
Saya memiliki ketertarikan terhadap cara berkomunikasi dengan musik dan suara, bahkan bagi saya seolah sedang menyusun esai menggunakan suara. Saya tidak piawai berbicara, dan tidak begitu suka bertutur lisan. Tapi bisa bercakap-cakap dengan orang lain lewat mikrofon dan gelombang radio terdengar menarik.
Penulis Haruki Murakami menerima saya untuk mewawancarainya pada awal Juli di Tokyo. Hasil wawancaranya akan kami terbitkan dalam dua bagian. Pada paruh pertama, ia berkisah banyak hal, mulai dari perasaannya sebagai disc jockey (DJ) pada suatu program radio, hingga peran sastra dan musik dalam masa pandemi COVID-19. Adapun kisahnya mengenai karya-karya terbarunya akan kami terbitkan pada paruh kedua.
Saya Tumbuh Bersama Radio
Sejak dua tahun lalu, Anda menjadi DJ untuk program radio bertajuk Murakami RADIO di TOKYO FM (disiarkan melalui 38 jaringan stasiun radio di seluruh Jepang). Terima kasih telah dipersilakan menengok suasana rekaman siaran radio yang akan disiarkan pada bulan Agustus, di studio berukuran sekitar 50 meter persegi ini. Atmosfernya tenang, ya, tak jarang tarikan nafas saya dan staf program menjadi seirama.
Betul. Para staf sangat kompak, saya juga jadi nyaman bekerja. Sebelumnya, saya dua kali rekaman sendiri di rumah selama periode instruksi dari pemerintah untuk berdiam di rumah, dan kali ini akhirnya bisa kembali seperti dulu.
Saya ingin mendengar kisah mengenai tema kita kali ini, Pengalaman Sebagai DJ, tapi sebelum itu, saya ingin tahu bagaimana pengalaman Anda sendiri dalam mendengar. Infonya, Anda sering menyimak acara request lewat telepon di Radio Kansai. Program radio itu muncul dalam adegan-adegan penting di novel debut Anda, Dengarlah Nyanyian Angin.
Saya merasa saya tumbuh bersama radio. Tentu saya juga menonton teve, tetapi pada zaman dahulu ‘kan hanya ada satu unit teve di satu rumah, jadi menontonnya bersama-sama dengan yang lain. Kalau radio, ‘kan, satu lawan satu. Saya senang musik, dan bagi saya radiolah yang paling personal; dari sisi itulah radio menjadi media yang memberi keakraban. Saya tumbuh dengan mendengar beragam musik di radio.
Radio transistor?
Betul, radio transistor kecil. Itu pun yang AM. Radio FM baru ada kira-kira saat saya akhir SMA. Sebelum itu, praktis saya hanya mendengarkan radio AM. Jadi kualitas suaranya tidak begitu baik. Walaupun kurang baik, dulu saya mendengarkan dengan semangat sekali. Pada masa itu harga piringan hitam tergolong mahal, jadi saya tidak bisa membelinya banyak-banyak. Tidak ada cara lain selain radio, sebab belum ada layanan streaming atau unduh seperti sekarang. Maka dari itu saya jadi mendengarkan musik dengan sungguh-sungguh dan menghargainya.
Pernah merekam dengan tape recorder?
Belum ada casette tape pada masa itu, hanya ada pita magnetik. Jadi, ya, tidak semudah itu. Setelah itu barulah bisa merekam atau dubbing dengan tape deck dari tuner, lalu juga baru muncul radio kaset.
Meskipun demikian, semuanya berawal dari kesungguhan Anda mendengarkan apapun yang terdengar, ya.
Ya, tak ada cara lain.

Sejak kapan Anda mulai mendengarkan radio di kamar sendiri?
Barangkali sekitar kelas 5 SD. Saya mulai mendengarnya menggunakan radio transistor kecil merek SONY yang saya terima. Itu sekitar tahun 1959, yang jelas sebelum 1960. Sejak itulah saya terus mendengar lagu-lagu pop. Setelah saya beranjak ke SMP lalu SMA, radio transistor saya juga jadi sedikit lebih besar.
Apakah sejak awal Anda mendengarkan lagu-lagu barat?
