Home City & Poetry New Poetry Jakarta Off The Record—Puisi  Lukman A. Salendra

Jakarta Off The Record—Puisi  Lukman A. Salendra

0
Jakarta Off The Record—Puisi  Lukman A. Salendra
The planned architecture and the spontaneous ramshackle buildings and street vendors mingle together to create an interesting whole. | Photo By Morden O'hare who is passionate about travel, wildlife and landscape photography.—via https://www.mordenohare.com.

Jakarta Off The Record

Ia mengisi hari-hari perih dengan sialan dan siulan.
Jangan catat kembali kesedihannya, ini sajak untuk you semata yang jadi buruh ketik
di langit ketiga. Ia berjalan ketika bulan purnama di atas pucuk Monas. Bulan mengintip
dari balik dedahan pohon sebelum dipangkas. Katanya ada yang sedang diam-diam memindahkan ibu kota sambil mulutnya menangis dan matanya berkata-kata, serta kepalanya terus berjalan

Hari-hari berlalu dalam sedih penuh resonansi di tengah wabah ini. Dan di harmoni yang biasa kerumunan masa bagai laron-laron menyatroni metromini, kini sunyi meradang lengang kehilangan orang-orang. Di mana lelaki yang suka buang dahak sembarangan, gampang menumpahkan kekecewaan? Cuma entah yang mencatatnya.

Botol plastik siapa itu yang hanyut di sungai seperti mengandung senyawa semangat. Ayo ambil dan bocorkan! Tunggu Pak Supir Busway! Biarkan ia memungutnya untuk disimpan di rak istana negara

In, 2020

Kepada Almarhum Sutan Iwan Sukri Munaf
Ketika Jakarta Penuh Lengang Dan Sunyi

Dalam kelengangan seperti ini asyiknya memang merapalkan puisi, sambil arwah baik hati
dan tidak sombong memutari Jakarta seorang diri. Metromini tak lagi punya cerita mogok
di jalan. Kupu-kupu mencoba menaiki LRT/MRT tanpa gerbong dan laju di atas rel
yang diam seribu roda.

Oh arwah yang baik yang pernah sama-sama menulis puisi, menyatroni asas komunitas, bercerita tentang anak jalanan, dll.
Aku rindu berujar pekik di atas panggung bangsa
membayangkan suku-suku berjingkrak-jingkrak
bergerombol bersama orang Jawa, orang Papua, orang Ambon, orang Bugis, orang Batak, dan orang ondel-ondel.

Sambil membayangkan puisi dalam khidmat angin, aku tertunduk lesu sebab pengkhianatan ini. Aku lihat you malah sibuk menanam tomat di taman istana negara. Aku kebelet kencing lari
dari pintu utara Monas, mencari tempat buang hajat ke balik pohon, lalu kudapati you sibuk menanam tomat di taman istana negara, sementara penyair terkenal sibuk membakar sampah rongsokan waktu.

In, 2020

Afrizal Malna Dari Arsitektur Hujan
Ke Jalan Lain Ke Di Rahim Ibu Tak Ada Anjing

Pertama, aku berterima kasih kepada Idrus yang menulis dari Ave Maria ke jalan lain ke Roma, sebuah narasi yang cukup realis di abad ini. Dan bagus, menurut you?
Kedua, aku heran kenapa puisi-puisi Afrizal Malna itu lain dari pada yang lain dan sebenarnya sangat menyentuh hatiku. Bahkan ketika dulu aku hendak menyelesaikan gelar sarjana bahasa aku sempat terpikir menulis skripsi tentang kejatuhan karya-karya Malna, sayangnya ditolak dosen pembimbing yang sibuk senggama.
Ketiga, aku membayangkan Idrus dan Afrizal Malna menulis tentang Jakarta di tengah lengang kota tanpa kaleng coca-cola.
Keempat, aku ingin mendengar suara Afrizal Malna yang lembut tapi perkasa. Baca puisi
lalu menyanyikan lagu Koes Ploes Ke Jakarta Aku Kan Kembali
Kelima, aku ingin Idrus hidup kembali bersama Chairil Anwar dan mereka berdua merencanakan mencuri mesin ketik di istana negara yang pastinya sudah lama tak ada. Mesin ketik bekas mengetik naskah proklamasi tentu penuh berkahnya manakala juga dipakai untuk mengetik naskah sajak Jakarta Tanpa Kepala Negara

In, 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here