Home Editors' Choice The Divine Comedy: Karya Terbesar dalam Sastra Barat

The Divine Comedy: Karya Terbesar dalam Sastra Barat

0
The Divine Comedy: Karya Terbesar dalam Sastra Barat
Dante and Virgil beset by demons, passing through Hell, illustration by Gustave Doré for an 1861 edition of Dante's Inferno (The Divine Comedy). Photos.com/Getty Images / Via Britannica
By Ian Thomson

Laiknya yang diketahui tiap anak sekolah di Italia, The Divine Comedy (Komedi Ilahi) dimulai dengan ‘hutan kelam’ mistik tepat sebelum matahari terbit pada Jumat Agung, tahun 1300. Dante Alighieri, seorang tokoh di dalam karyanya sendiri, telah kehilangan masa mudanya dan sendirian, serta ketakutan dalam kegelapan. Atas permintaan seorang perempuan bernama Beatrice, hantu penyair Romawi Kuno, Virgil, menuntunnya ke Neraka.

‘Pada pertengahan perjalanan hidup kita
Aku menemukan diriku di hutan yang kelam
sebab jalan yang terang telah hilang’

Dimulai pada dekade pertama abad ke-14, puisi Dante, bagi banyak pihak, merupakan karya terbesar dalam Sastra Barat. Karya tersebut memadukan gaya sastrawi yang luar biasa; liris, satiris, teologis, serta beberapa makian tak terlupakan. Puisinya penuh dengan perpaduan realitas, dari yang luhur hingga yang keji, adalah bagian yang membuatnya begitu modern. Sebagian besar The Divine Comedy di buat dalam vernakular (bahasa asli suatu masyarakat) Italia, yang mana Dante menghargai keaslian dan kekayaan ekspresi cerita dari orang Italia. Keputusan Dante untuk menulis dalam idiom Tuscan merupakan sebuah momen penting dan signifikan dalam sejarah peradaban Barat. Penolakannya terhadap bahasa Latin mendahului 80 tahun sebelum Geoffrey Chaucer, dan memastikan bahwa Tuscan akan menjadi langgam sastra Italia dan, bahkan bahasa nasional Italia.

The Divine Comedy dibagi menjadi tiga buku sama panjang: Inferno, Purgatorio, Paradiso. Tiap bukunya terdiri atas 33 potongan ritmis yang kemudian disebut canto, dengan tambahan pengenalan canto dalam Inferno. Seluruhnya terdapat seratus canto. Puisinya dikenal sebagai “komedi” dalam pengertian Aristotelian abad pertengahan yang bermula dari kesengsaraan menuju kebahagiaan.

Penyelamatan yang dilakukan Dante ialah “komik” yang memuncak dalam kegembiraan. Dalam puisinya, Dante terlihat menjajaki sembilan lingkaran konsentris neraka, sebelum pendakiannya ke puncak Gunung Api Penyucian membawanya menuju wahyu Tuhan di Surga.

Tema keputusasaan yang menanjak melalui harapan menuju keselamatan ialah rumusan Katolik. Pada ajaran Katolik Ortodoks abad pertengahan, Api Penyucian ada diantara keadaan jiwa yang tidak sempurna yang dimurnikan melalui api dalam persembahanya untuk memasuki surga. Perjalanan Dante dari hutan kelam ke surga melalui Api Penyucian hanya butuh satu minggu, dalam puisi membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk menyelesaikannya.

Tak heran, Inferno merupakan buku yang paling banyak diterjemahkan setelah Alkitab. Ini mengingatkan kita pada hal paling orisinal dan berani dari kehidupan setelah kematian dalam sastra Barat. Victor Hugo melangkah lebih jauh dengan mengklaim bahwa mata manusia tidak dibuat untuk melihat cahaya Surganya Dante: “ketika puisi menjadi bahagia, itu menjadi membosankan.” Bagi Hugo, seperti banyak pembaca setelahnya, Inferno adalah ode yang “menarik”, di mana drama manusia tentang cinta, dosa dan hukuman digambarkan. Rasanya seperti teriakan pembawa kutukan dari para peri laut memanggil kita dengan cara yang tak mampu dilakukan oleh upaya penyelamatan emosi serta penebusan dosa milik Dante. (Dalam serial televisi Amerika Serikat, Mad Men, Don Draper seorang pezina dan pendusta ulung terlihat membaca salinan Inferno di pantai Miami).

