

Puisi
(Terj) Puisi-Pusi David Lehman
Puisi-Puisi David Lehman | Diterjemahkan oleh A. Nabil Wibisana *)
Seksisme
Momen terindah dalam hidup seorang perempuan
Adalah ketika ia mendengar suara suaminya
Memutar kunci pintu, sementara ia pura-pura terlelap
Saat lelaki itu memasuki ruangan—diam-diam
Tapi ceroboh, sehingga menabrak barang-barang—
Ia bisa mencium bau alkohol dari napas si lelaki
Tapi ia memaafkannya karena senang lelaki itu kembali
Dan ia tidak harus tidur sendiri.
Momen terindah dalam hidup seorang lelaki
Adalah ketika ia bangkit dari ranjang
Seorang perempuan—setelah satu jam tidur bersama,
Sehabis bercinta begitu rupa—dan memakai
Celana panjangnya, kemudian berjalan keluar
Dan kencing di semak-semak, sambil melihat
Langit bulan Agustus yang penuh bintang
Lalu masuk ke mobilnya dan beranjak pulang.
*) Dari Valentine Place (Scribner, 1996), dipublikasikan ulang di laman Academy of American Poets.
Ketika Perempuan Mencintai Lelaki
Ketika perempuan itu berkata margarita, yang ia maksud ialah daiquiri.
Ketika ia bilang majenun, yang ia maksud ialah temperamen.
Dan ketika ia berujar, “Aku tak akan pernah bicara denganmu lagi,”
yang ia maksud sebenarnya, “Peluk aku dari belakang
saat aku berdiri merana di depan jendela.”
Lelaki itu seharusnya paham.
Ketika lelaki mencintai perempuan, ia di New York dan perempuan itu di Virginia
atau ia membaca di Boston dan si perempuan menulis di New York,
atau perempuan itu memakai sweter dan kacamata hitam di Taman Balboa
sedangkan ia sibuk menyapu daun-daun di Ithaca
atau ia menyetir mobil ke East Hampton dan perempuan itu berdiri getir
di depan jendela yang menghadap ke arah teluk,
di mana perahu layar warna-warni meluncur dengan tenang
sementara ia terjebak kemacetan di jalur cepat Long Island.
Ketika perempuan mencintai lelaki, pada pukul satu dini hari
ia terlelap dan lelaki itu menatap skor bola di televisi
makan setumpuk pretzel dan minum segelas limun
dan dua jam kemudian si lelaki bangkit dan terhuyung-huyung ke ranjang,
di mana ia masih terbaring pulas dengan tubuh sehangat wol.
Ketika perempuan itu berkata besok, yang ia maksud ialah tiga atau empat minggu.
Ketika ia berujar, “Kita sedang membahas diriku sekarang,”
lelaki itu berhenti mengoceh. Sahabatnya berkunjung dan bertanya,
“Apa ada seseorang yang mati?”
Ketika perempuan mencintai lelaki, mereka pergi
berenang telanjang di satu sungai kecil
pada suatu hari cemerlang di bulan Juli
bahana air terjun bagaikan gelak
air deras di batu-batu halus,
dan tak ada apa pun yang asing dalam semesta itu.
Apel masak jatuh di sekitar mereka.
Apa lagi yang bisa dilakukan selain memakannya?
Ketika lelaki itu bersaksi, “Era kita adalah masa peralihan.”
“Pikiranmu memang tak bisa ditebak,” sahut si perempuan,
kering seperti martini yang ia sesap.
Mereka bertengkar sepanjang waktu
Cekcok yang kocak
Memang aku berutang apa?
Mulailah dengan permintaan maaf
Baiklah, maafkan aku, berengsek.
Sebuah tanda terangkat, mempertontonkan “Tawa.”
Sebuah gambar bisu.
“Aku begitu kacau tanpa ciuman,” kata si perempuan,
“dan kau boleh percaya seratus persen,”
yang terdengar keren dalam aksen orang Inggris.
Dalam setahun mereka putus tujuh kali
dan mengancam akan berpisah sembilan kali lagi.
Ketika perempuan mencintai lelaki, ia meminta lelaki itu menjemputnya
di satu bandara di negara asing, mengendarai jip pula.
Ketika lelaki mencintai perempuan, ia benar-benar berada di sana.
Ia tak mengeluh meski perempuan itu terlambat dua jam
dan tak ada makanan sedikit pun di lemari es.
