Classic Poetry
Sajak Sajak Sir Allamah Muhammad Allama Iqbal

Harapan Kepada Pemuda
Aku harapkan pemuda inilah yang akan sanggup
membangunkan zaman yang baru
memperbaru kekuatan iman
menjalankan pelita hidayat
menyebarkan ajaran khatamul-anbiya’
menancapkan di tengah medan pokok ajaran Ibrahim
Api ini akan hidup kembali dan membakar
jangan mengeluh jua , hai orang yang mengadu
Jangan putus asa , melihat lengang kebunmu
Cahaya pagi telah terhampar bersih
Dan kembang-kembang telah menyebar harum narwastu
Khilafatul-Ard akan diserahkan kembali ke tanganmu
Bersedialah dari sekarang
Tegaklah untuk menetapkan engkau ada
Denganmulah Nur Tauhid akan disempurnakan kembali
Engkaulah minyak atar itu , meskipun masih tersimpan dalam
kuntum yang akan mekar
Tegaklah, dan pikullah amanat ini atas pundakmu
Hembuslah panas nafasmu di atas kebun ini
Agar harum-harum narwastu meliputi segala
Dan janganlah dipilih hidup ini bagai nyanyian ombak
hanya berbunyi ketika terhempas di pantai
Tetapi jadilah kamu air-bah , mengubah dunia dengan amalmu
Kipaskan sayap mu di seluruh ufuk
Sinarilah zaman dengan nur imanmu
Kirimkan cahaya dengan kuat yakinmu
Patrikan segala dengan nama Muhammad
Nasehat Elang Pada Anaknya
Kau tahu bahwa semua elang hanya pantas bagi sesama elang:
Dengan segenggam sayap, masing-masing memiliki hati singa.
Harus berani dan hormat diri, sergaplah mangsa yang besar saja.
Jangan bersibuk dengan ayam hutan, burung meliwis dan pipit
Kecuali jika kauingin melatih kepandaianmu memburu.
Adalah hina, pengecut, tanpa berusaha mengeram
Membersihkan paruh kotor dengan mengambil makanan dari tanah.
Elang tolol yang meniru cara hidup burung pipit yang pemalu
Akan menjumpai nasib malang sebab ialah yang menjadi mangsa buruannya
Kutahu banyak elang yang jatuh dalam debu di mata mangsanya
Oleh karena mereka memilih jalan hidup burung pemakan gandum.
Peliharalah martabatmu hingga hidupmu bahagia
Selalulah geram, keras, berani dan kuat dalam perjuangan hidup.
Biarlah ayam hutan yang malang punya tubuh indah dan langsing
Bangunlah dirimu kokoh seteguh tanduk rusa jantan.
Apa pun kesenangan yang berasal dari kehidupan fana di sini
Datang dari hidup yang penuh keberanian, kegiatan dan kecermatan.
Nasehat berharga yang telah diberikan elang pada anaknya:
Jadikan tetesan darah kemilaumu berkilat-kilat bagaikan manikam.
Jangan kehilangan diri dalam penggembalaan seperti domba dan kerbau
Jadilah dirimu seperti nenek-moyangmu semenjak dulu.
Kuingat dengan baik betapa orangtuaku senantiasa menasehatiku begitu.
“Jangan bangun sarangmu di dahan pohon, “ ujar mereka.
“Kita para elang tak mencari perlindungan di taman dan ladang manusia.
Surga kita di puncak-puncak gunung, gurun luas dan tebing jurang.
Bagi kita haram menjemput bulir-bulir jelai dari tanah
Sebab Tuhan telah memberi kita ruang lebih tinggi yang tak terbatas.
Penduduk kelahiran angkasa yang berdiam di bumi
Di mataku lebih buruk dari burung kelahiran bumi.
Bagi elang ladang buruannya adalah karang dan batu jurang
Karang baginya adalah batu gosok untuk mempertajam cakar-cakarnya.
Kau adalah salah seorang anak kebuasan yang bermata dingin
Keturunan paling murni dari burung garuda.