Lagu barat saja. Saya besar di lingkungan kota Kobe. Dahulu, di sekitar sanalah pusat lagu-lagu barat. Musik yang diputar di seluruh penjuru kota pun lagu barat, mungkin karena memang begitulah Kobe dari aspek budaya. Saya sendiri tidak begitu menyadari hal itu. Semuanya mengalir saja secara alami, dan saya jadi ikut mendengar lagu barat.
Sepertinya Anda belajar piano saat kanak-kanak.
Ya, saya mempelajarinya. Lalu saya berhenti karena benci latihannya Sepertinya saya belajar sejak SD, entah kelas berapa, sampai SMP. Sampai sekarang pun saya masih bisa membaca partitur, dan saya mensyukurinya. Saya suka mendengarkan suatu lagu sambil mencari kuncinya dengan tuts piano, meskipun saya tidak lagi bisa memainkannya. Tapi bukankah musik adalah sesuatu yang harus terus dilatih? Misalnya kita bisa memainkan piano atau menari balet, lalu terus berlatih bertahun-tahun hingga layak tampil di depan penonton; tapi begitu malas berlatih, kemampuan kita akan menurun. Nah kalau prosa, kita tetap langsung bisa menulis meskipun tanpa berlatih. Tidak ada hal yang lebih praktis daripada itu; tidak berlatih pun tak ada masalah.
Apakah musik yang Anda dengarkan adalah musik populer?
Sejak SD sampai SMP sekitar usia 15 tahun, saya hanya mendengar musik pop. Setelah itu mulai mendengar jazz yang membuat saya gandrung, dan di saat bersamaan saya juga mendengar musik klasik. Lalu saya mendengar musik pop hanya dari radio. Kalau dari piringan hitam atau saat sedang berada di bar jazz, saya cenderung menikmati musik jazz dan klasik. Jadi saya menyenangi tiga jenis musik.
Berarti saat peralatan stereo mulai dipasang di rumah, Anda berusia 12 tahun, ya.
Benar, saat kami pindah ke kota Ashiya. Kemudian saya mulai membeli piringan hitam, yang saat itu masih terbilang mahal. Karena itulah saya mendengarkan beragam jenis musik di radio, menyeleksi apa yang saya inginkan, baru membelinya.
Piringan hitam yang pertama Anda miliki adalah White Christmast milik Bing Crosby, betul?
Itu bonus saat beli stereo. Yang pertama kali saya beli sendiri adalah piringan hitam LP-nya Gene Pitney. Saat itu saya kira-kira kelas 2 SMP. Itulah awal saya mengoleksi piringan hitam. Setelah itu, lebih dari 50 tahun saya terus mengoleksinya. Sekarang hampir-hampir tidak ada lagi tempat untuk menyimpan. Kalau buku, setelah sekali baca, kebanyakan akan saya jual ke toko buku bekas atau saya loak; tetapi kalau piringan hitam, tetap saya simpan. Biasanya seorang penulis akan berpikir sebaliknya, tapi saya sendiri tidak begitu terpaut dengan buku. Saya sama sekali tidak tertarik dengan buku cetakan pertama dan semacamnya. Tapi kalau piringan hitam original edisi pertama, saya akan mencarinya sepenuh hati. Mirip kolektor, lah.
Anda bukan pengoleksi buku?
Bukan. Tentu repot sekali kalau saya mengumpulkan buku dan piringan hitam (tertawa).
Apakah Anda mulai menerjemahkan lirik lagu karena seringnya mendengarkan lagu barat?
Kalau saya, perlahan-lahan semakin senang bahasa Inggris dengan menyimak lirik, mengingatnya secara asal, dan menerjemahkannya. Memang sekarang saya jadi bisa menerjemahkan, tetapi titik awalnya adalah dengan mengingat di luar kepala seluruh lirik lagu-lagu.
Bagaimana awal lahirnya Murakami RADIO? Apakah melalui editor di penerbit buku-buku Anda?
Awalnya saya ditawari. Saya tidak suka tampil di televisi, tapi kalau di radio saya ingin mencobanya. Saya punya segunung piringan hitam dan CD yang hampir semuanya saya dengarkan sendiri. Membosankan kalau mendengarkan semuanya sendirian di rumah. Saya ingin ada entah siapa yang menemani mendengarkan sembari mengobrol, tapi sulit juga menemukan orang untuk itu. Dahulu saya punya bar jazz, jadi saya sudah terbiasa mendengar lagu bersama orang lain. Misalnya ada tamu datang, saya akan memutar piringan hitam atau menampilkan permainan musik saya sendiri. Sejak barnya tutup, saya tidak pernah lagi melakukannya, padahal tentu menyenangkan kalau ada tempat yang bisa mengakomodasinya. Nah kalau di radio, saya bisa melakukan hal-hal seperti tadi, ‘kan? Kalau saya bisa memutar musik dan membahas hal-hal yang saya suka, saya tak keberatan melakukannya.