Ketika perempuan mencintai lelaki, ia ingin tetap terjaga
sepanjang malam, menangis layaknya bocah kecil
karena ia sungguh-sungguh tak ingin hari itu berakhir.
Ketika lelaki mencintai perempuan, ia mengawasi perempuan itu tidur,
seraya berpikir: tengah malam bagi bulan adalah tidur bagi kekasih.
Seribu kunang-kunang berkedip padanya.
Suara kawanan katak bagaikan kuartet gesek
dalam sebuah geladi orkestra.
Bintang-bintang berjuntai serupa anting-anting anggur.
*) Dari Columbia: Journal of Literature and Art (1996), dipublikasikan ulang di laman Academy of American Poets.
Perintah Kesepuluh
Perempuan itu berkata ya, ia mau pergi ke Australia bersamanya
Kecuali si lelaki salah dengar dan perempuan itu berkata Argentina
Di mana mereka bisa belajar Tango dan memburu janda-janda
Penjahat perang Nazi yang tidak sudi bertobat sampai akhir.
Tapi tidak, perempuan itu meyebut Australia. Ia lahir di Selandia Baru.
Perbedaan antara dua wilayah itu sama dengan perbedaan antara
Setangkup hamburger dan segelas malt cokelat, ujarnya.
Di toko permen di seberang gedung sekolah dasar,
Mereka merencanakan kencan. Perempuan itu melafalkan Australia,
Yang artinya ia bersedia diajak bercinta, dan semua peristiwa itu terjadi
Sebelum suaminya kena serangan jantung koroner, pada masa ketika
Seorang perempuan tak akan melepas celana dalamnya
kecuali untuk orang yang ia sukai. Perempuan itu berkata
Australia, lantas si lelaki melihat koleksi kerang musim panas
Tahun lalu dalam sebuah kantong plastik di ruangan kotor
Yang dipenuhi lumpur pasir. Siklus tawanan seksual
Dimulai dari romansa dan berakhir dengan perzinahan
Apakah era kiwari merupakan fase paruh akhir, cara Amerika
Meluncur dari barbarisme ke amnesia tanpa diselingi
Periode keruntuhan moral dahsyat, yang mestinya bermakna
Sesuatu, tapi apa? Rakit di tengah jeram? Pemain biola
Di depan gerbang? Oh, absolutisme adalah hukum biologi.
Untuk seminar pornografi, busana apa yang mesti perempuan itu pakai?
*) Dari Valentine Place (Scribner, 1996), dipublikasikan ulang di laman American Poems.
Dua Puluh Pertanyaan
Mengapa ngengat terbang menuju nyala api? Apa sama dengan alasan
Mengapa Achilles mati muda? Siapa yang memperoleh lebih banyak kenikmatan
Dari seks, lelaki atau perempuan? (Jelaskan bagaimana kau bisa tahu pasti.)
Mana yang lebih nyata bagimu, surga atau neraka?
Mengapa para pendosa hidup sejahtera? Apa penyebab kematian cinta—
Atau cinta akan kematian? Apa Adam dan Eva punya pilihan?
Apa Perawan Maria punya pilihan? Apa yang kita takutkan sebenarnya?
Bahkan kaum agnostik punya hak untuk berkata terima kasih tuhan, bukan?
Menatap atom-atom itu menari, mestikah aku bersaksi aku melihat cincin
Cahaya murni yang tak berujung? Atau aku hanya memimpikan semuanya?
Siapa yang harus kupanggil? Apa kau akan ikut jika orang itu adalah istrimu?
Apa kau bersedia pindah? Apa kau menyukai hidupmu?
Apa yang membedakan malam ini dengan malam-malam lain?
Apa kau akan berkata bahwa memang sudah nasibmu untuk selalu,
Tanpa kecuali, terlambat lima menit? Jika kau tiba
Pada pukul 9:10, acara ternyata dimulai pukul 9:05
Padahal jelas-jelas dijadwalkan pukul 9:15? Saat kau melintasi
Lorong, dan orang-orang memaku perhatian mereka padamu,
Apa kau bertanya pada diri sendiri apa yang akan kaulakukan,
Seolah-olah semua itu penting, seolah-olah kau memang paham?
*) Dari An Alternative to Speech (Princeton University Press, 1986), dipublikasikan kembali di laman Poetry Foundation.