Jika seekor elang muda ditantang oleh seekor harimau
Tanpa mengenal takut ia akan membelalakkan matanya.
Terbangmu pasti dan megah seperti terbang malaikat
Dalam nadimu mengalir darah raja purba puncak-puncak gunung
Di bawah kolong langit yang luas ini, kau tinggal
Martabatmu terangkat oleh kekuatan, sasaran apa pun tak ditampik oleh matamu
Kau tak boleh meminta makanan dari tangan orang lain kapan pun saja.
Baik-baiklah kau membawa diri dan dengarkan selalu nasehat yang baik dan luhur
Cinta Abadi
Cinta itu abadi dan ke dalam keabadian ia pergi
Jika hari pembalasan tiba
Orang berduyun ingin jadi pemburu cinta
Sebab tanpa cinta ia akan terhina
Titik cerlang yang bernama peribadi
Api kehidupan dalam tumpukan abu kita
Cinta menggosoknya menjadi lebih abadi lagi
Cinta mengangkat insan membumbung tinggi
Hingga tercapai tangga keluhuran dekat ilahi
Jika wujud ini adalah benda belum selesai
Cinta membentuknya hingga sempurna
Wahai muslim, dengar kisahku menjadi manusia
Oleh cinta pribadi kian abadi
Lebih hidup, lebih menyala, dan lebih kemilau
Dari cinta menjelma pancaran wujudnya
Dan perkembangan kemungkinan yang tak diketahui semula
Fitrahnya mengumpul api dari cinta
Cinta mengajarinya menerangi alam semesta
Cinta tak takut kepada pedang dan pisau belati
Cinta tidak berasal dari air dan bumi
Cinta menjadikan perang dan damai di dunia
Sumber hidup ialah kilau pedang cinta
Nyanyian Waktu
Aku derita mahupun penawar
Kesederhanaan mahupun kemegahan.
Aku pedang yang menghancurkan
Aku mata air kekekalan
Aku api yang membinasakan
Aku taman kebaqaan
Pertentanganku nyata
(Anggaplah itu tipu-muslihat):
Berubah selalu, diam senantiasa
Tak berubah dalam dada yang berubah.
Seperti jiwa manusia aku tak terikat
Pada lambang-lambang bilangan-
Aku tak terikat pada masa dan keluasan
Pada pergantian dan tahun kabisat
Kau adalah rahasia terpendam dalam dirimu
Aku adalah rahasia dari wujudmu.
Aku hidup karena kau memiliki jiwa
Dan tempat tinggalku adalah kesendirian jiwamu
*) Muhammad Iqbal (Urdu: محمد اقبال), (lahir di Sialkot, Punjab, India, 9 November 1877 – meninggal di Lahore, 21 April 1938 pada umur 60 tahun), dikenal juga sebagai Allama Iqbal (Urdu: علامہ اقبال), adalah seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20.
Ia dianggap sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sastra Urdu, dengan karya sastra yang ditulis baik dalam bahasa Urdumaupun Persia. Iqbal dikagumi sebagai penyair klasik menonjol oleh sarjana-sarjana sastra dari Pakistan, India, maupun secara internasional. Meskipun Iqbal dikenal sebagai penyair yang menonjol, ia juga dianggap sebagai “pemikir filosofis Muslim pada masa modern”. Buku puisi pertamanya, Asrar-e-Khudi, juga buku puisi lainnya termasuk Rumuz-i-Bekhudi, Payam-i-Mashriq dan Zabur-i-Ajam;; dicetak dalam bahasa Persia pada 1915. Di antara karya-karyanya, Bang-i-Dara, Bal-i-Jibril, Zarb-i Kalim dan bagian dari Armughan-e-Hijaz merupakan karya Urdu-nya yang paling dikenal. Bersama puisi Urdu dan Persia-nya, berbagai kuliah dan surat dalam bahasa Urdu dan Bahasa Inggris-nya telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada perselisihan budaya, sosial, religius dan politik selama bertahun-tahun. Pada 1922, ia diberi gelar bangsawan oleh Raja George V, dan memberinya titel “Sir“.