Jadi sebelum menjadi novelis, Anda membuka bar jazz ketika masih berkuliah di Universitas Waseda sejak tahun 1974 selama 7 tahun, ‘kan? Lalu, Murakami RADIO ini disiarkan pertama kali pada bulan Agustus 2018.
Sejak awal memang saya sendiri yang memilih piringan hitam yang akan diputar, menyusun program, menentukan tema, dan memutuskan formatnya begini atau begitu. Untuk piringan hitam dan CD, seluruhnya adalah koleksi pribadi saya, saya memutar yang ingin saya mainkan. Anehnya, radio masa kini jarang ada yang punya program seperti itu. Bukan toko serba ada, tetapi lebih mirip selection shop yang memajang barang-barang yang sudah dikurasi oleh pemilik toko, seakan-akan berkata, “inilah selera kurasi kami, silakan mampir kembali apabila berkenan.” Jadi orang yang seleranya berbeda tidak akan masuk; kalau seleranya cocok, silakan datang lagi esok hari. Program radio seperti itulah yang ingin saya buat.
Apakah ada program radio ideal yang Anda bayangkan?
Di Amerika, acara radio Bob Dylan yang memutar lagu-lagu pilihannya sangat populer. Ia mengumpulkan lagu-lagu yang nuansanya anggun. Saya tidak bisa melakukan seperti itu. Terlebih, saya adalah penulis, yang tidak begitu ahli tentang musik dan hanya menyenanginya sebagai hobi saja, jadi saya yang cukup awam ini berusaha menampilkan selera saya. Kalau Bob Dylan, karena ia ahli di ranah permusikan, pilihan lagunya bisa sangat menghujam; tetapi saya tidak. Sebaliknya, saya justru ingin memilih lagu yang ramah pendengar. Sebab kalau saya terlalu memaksakan kehendak-kehendak saya, orang justru akan pergi menjauh.
Dalam rentang waktu dua tahun, sudah ada 15 episode siaran radio.
Sebenarnya saya ingin lebih banyak, tetapi mungkin karena saya sendiri juga sering pergi ke luar negeri, saya jadi tidak bisa melakukan rekaman siaran. Untuk saat ini, karena sedang ada COVID-19, saya tidak bisa pergi, jadi bisa rekaman. Sejujurnya saya ingin siarannya sebulan sekali. Rancangan programnya sudah ada untuk satu atau dua tahun jadi bisa dilakukan sebanyak mungkin. Eksperimen baru untuk siaran radio ini sungguh menarik. Secara umum, menurut saya, siaran radio adalah obrolan satu lawan satu, jadi saya berusaha berbicara dengan menyapa setiap orang dan saya juga bisa mendapat respons dari pendengar. Saya ingin bisa mengobrol secara personal sembari mendengarkan lagu. Di zaman serba internet seperti sekarang, Zoom atau Skype menjadi sangat populer, tetapi saya sangat tidak familiar dengan hal-hal seperti itu.
Saya juga lebih suka piringan hitam sebagai pasokan utama musik saya dibandingkan CD atau streaming, mobil pun saya suka yang manual; pada akhirnya saya kembali ke analog. Maka dari itu, radio adalah hal yang sangat pas. Sesuai dengan selera saya.
Apakah Anda sudah menemukan kembali letak keseruan radio setelah mencoba siaran?
Saya memiliki ketertarikan terhadap cara berkomunikasi dengan musik dan suara, bahkan bagi saya seolah sedang menyusun esai menggunakan suara. Saya tidak piawai berbicara, dan tidak begitu suka bertutur lisan. Tapi bisa bercakap-cakap dengan orang lain lewat mikrofon dan gelombang radio terdengar menarik. Beberapa buku saya yang terbit berisi rangkuman korespondensi antara saya dan pembaca melalui situs web pribadi saya, nah, barangkali radio adalah seperti versi alih media buku tersebut menjadi suara.