Film Prancis
Aku hanyut dalam sebuah film Prancis
dan hanya punya sembilan jam sisa hidup
dan aku tahu benar
bukan karena aku berencana mencabut nyawaku
atau menelan racun mematikan yang bekerja lambat,
jenis ramuan yang biasa ditujukan untuk para juri
dalam persidangan pembunuhan oleh mafia,
aku pun tak berharap akan dihabisi
seperti pakar kimia yang keliru
ditarget sebagai seorang penting di Milan
atau jurnalis Yahudi yang diculik di Pakistan;
tidak, tidak satu pun; tak ada dasar untuk
curiga, tak ada plot pembunuhan
atas diriku, dengan pesan telepon rahasia
dan petunjuk semacam syal atau lipstik
yang tertinggal di kursi depan sebuah mobil;
tapi aku tahu aku akan mati
di ujung hari itu
aku tahu, dengan kepastian paripurna,
sewaktu aku melintas di jalan itu
dan mata kami bersirobok
saat perempuan itu melangkah ke arahku,
aku tahu belaka bahwa ia pun tahu,
dan meski kami belum pernah bertemu sebelumnya,
aku tahu ia akan menghabiskan sisa hari itu
bersamaku, sembilan jam berjalan bersisian,
bertualang, pergi ke toko buku di Roma,
merokok Gitane, berjalan dan
terus berjalan di London, naik kereta
ke Oxford dari Paddington atau ke Cambridge
dari Liverpool, lantas berjalan
di sepanjang tepi sungai dan melewati jembatan,
berjalan dan berbincang, sampai jatah sembilan jam
habis dan film hitam-putih itu
berakhir dengan satu kata TAMAT,
dalam huruf kapital putih di layar hitam pekat.
*) Dari Yeshiva Boys (Scribner, 2009), dipublikasikan ulang di laman Academy of American Poets.
_____________________
TENTANG PENYAIR
David Lehman adalah penyair, editor, dan kritikus sastra terpandang. Lahir di New York tahun 1948, ia meraih PhD dari Universitas Columbia. Menulis sejumlah buku puisi, di antaranya New and Selected Poems (Scribner, 2013), Yeshiva Boys (Scribner, 2009), When a Woman Loves a Man (Scribner, 2005), The Daily Mirror: A Journal in Poetry (Scribner, 2000), Valentine Place (Scribner, 1996), dan An Alternative to Speech (Princeton University Press, 1986). Editor buku antologi penting The Oxford Book of American Poetry (Oxford University Press, 2006) dan editor seri antologi tahunan The Best American Poetry sejak 1988 sampai sekarang. Ia menerima berbagai penghargaan dari beberapa lembaga terkemuka, di antaranya National Endowment for the Arts, Guggenheim Foundation, Academy of Arts and Letters, dan Lila Wallace-Reader’s Digest Writer’s Award.
TENTANG PENERJEMAH
Nabil Wibisana bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kupang – NTT. Menulis puisi dan esai yang telah dipublikasikan di berbagai media massa. Penerjemah lepas, dengan minat khusus pada penerjemahan prosa dan puisi Amerika kontemporer.
Puisi
Sajak Sajak Angga Wijaya

Lidah Dimana-mana
Langit sampaikan pesan, seakan berkata
“Aku meniup nyawa, menumbuhkan lidah
di tubuh, bukan semata hanya percuma.
Lidah untuk berkata yang baik, bukan untuk
bergunjing, bak cerita sinetron menjelma
racun pagi hingga malam hari”
Namun terjadi sebaliknya; dimana-mana,
orang kerap gunakan lidah untuk hal buruk.
Gemar bicara tak benar, kaum munafik di
kitab suci yang hanya jadi sesembahan.
Jangan terlalu berharap pada gerombolan,
mereka membunuh kita dengan kata pedas.
Mata yang berbinar seiring percakapan yang
makin panas. Seperti dalam film, kumpulan
makhluk malas tak berguna. Ada yang
kurang jika tak membicarakan orang lain.
Seakan mereka paling utama dan sempurna
Kuman di seberang lautan tampak begitu jelas
Lidah menjulur dari segala tempat; layar ponsel
pintar, pintu, jendela bahkan dari lubang kemaluan
manusia itu. Hingga pada suatu waktu, di alam
setelah kematian, lidah mereka terbagi menjadi
potongan kecil, tumbuh di sekujur tubuh yang
terpanggang api abadi neraka. Cerita itu
kudengar berkali-kali beberapa hari ini.