Ketika mempelajari hukum dan filsafat di Inggris, Iqbal menjadi anggota “All India Muslim League” cabang London. Kemudian dalam salah satu ceramahnya yang paling terkenal, Iqbal mendorong pembentukan negara Muslim di Barat Daya India. Ceramah ini diutarakan pada ceramah kepresidenannya di Liga pada sesi Desember 1930. Saat itu ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Quid-i-Azam Mohammad Ali Jinnah.
Iqbal dikenal sebagai Shair-e-Mushriq (Urdu: شاعر مشرق) yang berarti “Penyair dari Timur”. Ia juga disebut sebagai Muffakir-e-Pakistan(“The Inceptor of Pakistan”) dan Hakeem-ul-Ummat (“The Sage of the Ummah”). Di Iran dan Afganistan ia terkenal sebagai Iqbāl-e Lāhorī (اقبال لاهوری “Iqbal dari Lahore”), dan sangat dihargai atas karya-karya berbahasa Persia-nya. Pemerintah Pakistan menghargainya sebagai “penyair nasional”, hingga hari ulang tahunnya (یوم ولادت محمد اقبال – Yōm-e Welādat-e Muḥammad Iqbāl) merupakan hari libur di Pakistan. (Wikipedia)
Classic Poetry
Eco homo-Sajak Sajak Friedrich Nietzsche

Eco homo (lihat, manusia)
Ya! Aku tahu asalku dimana
Tak terpuaskan, nyala laiknya
Aku membubus menelan diri
Terang jadinya segala kupegang
Sisa kutinggal; semua arang
Memang nyala hakikat diri.
Mentari Silam
Hari hidupku!
Mentari silam.
Sepuh emas meliputi laut yang rata
Bukit batu panas bernafas; istanakah di atasnya:
Bahagia, dalam nikmat tidur petangnya?
Dalam cahaya hijau
Masih main-main
Bahagia mendaki jurang nan jingga.
Hari hidupku !
Senja telah dibatas
Telah hampir padam nyala matamu
Telah mulai turun rinai tangis embunmu
Telah merata di laut putih;
Merahmu mesra,
Nikmat bimbangmu yang penghabisan….
Dilamun Sepi
Gagak-gagak riuh
Berisik terbang menuju kota
Sebentar… salju turun—
Bahagia orang, yang kini masih—ada kampungnya!
Kini kau kelu
Menoleh, ah, sekian lamanya!
Yang lari kedunia sebelum waktunya!
Duna—gerbang
Keribuan gurun dingin dan bisu
Jang kehilangan,
Bagai kau kehilangan, tak kunjung lesu.
Kini kau lagut
Ternasib kelana dimusim dingin
Ya—asap, tak henti
Mencaari langit-langit lebih dingin
Terbanglah burung
Kumandangkan lagu ala burung gurunmu!
Sembunyikan, anakku
Dalam es dan cerita, hatimu yang luka.
Gagak-gagak riuh.
Berisik terbang menuju kota:
Sebentar… salju turun—
Celaka orang, yang tiada kampugnya.
*) Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), selain penyair adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, kritikus budaya, dan juga komposer.
Classic Poetry
Sajak-Sajak Rasul Gamzatov

Sajak-Sajak Rasul Gamzatov—Sastrawan dari Dagestan
Penerjemah dari Bahasa Rusia: Ladinata Jabarti
___________
BURUNG-BURUNG BANGAU
Kadang kala terasa bagiku, bahwa serdadu-serdadu,
Yang tidak pernah kembali dari ladang-ladang pertempuran berdarah,
Entah pada suatu kapan bukan dibaringkan ke dalam bumi,
Tetapi mereka berubah menjadi kawanan burung bangau berwarna putih.
Burung-burung bangau tersebut sampai waktu kini sejak masa yang jauh itu
Berterbangan dan menyampaikan suaranya kepada kita.