Di samping pilihan lagu-lagu unik dari beragam genre mulai dari pop hingga jazz dan klasik; penceritaan Anda yang kaya tema, misalnya terkait tembang dan musikus, serta diselipi humor merupakan daya tarik tersendiri bagi para pendengar.
Tujuan utama saya adalah memutar musik yang tidak diperdengarkan di acara lain. Namun berdasarkan hasil riset pasar, 80% dari pendengar radio mendengarkan dan minta diputarkan lagu J-pop. Karena itu, apapun yang terjadi, lebih dari 80% acara radio akan memutar lagu-lagu J-pop yang sedang tren.Tapi itu ‘kan jadi tidak menarik. Saya mengincar sisa pangsa yang 20% itu (tertawa).
Kalau dilakukan dengan baik, pasti akan tampak hasilnya. Bagi saya yang terpenting adalah menimbulkan kesan mengayomi, misalnya pendengar merasa tenang setelah mendengar cerita saya sembari menikmati lagu-lagu pilihan saya.
Ketika saya SMA, ada seorang kritikus jazz bernama Isono Teruo, yang juga seorang DJ suatu program request lagu melalui telepon di Radio Kansai. Ia selalu memutarkan lagu pop, tapi ketika kadangkala ia memutar lagu jazz, ia akan menjelaskannya dengan sepenuh hati. Saya merasa senang saat mendengar penjelasan tersebut, dan pelan-pelan saya menyukai jazz. Hal-hal seperti itu menjadi sangat penting dalam musik. Kalau penjelasan disampaikan dengan cukup baik—misalnya lagu ini seperti ini, jadi akan lebih bagus kalau dibuat begini karena seperti ini—, begitu lagu diputar, pendengar pun akan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Komunikasi seperti itulah yang penting.
Pada bulan Juni 2019, digelar perekaman program Murakami JAM. Selama acara berlangsung, Anda menjawab dengan penuh semangat pertanyaan dari pendengar sehingga meninggalkan kesan akrab dan dekat.
Sebagian besar respons yang masuk bernada positif. Apabila dibandingkan dengan televisi, jumlah respons untuk radio tidak terlalu banyak, tetapi itu saja sudah sangat mampu memberikan kesan akrab. Banyak request yang meminta agar diputarkan lagu klasik, jadi saya berencana akan menghadirkan senarai pilihan lagu klasik di waktu mendatang. Semacam ‘lagu klasik indah yang dapat didengarkan dalam 5 menit’.
Kadangkala Anda berkisah juga tentang penulisan novel, tentu pembaca Anda tidak boleh melewatkan acara ini.
Saya tidak ingin terlalu sering mempromosikan karya saya, tapi kalau ada pertanyaan yang masuk, saya akan menjawabnya. Saya menjadi penulis pada usia 30 tahun, saya menulis novel sembari mengelola bar; dan dua tahun setelahnya menulis menjadi keahlian saya. Saat itu, saya sudah membulatkan tekad dalam hati bahwa saya tidak akan melakukan hal lain selain menulis prosa. Karena itulah saya tidak muncul di media mana pun, tidak memasang wajah di sampul, tidak mengajar; saya membatasi diri dari aktivitas di luar menulis prosa. Selama 40 tahun hingga usia saya hampir 70 tahun, saya hanya menulis karangan. Lalu begitu usia saya lewat dari 70 tahun, prinsip saya mulai melonggar (tertawa). Itu muncul karena keinginan saya untuk bisa menulis lebih baik sangat kuat sehingga memutuskan untuk tidak melakukan hal lain di luar itu. Saat berada pada suatu titik tertentu di mana saya bisa menuliskan apa yang ingin saya tulis, hati saya mulai terbuka untuk mencoba hal-hal lain.
Sejak dua tahun lalu, diselenggarakan konferensi pers mengenai pembentukan MurakamiLibrarydi Universitas Waseda, kemudian pembukaan pertemuan pembacaan karya. Anda jadi lebih sering tampil di muka publik. Apakah usia menjadi salah satu latar belakangnya?
Usia menjadi salah satu pertimbangan yang besar. Saat ini pun, tentu saja menulis menjadi aktivitas utama saya, tetapi saya merasa senang jika bisa mengobrol dengan orang-orang lewat cara yang berbeda. (*)