2020
Penyair Melihat Hujan
Dari kamar lantai dua kontrakan, penyair itu melihat hujan
Suara air jatuh di atap rumah sebelah yang baru dibangun
Ia kehilangan langit tempat awan berarak, sumber inspirasi
ketika ia menulis puisi. Kini di depannya hanya hamparan
tembok. Tapi tak apa, semua akan menjadi biasa oleh hal itu
Hujan ternyata tak lama, hanya mampir sebentar basahi malam
yang amat gerah.Istrinya tertidur pulas, setelah seharian bekerja
di toko bangunan sebagai tenaga administrasi. Kucing tak tampak
di kamar, mereka beranjak setelah mendapat makanan.Pergi malam
hari dan kembali di pagi hari sesuka hati bagai raja di istana.
Penyair itu belum juga tertidur, ia bahagia kini bisa bekerja lagi.
Kemarin kawan di ibu kota menelponnya, ia ditawari menjadi
Wartawan budaya. Istri juga ikut senang, setidaknya
bebannya berkurang karena kini ada pemasukan baru
Tak risau ketika melihat saldo tabungan terus berkurang
Terlalu bahagia juga tak baik, sebab itu bisa membuat senyawa
dalam otak tak seimbang. Penyair itu ingin meminum obat tidur,
tapi ia menundanya. Biarlah malam ini ia merayakan kebahagiaan
dengan duduk di beranda memandangi sisa hujan dan udara dingin
Ia bersyukur telah diberi ruang untuk menjadi dirinya. Sudah enam
buku ia tulis dalam dua tahun ini. Tak pernah terpikir sebelumnya,
kini ia menjadi penulis. Mencintai hidup dengan segala upaya,
seperti hujan selalu tepat janji, datang saat amat dirindukan.
2020
Beranda Rumah Sakit Jiwa
Bisa keluar ruangan bangsal begitu
membahagiakan. Bagai raja sehari,
duduk menonton berita di televisi.
Tapi hati-hati, benda itu bisa bicara
Bercakap-cakap dengan kegilaan
Mengajakmu berbincang berdua
Pengatur saluran terus kau ganti
Perawat tersenyum lalu melarang
Mengajakmu kembali ke bangsal
“Coba ramal saya, kamu indigo?
kudengar kabar tentang dirimu
akhir-akhir ini saya sering lelah”
Aku menjawab dengan tuntas
Di matanya kulihat rasa cemas
Kebosanan jelang menopause
Kami berpisah saat senja tiba
Berbisik ia pada teman sejawat
Tepat saat pintu terali dibuka
“Skizofrenia Paranoid. Kasihan.
Kudengar ia mahasiswa pintar,
ditinggal kekasih amat dicinta”
Aku tersenyum mendengarnya
Batas kewarasan sangat tipis
Tak ada cermin untuk berkaca
2020
Belajar Bercinta
Sepasang anak muda itu hidup bersama. Berbagi banyak hal;
cinta, uang, air mata. Pelaminan selalu dinanti, tapi apa daya
kantong lebih sering kosong. Biaya hidup mesti dipenuhi;
kontrakan, listrik, air, pulsa juga kuota internet untuk bekerja
dan hiburan pelepas lelah selepas rutinitas.
Jangan kalian pikir ini hanya soal asmara atau hubungan ranjang.
Mereka telah lama beranjak dari hal itu. Cinta tak hanya seks,
ia lebih agung dari naluri rendah ini. Bisa jadi, mereka telah lama
belajar bercinta. Tahun-tahun awal kamar menjadi saksi percintaan
di ujung senja yang muram.
Pertengkaran beberapa kali menghiasi hari dalam babak hidup
membara,waktu demi waktu. Ada saatnya mereka bersedih
kehilangan seekor kucing, ada kala tawa penuhi ruang hati tak
sepi oleh kesunyian. Cinta menjadi dasar rumah jiwa yang
merdeka. Aku adalah saksi apa yang mereka alami.
2020
___
I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak SMA saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Buku kumpulan puisi terbarunya, Tidur di Hari Minggu (2020). Selain penulis,sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan di Denpasar.
.