Bukan lantaran itu-kah begitu kerap dan lara
Kita terdiam, seraya memandang-mandang langit?
Pada hari ini, di kala senja mengejar malam,
Aku melihat, bagaimana burung-burung bangau di tengah kabut
Terbang dengan susun-banjar yang pasti,
Bagaimana mereka mengembara seperti galibnya manusia di ladang-ladang.
Burung-burung bangau itu terbang dan menempuh perjalanan yang jauh
Dan mereka memanggil-manggil nama seseorang.
Bukan karena itu-kah bahasa Avar semenjak berabad-abad yang lalu
Serupa dengan teriakan burung-burung bangau?
Terbang, terbang melintas langit sebarisan baji yang kelelahan –
Terbang di tengah kabut pada penghujung hari,
Dan di dalam susun-banjar itu ada ruang kecil –
Bolehlah jadi, itu adalah tempat bagiku!
Bakal datang hari dan dengan kawanan burung-burung bangau itu
Aku akan berlayar di dalam kabut kelabu serupa,
Dan dari balik langit dengan bahasa para burung, aku memanggil-manggil
Kalian semua, yang telah aku tinggalkan di atas permukaan bumi.
KAU – SAJAK PERTAMAKU
Kepadamu aku kembali jatuh hati dan terpaku…
Yang demikian itu tidak bakalan terjadi – demikiankah yang kau ujarkan?
Tetapi pada setiap kedatanganku, tampak bagiku
Paris itu penuh misteri, magis dan selalu baru.
Begitulah yang terjadi. Kau hidup, kau hidup di dalam keberkahan sinar.
Musim semi sedang terjadi – dan seakan buat pertama kalinya
Kau merasakan, betapa belianya angin
Dan kisah tidak konsisten dari butiran salju yang meleleh merupakan sesuatu yang baru.
Buat pertama kalinya aku menuliskan sajak-sajak –
Meski aku menulis sajak sudah sedemikian lama.
Biarkanlah begitu banyak kegembiraan yang meriangkan,
Tetapi aku mengingat hanya sajak terakhir – satu sajak saja.
Begitulah yang terjadi…Tidak ada yang surut, atau pun yang membusuk
Yang dikenal oleh gairah, yang dilahirkan lagi dan lagi.
Kau – sajak pertamaku
Dan cinta pertama, dan cinta yang tidak bakal pernah mati.
TIDAK ADA YANG LEBIH INDAH
Hidup itu tidak dapat dikira. Kita semua ada di dalam kekuasaannya.
Kita bersungut kepada kehidupan dan menyerapahinya.
Semakin rumit hidup, semakin berbahaya –
Semakin jadi putus asa kita mencintainya.
Aku melangkah di jalan yang tidaklah mudah,
Lubang-lubang, kubangan-kubangan – hanya, aku, bertahanlah!
Tetapi tidak ada seorang pun yang memikirkan, sesungguhnya,
Mengenai sesuatu pun, yang lebih indah, dibandingkan kehidupan.
CINTA, YANG DATANG KEPADAKU PADA MUSIM SEMI ITU
Tahun-tahun berlaluan, dengan mengambil dan memberi,
Kadang – melalui hati secara terang-terangan, kadang dengan jalan memutar,
Dan jangan menutup lembaran-lembaran kalender dan
Cinta, yang datang kepadaku pada musim semi itu.
Segalanya berubah – kadang mimpi, kadang waktu.
Segalanya berubah – kampungku dan bumi raya.
Segalanya berubah. Hanya satu yang tidak berubah
Cinta, yang datang kepadaku pada musim semi itu.
Ke manakah badai telah membawa kalian, kawan-kawanku?
Masih belum begitu lama juga kalian mengadakan pesta denganku.
Kini aku melihat satu-satunya kawan –
Cinta, yang datang kepadaku pada musim semi itu.
Baiklah, aku akan tunduk kepada tahun-tahun yang mendatang,
Akan aku berikan segalanya kepada mereka – kemilaunya siang dan sinarnya malam.
