
Alice Munro adalah seorang penulis cerita pendek asal Ontario, Kanada yang sangat dihormati dan karyanya sangat digemari. Dia termasuk penulis yang sangat prolifik dengan reputasi tinggi. Pada bulan Oktober 2013, ia menerima Penghargaan Nobel Sastra.
Dalam wawancara yang pernah dilakukan The Paris Review ia menceritakan sedikit dunia kecilnya—proses kreatif yang ia tekuni.Berbeda dengan banyak penulis pemula hari ini yang gemar menunjukkan karyanya sebelum selesai—tentu dengan banyak motifnya, Alice adalah tipe yang berbeda. “Saya tidak pernah menunjukkan karya yang masih dalam tahap penyelesaian kepada siapapun.” Katanya.
Ia sebagaimna penulis lain memilki jadwal menulis yang unik, tapi pada intinya ia mengatakan bahwa semua penulis bagus pada dasarnya adalah pekerja keras dan menulis bukanlah pekerjaan sambil lalu—bagaimana pun tampaknya.
“Ketika anak-anak saya masih kecil, saya selalu menyempatkan menulis setelah mereka berangkat sekolah. Bisa dibilang saya bekerja sangat giat di masa tersebut. Suami saya dan saya memiliki sebuah toko buku, dan bahkan jika giliran saya tiba untuk jaga toko, saya takkan berangkat dari rumah sampai pukul dua belas siang. Seharusnya saya membereskan rumah, tapi saya justru banyak menghabiskan waktu menulis. Beberapa tahun kemudian, saat saya tidak lagi bekerja di toko buku, saya akan menulis sampai keluarga pulang untuk makan siang, dan disambung lagi saat mereka keluar rumah sehabis makan siang—sampai sekitar pukul 2.30 siang. Setelah itu saya akan minum secangkir kopi dan membereskan rumah sebelum anak-anak dan suami saya pulang. Sekarang saya menulis setiap pagi, tujuh hari seminggu. Saya mulai menulis pukul 8 dan selesai pada pukul 11. Setelah itu saya akan melakukan hal lain selama seharian penuh. Kecuali saya sedang menyelesaikan draft terakhir sebuah cerita atau saya sangat terdorong untuk menulis sesuatu—pada saat itu saya akan bekerja seharian, dengan sedikit sekali waktu istirahat.” Ungkap Alice pada pada sesi INTERVIEW denganThe Paris Review.
Dalam menulis ia mengaku tak pernah pasti memiliki plot yang telah ia sengaja siapkan sejak baru menggarap kerangka menulis. “Bagi saya cerita yang baik selalu mengalami perubahan saat masih dalam proses penulisan.” Ujarnya.
Ia juga menceritakan bahwa penulis cerita yang baik biasanya memiliki buku catatan untuk menulis ide-ide yang seliweran dalam kesehariannya.
“Saya punya banyak sekali buku catatan berisi tulisan yang semrawut. Saya tidak perduli apa yang saya tulis di dalamnya, karena intinya saya hanya ingin menulis bebas. Saya bukan penulis yang bisa menulis kilat dan menyelesaikan sebuah cerita hanya dengan satu draft saja. Biasanya saya akan melintasi jalur yang salah, sebelum akhirnya saya harus kembali ke titik awal dan memulai perjalanan cerita itu kembali.”
Terkadang penulis bisa menulis seharian penuh dan menyelesaikan karangannya. Tapi terkadang pula ia menjadi bosan, muak dan melupakan obsesinya dengan sangat putus asa. Alice pun demikian. Ia menakar dalam satu kebiasaan yang barangkali dialami banyak penulis lain.
“Sistem ukur saya adalah: jika saya merasa enggan mendekati cerita yang sedang saya tulis, atau jika saya harus memberikan dorongan ekstra pada diri saya sendiri untuk melanjutkan cerita tersebut, maka pasti ada yang salah dengan cerita itu. Biasanya setelah menuliskan tiga-perempat isi cerita, saya tiba pada titik di mana saya merasa cerita yang sedang saya tulis lebih baik ditelantarkan.” Kisahnya. “Kalau sudah begitu saya pasti rewel selama satu, dua hari.”
Dalamkondisikebuntuansemacamitu, iabiasanyaakanakanmelompatuntuk memikirkan hal lain, cerita lain yang ingin ia tulis.
“Antara saya dan proses menulis ada hubungan yang tidak jauh berbeda dengan percintaan. Mengenali potensi cerita itu sama dengan mengenali potensi pasangan. Terkadang kita menghabiskan banyak waktu dengan orang yang tidak begitu kita sukai dan akhirnya mendulang kekecewaan dan kesedihan—tapi kita tak sadar di mana kesalahan kita.”
PercayaDiri
Sebagai pengarang perempuan Alice memiliki kepercayaan diri dalam dirinya ketika menulis. Walau kepercayaan diri itu tak lepas dari residu kultur lingkungansekelilingnya.
Seperti penulis perempuan di negera-negara lain, ia pun kerap merasa khwatir kepercayaan dirinya tidak pada tempatnya mengingat budaya hidupyang kental oleh sistempatriarki dan bahwa kelangan kelas menangah ke bawah jarang memiliki kebebasan keratif yang dibutuhkan untuk menjadi penulis bagus.
“Bila kita tahu kita bisa menulis dengan baik di tengah lingkungan di mana orang-orangnya bahkan merasa kesulitan membaca, tentu saja kita berpikir bahwa bakat yang kita miliki sangatlah spesial.” Ujarnya. (*)
| by Sabiq Carebesth via The Paris Review