
Kehidupan pribadi dan kebiasaan sehari-hari para penulis besar Rusia membuatku takjub. Mereka sering dicitrakan sebagai para genius lantaran pikiran cemerlang dan novel-novel tebal yang mereka tulis. Tapi ternyata mereka serupa belaka dengan kita. Tolstoy harus makan buah pir rebus untuk meredakan masalah pencernaannya. Bulgakov merasa kaus kaki yang ia miliki tak pernah cukup. Dan Chekov membuat sendiri alat hirup kreosot untuk mengobati penyakitnya. (Baiklah, tidak semua orang melakukan hal itu. Tapi kita semua punya cara-cara ajaib yang kerap menyusahkan diri sendiri saat mengobati suatu penyakit, bukan?) Dengan mengetahui betapa aneh—dan sekaligus betapa biasa—keseharian para penulis itu, kita bisa merasa dekat dengan mereka dan, lebih penting lagi, merasa akrab pada karya-karya mereka, yang acap kali disalahpahami sebagai bacaan tak terjangkau.
Esai Viv Groskop, diterjemahkan oleh A. Nabil Wibisana
Banyak aspek kehidupan Tolstoy yang bisa kita nilai modern atau bahkan milenial. Pola makannya sehat. Ia seorang vegetarian kelas berat yang menganggap makan daging hewan adalah perbuatan “amoral”. Saat melewati usia 50 pada pertengahan 1880-an, ia beralih menjadi vegetarian dan mulai mengatur menu makanan berbahan telur yang ia santap secara bergiliran hari demi hari. Kadang kala, sebagai selingan dan pengganti protein telur, ia makan sajian favoritnya yang lain: buncis dan kubis Brussel. Sekali dalam setahun ia memanjakan diri dengan sepotong pai lemon.
Tolstoy adalah penganjur apa yang kini kita sebut sebagai kesadaran-penuh dan ia bahkan menulis buku panduan berjudul A Calender of Wisdom yang isinya bagaikan ikhtisar dari setumpuk buku suci Oprah Winfrey, O: The Oprah Magazine (Ini sunguh-sungguh pujian). Tolstoy juga pengagum Vivekananda, rahib India yang pertama kali membawa yoga ke dunia Barat. Suatu kali Tolstoy pernah menulis, “Sejak pukul enam pagi, aku memikirkan Vivekananda. Aku ragu bahwa sekarang ini manusia bisa melampaui meditasi spiritual tanpa pamrih yang diajarkannya.” Tak ada bukti bahwa Tolstoy berlatih yoga pula, tapi ia mestilah paham betul pemikiran Vivekenanda tentang praktik yoga. Aku rasa telurlah yang menghalangi jalan Tolstoy. Tak seorang pun mau mengalami nasib buruk akibat pola makan khusus itu ketika sedang berupaya melakukan postur anjing membungkuk.
Saat pertama kali mendengar ungkapan “FOMO” (Fear of Missing Out), perasaan takut ketinggalan sesuatu, aku langsung teringat Chekov. Ia menyandarkan seluruh filsafat hidupnya untuk mempersoalkan obsesi manusia pada perbandingan, bagaimana kita kerap membayangkan kehidupan yang lebih menyenangkan jika saja bisa mengambil jalur hidup yang berbeda, atau melamun tentang seseorang di suatu tempat lain yang kondisinya lebih baik daripada kita.

Kecenderungan itu terangkum baik pada refrain Moskow! Moskow! Moskow! dalam lakon Three Sisters, yaitu saat para tokoh utama terus-menerus mendambakan kehidupan di kota yang hampir tak bisa mereka ingat dan sama sekali tak bisa melihat bahwa kehidupan baik yang sesungguhnya mereka lewatkan adalah kehidupan yang berlangsung di sekitar mereka. Malangnya, Chekov sendiri punya banyak kesempatan merasakan #FOMO di sepanjang enam tahun terakhir hidupnya saat ia menderita pendarahan yang disebabkan oleh tuberkulosis. Terapi terbaik untuk kondisinya itu adalah tinggal di Yalta (sebuah tempat yang disebut Chekov sebagai “Siberia yang panas”), terpisah dari Olga, sang istri tercinta yang jauh lebih sering—bisa ditebak!—tinggal di Moskow. Sungguh masa-masa yang buruk.
Penyair besar Rusia Abad ke-20 Anna Akhmatova bertahan dari penindasan selama era Stalin dan terus konsisten menulis sampai akhirnya menghasilkan mahakarya Requim, sebuah seri puisi yang didedikasikan untuk para perempuan yang menghabiskan waktu mereka dengan berbaris di luar penjara demi menunggu kabar orang-orang terkasih yang ditangkap penguasa. Akhmatova nyaris tak punya uang (karena ia secara resmi tak bisa bekerja sebagai penulis) dan selalu berada dalam pengawasan rezim. Namun, ia masih bisa tampil gaya seperti Norma Desmond dalam film Sunset Boulevard, mengenakan gaun sutra hitam dengan aksen bordir yang cantik pada satu acara pembacaan puisi di penghujung 1930-an. (Kritikus Vitaly Vilenkin mencatat: “Di beberapa bagian, gaun sutra itu tampak menerawang.”)