Hanyalah satu– biarkan orang-orang tidak memintanya! – yang tidak bakal aku berikan:
Cinta, yang datang kepadaku pada musim semi itu.
DAGESTAN
Manakala aku, yang berpergian ke banyak negara,
Dan kelelahan, kembali dari jalan, pulang ke rumah,
Dagestan bertanya, seraya membungkuk di atasku:
“Tidak adakah pelosok jauh, yang membuatmu jatuh hati?”
Aku pun menaiki gunung dan dari ketinggian itu,
Setelah menghela nafas dalam-dalam, kepadanya aku jawab:
“Tidaklah sedikit pelosok yang aku lihat, tetapi kau
Sebagaimana dulu memang tempat yang paling dicintai di muka bumi.”
Aku, bisa jadi, memang jarang bersumpah kepadamu dalam soal cinta,
Mencintai bukanlah sesuatu yang baru, tetapi bersumpah juga bukan sesuatu yang baru,
Aku mencintai dengan diam-diam, lantaran aku waswas:
Kata-kata yang diulang ratusan kali bakalan memudar.
Dan jika kepadamu, setiap anak laki-laki dari tempat ini
Seraya berteriak, seperti seorang bentara, akan bersumpah dalam soal cinta,
Maka batu-batu karang milikmu akan merasa jemu
Baik mendengar, maupun menjawab gema di dalam kejauhan.
Ketika kau tenggelam di dalam airmata dan darah,
Anak-anak lelakimu, yang sedikit berujar,
Pergi ke kematian, dan dengan sumpah diabdikannya perasaan cinta.
Terdengar tembang hebat dari bilah-bilah pisau belati.
Dan setelahnya, ketika pertempuran mereda,
Kepadamu, wahai Dagestan, di dalam cinta sejati
Anak-anakmu yang tidak banyak bicara bersumpah
Dengan beliung yang dipukul-pukul dan sabit yang mendencing.
Selama berabad-abad kau mengajarkan semua orang dan aku
Untuk bekerja dan hidup tidak dengan berisik, tetapi berani,
Kau mengajarkan, bahwasanya kata-kata lebih berharga dibandingkan kuda,
Dan orang-orang gunung tidak akan memasangkan pelana tanpa urusan.
Dan bagaimanapun juga, setelah kembali kepadamu dari tempat-tempat yang asing,
Dari kota-kota yang jauh, baik yang riuh bicara maupun yang penuh akal,
Aku masih saja kesulitan untuk berdiam, manakala mendengarkan suara-suara
Dari ricikanmu yang menembang dan suara gunung-gunungmu yang bermartabat.
SANTA CLARA
Sampai pagi hari di boulevard aku berjalan-jalan,
Aku masih belum semuanya melihat Santa Clara
Barangkali, Santa Clara dari dongengan kuno –
Kota dengan penamaan yang demikian halus?
Semuanya aku ulangi dengan lembut: Santa Clara.
Dan aku memanggil dengan segala harap: Santa Clara.
Dan aku melirih dengan lara: Santa Clara.
Dan aku berdiri di dalam diam: Santa Clara.
Siapatah yang mendirikan sebagai kehormatan bagi perempuan kecintaannya
Kota indah yang tak tertiru ini?
Siapatah yang memberikan hadiah kepada pengantin perempuannya
Kota ini – sebagai satu dongengan, kota ini – sebagai satu tembang?
Aku mendengar, di kejauhan terdengar suara gitar.
Kepadamu aku akui, Santa Clara:
Hidupku ini indah dan kaya
Dengan nama-nama, yang sakral bagi hati.
Itu adalah bunda – kau dengar, Santa Clara
Itu adalah anak perempuan – o, lebih tenanglah, Santa Clara
Dan saudara perempuanku di kampung tua.
Dan istriku, ah, Santa Clara!
Kalau saja aku mampu membikin keajaiban –
Aku bakal dirikan kota-kota di mana pun
Kota-kota di seberang sungai, di balik gunung-gunung
Dan aku menamainya dengan nama-nama yang indah.