Mulai dari seri Lemony Snicket yang ditujukan untuk anak-anak, hingga film anime Jepang serta video game The Doom, yang mengadopsi latar belakang cerita kelam merujuk pada Nine Circle dan The Doomslayer (atau Hell Walker). Inferno karya Dan Brown, novel dengan penjualan tercepat pada tahun 2013, merupakan sebuah bibliografi thriller yang bercerita tentang sosok detektif Robert Langdon yang tersesat dalam labirin simbol dan kode buatan Dante. Dan tentu saja, bila Inferno milik Dante disebut ‘mengerikan’ dalam hal yang menginspirasi kekaguman orang lain, maka terbuka ruang untuk memperdebatkan bahwa karya Brown, adalah karya yang ‘hanya mengerikan tanpa merujuk pada ihwal lain. (“Seorang perempuan bertubuh kekar dengan mudah melepaskan sepeda motor BMW-nya…”).

James Joyce, pada bagiannya, menyatakan kekaguman yang tak kunjung padam untuk The Divine Comedy: “Saya mencintai Dante saya seperti halnya Alkitab,” katanya, sembari menambahkan: “Dia adalah makanan rohani saya, sisanya adalah penyeimbang.” Sebab Dante merupa segala imajinasi yang mengaitkan filsafat klasik dengan doktrin Katolik serta politik kontemporer. Honoré de Balzac dalam Comédie Humaine (1842-53) secara sadar berusaha menyaingi keragaman dan detail tentang manusia yang ditulis dengan luar biasa dalam puisi Dante. Murid Dante (Dantista) yang lain, Osip Mandelstam seorang penyair asal Rusia, mendaku tidak pernah meninggalkan flatnya di Moscow selama regime Stalin tanpa buku Dante, bahkan di saat ia tertangkap. Penderitaan paling kelam yang ditemukan dalam Dante – malam-malam yang panjang dalam kegelapan dan kekecewaan – sudah tidak asing lagi bagi Mandelstam seperti halnya bagi Oscar Wilde dan penulis lain yang dianiaya dan dipenjara secara tidak adil.

Pada 1882, 14 tahun sebelum dia ditangkap, Wilde dipanggil untuk diperiksa di sebuah penjara di Nebraska selama kelana kuliahnya di Amerika. Dia terkejut karena menemukan salinan The Divine Comedy yang diilustrasikan oleh Doré. ‘Oh sayang, siapa yang berpikir akan menemukan Dante disini?’ Mungkin gubernur disana berpikir itu untuk mendidik narapidana. Wilde menulis pesan untuk Helena Sickert, saudari dari pelukis Walter Sickert: “Terlihat aneh juga indah untukku, ketika kesengsaraan seorang anak manusia asal Firenze (Florence), dalam ratusan tahun setelahnya, mampu menerangi kesedihan beberapa narapidana di sebuah penjara modern.” Wilde menanyakan cetakan dari Dante ketika ditahan atas tuduhan “perilaku tidak senonoh,” meskipun The Divine Comedy menganggap bahwa homoseksualitas adalah pelanggaran yang hampir terlampau menyedihkan untuk ditebus.

Samuel Becket menyimpan sebuah salinan The Divine Comedy di sampingnya saat dia sekarat di Rumah Sakit Paris pada tahun 1989. Tabung oksigen ada di samping untuk penyakit emfisemanya namun, seolah tenggelam dalam Dante, dia terlihat gembira mengingat Derek Mahon (penyair yang mengunjunginya sebulan sebelum dia meninggal pada usia 83). Monolog ke sembilan milik Beckett, Text for Nothing (1954) menawarkan empat transliterasi harfiah untuk kata-kata penutup pada Inferno: ‘dan kembali memandang bintang’ (a riveder le stelle). Kata-kata itu diucapkan oleh seorang gelandangan seperti kala ia merenungkan kematian.

“Ada jalan di luar sana, ada jalan di lain tempat, sisanya akan datang, dengan kata lain, cepat atau lambat, dan kekuatan untuk sampai di sana, dan cara menuju ke sana, dan kembali, dan tengoklah keindahan langit, dan kembali memandang bintang.”

Pada kebangkitannya dari buntunya neraka yang terasa seperti kematian, Dante Alighieri juga “akan kembali memandang bintang.” (*)

Penerjemah: Himas Nur | Editor: Sabiq Carebesth

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here