ia berpikir, “Mungkin seorang peziarah tidak tumbuh dalam suatu kesengsaraan, namun di tengah momen ketika ia belajar menerima hal-hal nyaman di rumah.” Hal ini tidak terdengar seperti ajaran Nietzsche, dan perkataan klise Kaag bisa membuat kita bertanya apakah ia justru mengikuti visi filsafat Wittgenstein.
Namun, Kaag sangatlah gigih dalam membawa bentuk-bentuk ekstrim ke dalam hidup yang kelihatannya stabil dari luarannya. Ketika ia kembali ke Amerika, ia telah mengubah konsepsinya tentang bagaimana kita seharusnya membentengi diri di hadapan aturan-aturan dekaden dari dunia yang konsumeris dan konformis. Yang Kaag lupakan selama masa mudanya ialah bahwa Nietzsche tidak menyarankan kesusahan tanpa sebab.
Meski bahasa metaforis yang dipakai Nietzsche sepanjang karirnya sangat tidak konsisten, dia pada dasarnya adalah pendukung hidup sehat – namun, kesehatan, kata dia, tidaklah sepadan dengan kenikmatan.
Justru sebaliknya, kesehatan memerlukan pencobaan-pencobaan yang menghasilkan suatu kekuatan (dan Nietzsche tak berpikir soal SoulCycle). Di The Will to Power, ia menulis: Bagi mereka yang aku sayangi, aku mengharapkan penderitaan, kesepian, sakit, pengabaian, dan pelecehan – aku berharap mereka pernah mengalami kebencian pada diri sendiri yang amat sangat, siksaan rasa sangsi pada diri sendiri, hingga kekalahan total yang amat malang: aku tidak mengasihani mereka, karena aku mengharapkan pada mereka satu hal yang bisa membuktikan apakah mereka punya nilai yang diperlukan di jaman ini – yaitu bahwa seseorang sanggup bertahan.
Kaag perlu dua perjalanan ke pegunungan Alpen untuk memahami bahwa Nietzsche mendorong kita untuk merayakan penderitaan kita karena kita bisa menghindarinya jika kita menghindari kelekatan – yaitu, ketika kita bertahan dalam kesusahan yang sejatinya adalah bagian dan berkat dari eksistensi manusia. Kaag menyimpulkan bahwa perayaan akan kehidupan tidak selalu mengorbankan kehidupan, namun berarti suatu sikap yang membutuhkan adanya tantangan.
“Diri manusia tidak menunggu secara pasif untuk ditemukan. Kedirian diciptakan secara aktif, dalam proses yang terus-menerus, yang dalam bahasa Jerman diwakili kata kerja werden, ‘menjadi,’” tulisnya. (SC)