Terlepas dari tekanan kehidupan yang akan membuat depresi bahkan untuk orang paling optimis sekalipun, Akhmatova mahir menjalin persahabatan yang kuat dengan orang-orang dengan selera humor yang tinggi. Ketika ia dan sahabatnya Nadezhda Mandelstam tinggal bersama dalam pengasingan di Tashkent, suatu kali mereka sadar bahwa aparat NKVD (Komisariat Rakyat untuk Urusan Dalam Negeri) telah “mengunjungi” apartemen mereka. Sebuah lisptik tertinggal di meja, tergeletak di sebelah cermin yang jelas-jelas dibawa dari ruangan lain. Nadezhda Mandelstam mencacat di buku hariannya bahwa ia dan Akhmatova tahu benar gincu itu bukanlah milik mereka karena pemulas bibir itu “warnanya sangat mencolok”. Siapa pun yang sanggup mencibir selera lipstik seorang agen NKVD pada masa yang sangat sulit dan berbahaya itu adalah temanku.
Ivan Turgenev, pengarang Father and Sons dan A Month in the Country, terkenal sebagai figur yang paling berwarna dan hedonistik dalam sejarah sastra Rusia. Ia punya gundik, seorang penyanyi opera yang terus ia ikuti ke berbagai penjuru Eropa. Ia pemarah, suasana hatinya mudah berubah, dan suka berlagak pula. Ia pernah melempar bak tinta ke arah gundiknya saat ia merasa terganggu dan ia sempat mengolok-olok aktris Sarah Bernhardt dengan pernyataan bahwa perempuan itu mengingatkannya pada kodok. Sekali waktu, saat ia lupa menghadiri sebuah pesta jamuan teh, ia menulis surat permohonan maaf yang menyebutkan bahwa ia tak bisa datang ke pesta itu karena ibu jarinya terlampau kecil.
Turgenev memiliki hubungan benci-tapi-rindu dengan Tolstoy. Saat hubungan mereka baik-baik saja, ia dikenal anak-anak Tolstoy sebagai paman yang menyenangkan. Ia menghibur mereka dengan berjoget atau menirukan seekor ayam ketika sedang makan sup. (Ya, aku berkata begitu tapi aku memang pernah berdebat sengit dengan penerjemah bahasa Rusia bukuku tentang apakah Turgenev menirukan seekor ayam ketika ia sedang makan sup atau ia menirukan seekor ayam yang sedang makan sup. Hanya satu yang benar, tapi apa pun itu, Turgenev bisa sangat menyenangkan.) Saat sakit, ia punya cara yang lebih kreatif dibandingkan Chekov. Ia berusaha menyembuhkan dirinya sendiri dari kanker sumsum tulang belakang dengan minum “sembilan atau sepuluh gelas susu” setiap hari. Kawan-kawan, ini baru namanya optimisme! (Tentu saja terapi itu tak berhasil.)

Dari semua penulis besar Rusia, Solzhenitsyn, pengarang The Gulag Archipelago, mungkin yang paling kuat terikat pada kebiasaan. Aku suka membayangkannya sebagai pelatih kehidupan dari neraka. Harian The New York Times pernah mendeskripsikan Solzhenitsyn sebagai sosok “keras yang tindak-tanduknya nyaris alkitabiah” dan gambaran itu adalah Solzhenitsyn pada hari-hari yang baik. Setiap kali memikirkan dirinya, aku teringat lagu All I Wanna Do yang dinyanyikan Sheryl Crow, persis pada lirik “Aku penasaran apakah di sepanjang hidupnya ia pernah sehari saja bersenang-senang.” Sejauh yang bisa aku telusuri, Solzhenitsyn menghabiskan 18 jam dalam sehari untuk menulis dan melakukan riset. Konon ia tak pernah sekalipun mengangkat telepon yang berdering. Urusan sesepele itu adalah tugas orang lain, misalnya istrimu. (Tepat!) Istrinya pernah berujar, “Ia tak meninggalkan rumah selama lima tahun. Ia kehilangan ruas tulang belakang… tapi setiap hari ia duduk dan bekerja.” Bayangkan! Ia kehilangan ruas tulang belakang. Tapi setiap hari ia duduk dan bekerja.
Ada satu cerita tentang bagaimana ia sejenak bersantai. Ketika pada awal 1970-an penulis Lydia Chukovskaya diwawancarai tentang hubungan persahabatannya dengan Solzhenitsyn, ia berkisah ihwal kebiasaan mereka mengatur waktu menulis pada jam yang sama (perempuan yang malang) dan betapa Solzhenitsyn suatu kali sempat begitu khawatir mengganggunya. Jadi, Solzhenitsyn meninggalkan pesan di lemari es yang kurang lebih berbunyi, “Jika kau senggang pada pukul sembilan, mari kita mendengarkan radio bersama-sama.” Nah! Solzhenitsyn pun ternyata tahu cara berpesta. (*)
—Diterjemahkan dari laman Literary Hub