Home Book & Stories Recommended Books Pulang—Ketika Wangi Masakan ‘Meruap’ Dari Dalam Novel

Pulang—Ketika Wangi Masakan ‘Meruap’ Dari Dalam Novel

0
Pulang—Ketika Wangi Masakan ‘Meruap’ Dari Dalam Novel

Boleh dikatakan novel adalah bacaan favorit sebagian besar orang. Demikian halnya dengan makanan alias kuliner. Apa jadinya bila kedua hal itu saling bersinggungan atau bahkan melebur dalam plot sebuah novel yang seru? Hal ini terjadi tatkala Anda membaca ‘PULANG’, novel karya Leila S. Chudori, yang memenangkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award sebagai novel terbaik, pada November 2013.

‘PULANG’ saat ini memang tidak lagi dipajang pada etalase toko-toko buku ternama. Namun, kepiawaian Leila ‘meramu’ bab demi bab dalam kisah eksil politik Indonesia di Jakarta dan Paris –yang disertai wangi rempah-rempah khas Indonesia di sana sini, kiranya layak dikomentari. Seolah-olah dengan aneka masakan yang ada di dalamnya, duka lara sang tokoh utama, Dimas Suryo, tidak lagi terasa mengharu biru para pembaca. Indera penciuman pun sudah bekerja sedari awal, karena halaman pertama dibuka dengan ‘suara khas’ pedagang kue putu dan sate kambing di Jalan Sabang, Jakarta.

Elizabeth Gilbert, dalam buku memoarnya yang terkenal, ‘Eat, Pray, Love’ juga memasukkan nama-nama jenis masakan khas Italia dalam bab-bab pertama, ketika ia menjejakkan kaki di Roma. Berbeda dengan Dimas Suryo, Liz –panggilan Elizabeth Gilbert, bukan seorang eksil politik. Ia seorang penulis perempuan asal Amerika Serikat yang sedang dalam perjalanan mencari makna kehidupan, usai berpisah dengan suaminya.

Liz meninggalkan pekerjaan dan orang-orang terkasih di New York, lalu memutuskan untuk sejenak menetap di Italia, India, dan ke Bali. Dalam perjalanan panjang itu, ia belajar bahasa Italia, bertemu dengan orang-orang baru, sekaligus makan kuliner setempat seperti gelato, spaghetti carbonara, juga pizza mozzarella berukuran ekstra. “Aku datang dengan perut kempes dan pinggang tipis, tetapi tiga bulan di Roma perut dan pinggangku menggembung,” kata Liz.  

Dimas Suryo bukan penganut gaya hidup ‘new age’ seperti Liz Gilbert. Puluhan tahun ia hidup di Paris bersama istrinya,Vivienne serta Lintang Utara, putri tunggal mereka. Ia mengelola Restoran Tanah Air di kota itu, bersama tiga sahabatnya sesama aktivis politik eksil. Dalam kegelisahan dan penantian panjang untuk bisa pulang, Dimas seringkali berdebat panjang dengan Vivienne soal masa lalunya.

Di tengah-tengah itu semua, selalu dikisahkan Dimas merajang daun bawang bersama potongan ayam, ikan salmon atau daging rendang. Jika ada tamu istimewa yang datang ke restoran, ia akan memasak nasi kuning lengkap dan gulai ikan patin. Oh, novel ini sungguh saat ‘Indonesia’ dalam lanskap kota Paris yang sebetulnya juga memiliki tradisi panjang dalam dunia kuliner.

“Kunyit adalah bumbu yang diperebutkan semua pihak. Ini adalah penyedap segala masakan dan penyembuh segala penyakit. Kunyit adalah mahkota segala bumbu. Jangan sekali-kali kau pertanyakan lagi gunanya,” kata Dimas Suryo.

Rasanya tidak banyak novel-novel yang memasukkan unsur kuliner sebagai bagian dari plot. Memoar Liz Gilbert menempatkan makanan sebagai bagian dari perjalanannya di Italia, sesuatu yang menurut Liz membuatnya bahagia karena bisa makan enak dan kenyang tanpa takut gemuk –layaknya para perempuan karir di New York. Namun Liz bukan orang yang gemar makan dan memasak. Sementara Dimas Suryo menjadikan kepandaiannya memasak untuk mencari nafkah agar mampu bertahan di Paris, sekaligus menumpahkan kerinduan pada tanah kelahiran yang enggan menerimanya kembali.

Beberapa yang banyak menuliskan buku umumnya adalah mereka yang bergerak di bidang media, seperti Hilbram Dunar dan Indra Herlambang, atau Fira Basuki yang pernah menulis novel adaptasi dari naskah film ‘Brownies’ karya Hanung Bramantyo.

Kita juga punya novelis seperti Seno Gumira Ajidarma yang bercerita ihwal kehidupan malam di Jakarta dengan meyakinkan, lengkap dengan jenis-jenis parfum perempuan, meskipun dia bukan ahli parfum. Tetapi saya belum menemukan sosok juru masak yang piawai menuliskan novel ‘berbalut’ kuliner. Jadi, untuk sementara waktu terpaksa lah pujian masih saya tujukan untuk Leila S. Chudori dan ‘PULANG’.


Peresensi: Wella Madjid

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here