COFFEESOPHIA
Tak Ada Sajak di Kafe-Kafe

I

(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
ISBN 978-623-93949-0-5
____
Puisi Sabiq Carebesth dalam buku ini menggunakan banyak kata yang berfungsi menebar berbagai asosiasi.Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat—Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi—dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
-Afrizal Malna, Penyair.
__
Buku ini bisa dipesan via kontak whatsapp 082111450777 atau tokopedia bookcoffeeandmore
Rp. 100.000
Aku tak menulis sajak untuk pembaca
Mereka mudah murka dan kecewa
Sajak-sajakku bukan pelipur lara
Aku menulis sajak untuk angin
Mereka hening dan luas.
Di sana
Sajak-sajakku bisa rebah istirah
Sebab kerap
Ia lelah menempuh jalan panjang
Melewati tiap hampa dan sia-sia;
Ia rapuh dan lambat
Tapi senantiasa mencari puncak;
Di sana hanya hening
Di sana hanya kekosongan;
Selalu hanya sejenak
Tapi sajakku memahami
Terjalnya jalan kembali ke mula
Ingatan dari mana ia lahir
Merepih jalan memuncak.
II
Aku pernah mengira sajakku terbuat dari waktu
Mengira tersusun dari sore yang menderita
Dengan bunyi senja yang beringsut pada gelap
Dangan tatakan dari kayu di mana jiwa dibelah;
Sementara kuncup bunga tetap mekar tak iba—
pada sajakku.
Tapi sajakku tak dibuat untuk pembaca
Sajakku memang bukan sajak
Ia hanya sajak—memenuhi takdirnya
Untuk memapah jiwa-jiwa
Keluar dari sekam hampa
Agar senantiasa berdetak
Meski dengan suara jauh
Meski dengan kebisuan serigala
Serupa kepak rajawali di pucuk langit
Atau suara kesunyian tempat ibadah
Yang ditinggalkan hasrat para penyembah
Karena kematian yang tak memberi aba
III
Sajakku
Sajak-sajak rapuh
Yang tak sanggup bertahan
Untuk sampai pada pembacanya
Ia lahir lalu mendaki
Kembali pada sepi sebelum sempat
Duduk di antara pengunjung kafe
Yang tak pernah sempat menuntaskan
Menulis sajak tentang sajak-sajak
Tapi kini tak ada sajak di kafe-kafe
Sebab di luar hujan membadai
Orang-orang berlindung dalam kaca
Senantiasa sia-sia dan mengulanginya
Mereka membayar gairah
Dengan cinta yang ditambatkan sejenak
dan terburu;
Tak sempat bercumbu
Sibuk mengulur waktu
Seolah waktu segera habis
Dan kebisuan pun tak sempat memakna
IV
Aku menulis sajakku di kafe
Tapi sajakku bukan sajak
Sajakku tidak ditulis
Untuk dibaca para pembaca
Aku menulis sajak di kafe
Tapi tak ada sajak di kafe-kafe
Dan kau menunggu akhir sajakku?
Aku tidak menulis sajak untukmu
Aku telah menghapus dendam sukmaku
Sebelum sempat menjadi sajak
Maka sajakku tak punya kekuatan
Untuk meledak dan menulis sejarah
Waktu selalu lekas
Tapi sajak-sajak tidak
Sebab ia kedinginan
Seperti rumah yang ditinggalkan
Seperti pendaki di ujung petang
Ia hanya ingin istirah
Atau pohon-pohon kepurbaan akan menelannya
Hilang dalam gerbang sepi
Membeku bersama dingin
yang tak mungkin dipahaminya.
V
Kenapa sajak-sajak harus ditulis untuk pembaca?
Sajakku tak kutulis untuk pembaca!
Aku tak ingin sajakku dibaca
Sajakku bukan sajak
Aku ingin sajakku dibentangkan
Dalam sukma sehingga jiwamu membahana
Atau biarkan sajakku
Menjadi lumut pepohonan
Yang mewarnai jiwa
Menjadi selimut bagi tubuh waktu
Dan ketika para serigala menjadi sepi
Sajakku menjulang mengabarkan nyanyian
Agar sang rajawali kembali
Menemui kekasihnya yang tersesat
Di antara belantara kesepian
Di antara pepohonan purba
Dan para pendaki masih mencari
Nyanyian bagi jiwanya yang duka
Maka kutulis sajakku
Untuk menjadi kabut
Selimut bagi jiwa yang beku
Agar penantiannya menumbuhkan dedaunan rindu
Yang berguguran di hutan-hutan waktu
Menjadi api bagi peziarah puncak
Dengannya kehangatan menyerta
Peziarah tiba di puncaknya
Dan sajakku merayakan kenangannya
Sendirian..
VI
Sementara di kafe aku memesan kopi
Sambil melihat matahari berwarna putih
Aku tak juga mendapati sajak-sajak
Tak mendapati dedaunan dan peziarah
Tidak serigala kedinginan
Tidak juga rajawali yang kesepian
Kekasihku pun tak ada
Aku mencari sajak-sajakku
Tak ada yang membacakannya
Di kafe hanya pendusta
Yang membual tentang mimpi
Menebus hasrat dengan cinta
Yang sebentar dan tak berbalas
Masing-masing menjauh dari jiwanya
Kehilangan sajak-sajak milik jiwanya
Dan sajakku tak kunjung berhenti
Bernyayi ria dalam tarian kalbuku
Ia ingin berkisah tapi aku mulai lelah
VII
Aku harus pulang
Membawakan sisa sajakku
Anak gadisku telah menunggu
Di ranjang dengan ribuan malaikat
Menantiku membacakan sajak-sajakku
Di rumah kubacakan sajakku
Untuknya entah ratusan malaikat:
“Tak ada sajak di kafe-kafe
Pergilah pada jauh
Mendakilah pada hasrat
Sebab cinta membawa para ksatria
Pergi berperang sebagai martir
Untuk menaklukkan kesepiannya sendiri
Maka jadikan tanganmu perisai
Dan hatimu martir.”
___
Sabiq Carebesth, 2019
Puisi
Samsara Duka


(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat–ekspresionis. Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi— dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
____
Afrizal Malna, dalam pengantar untuk buku Samsara Duka
Kirab malam dengan panji-panji hitam di malam larut; hujan dengan lolongan serigala berusia berabad yang terkutuk oleh nasibnya sendiri—sebagai penjaga gerbang sunyi antara malam dan larut; onggokan jiwanya telah melihat cahaya dan mentari terindah yang tak mungkin lagi jadi bagiannya. Ia telah tahu ke mana kembara—hanya berujung laut mati bagi matanya: ia telah tahu kemana kelana hanya memperpanjang usia dukanya—tetapi tinggal tiada siapa datang—tidak duka tidak cintanya yang lalu, waktu telah memasungnya sebagai tugu kesunyian di kota dengan lampu-lampu warna rembulan atau di antara dinding-dinding kafe dan galak tawa muram dari jiwa-jiwa yang diburu ingatan pada luka dan kepalsuan . O hendak bagaimana ia tuju lautan dalam jiwanya? Embun dan kabut, terik dan sunyi tak menjelmakan apa-apa; sungai-sungai kering, danau-danau bisu, dan gunung-gunung hanya lintasan beku—sedang malam penuh rembulan; dan tak satu lagu pun dapat dikenang. Jiwanya akan mati sebagai penjaga malam dengan lolongan timur dan barat yang gemanya menari-narikan angin, dan pohon-pohon purba sama birunya dengan lumut-lumut waktu yang tak lagi bisa ditakar; seperti usia kerinduan yang telah jadi abadi dalam kefanaan saban hari; begitulah akhir cerita semua cinta sejati; membenam dalam kepurbaan, menjadi langit dan gemintang; menjadi perjalanan dan duka cinta, genangan kenangan tentang ranum bibir belia, atau pipi merah jambu yang terbakar terik mentari pertama di laut timur, atau payudara yang bercahaya; atau botol-botol bir di redup hotel-hotel, jendela kereta yang membekukan gerak dan batin, tempat-tempat dan kesunyian yang tak sempat dikunjungi atau apa saja dalam segala rupa samsara—yang tak mungkin dimiliki kecuali dukanya; atau segala rupa panji-panji hitam waktu yang tak mungkin diulang kembali; sebagai gelak tawa atau percumbuan penuh duka—yang mengantar pecinta ke puncak kekosongan. (*)
Jakarta, 28 April 2020
Sabiq Carebesth
___
*) Buku sajak ini akan diterbitan Galeri Buku Jakarta pada pekan ke 4 Agustus 2020. Untuk info pemesanan silakan kontak whatsapp +62 813-1684-2110 (Book Coffee and More )