Kalau saja setiap kota ditahbiskan
Dengan nama-nama perempuan yang sangat luar biasa,
Orang-orang akan dapat tidur dengan tenang
Dan perseteruan dan perang akan menghilang.
Semua orang akan mengulang pada tiap jamnya
Nama-nama kawan perempuan yang indah –
Serupa, seperti di dalam kesunyian boulevard-mu
Dan sampai pagi hari aku ulang-ulang: Santa Clara…
________________________
*) RASUL GAMZATOV
Rasul Gamzatovich Gamzatov (1923-2003) dilahirkan di desa Tsada, distrik Khunzakhsky, Dagestan, di dalam keluarga sastrawan Gamzat Tsadasa. Ayahnya tersebut merupakan seorang guru dan mentor pertamanya di dalam seni sajak. Sajak pertama Rasul Gamzatov ditulis ketika dia berumur sebelas tahun.
Setelah lulus dari sekolah setempat, Rasul Gamzatov masuk ke sekolah pedagogi. Kemudian dia menjadi seorang guru, tetapi tidak begitu lama dan beberapa kali dia mengubah profesi: pernah menjadi asisten sutradara di teater keliling Avar, koresponden di surat kabar Bolshevik Mountains, dan bekerja di radio.
Pada tahun 1943 Gamzatov mempublikasikan kumpulan puisi pertamanya di dalam bahasa Avar, Fiery Love dan Burning Hate.
Pada tahun 1945-1950 Gamzatov belajar di The Maxim Gorky Literature Institute. Setelah menamatkan pendidikannya, Rasul Gamzatov pada tahun 1951 menjadi Chairman of the Union of Writers of Dagestan, tempat dia mengabdi sampai akhir hayatnya pada tahun 2003.
Karya-karya ternama Gamzatov, antara lain: The Older Brother (1952), Dagestani Spring (1955), Miner (1958), My Heart is in The Hills (1959), Two Shawls, Letters (1963), novel liris My Dagestan (1967-1971), Rosary of Years (1968), By The Hearth (1978), Island of Women (1983), dan Wheel of Life (1987).
Pada tahun 1952 Gamzatov dihadiahi the State Stalin Prize untuk karya kumpulan puisinya The Year of My Birth, tahun 1963 – The Lenin Prize untuk karyanya High Star, dan tahun 1981 – The International Botev Prize, suatu penghargaan yang didasarkan kepada nama sastrawan ternama Bulgaria dan juga seorang tokoh Revolusioner: Hristo Botev.
Monumen Gamzatov, sebagai suatu penghargaan yang tinggi dari pemerintah Rusia dan orang-orang Dagestan, diresmikan pada 5 Juli 2013 di Yauzsky Boulevard, Moskow. Monumen tersebut didirikan untuk merayakan 90 tahun kelahiran Rasul Gamzatov.
Sangatlah mungkin, Rasul Gamzatov merupakan satu-satunya sastrawan yang paling dikenal, yang menulis di dalam bahasa Avar atau Avarik, yakni bahasa yang digunakan, terutamanya, di bagian barat dan selatan Republik Kaukasus-Rusia di Dagestan, daerah Balaken, Zaqatala di barat laut Azerbaijan. Penutur bahasa ini diperkirakan hanya sekitar 762.000 orang dan UNESCO mengklasifikasikan bahasa Avar ini sebagai bahasa yang rentan terhadap kepunahan.
Classic Poetry
Kidung Sajak Nizar Qabbani

Sajak
1/
Kawan
Kata-kata lama telah mati.
Buku-buku lama telah mati.
Pembicaraan kita mengenai lubang seperti sepatu usang telah mati.
Mati adalah pikiran yang mengarahkan pada kekalahan.
2/
Puisi-puisi kami sudah basi.
Rambut perempuan, malam hari, tirai, dan sofa
Sudah basi.
Segalanya sudah basi.
3/
Negeri duka-citaku,
Secepat kilat
Kau merubah aku dari seorang penyair yang menulis puisi-puisi cinta
Menjadi seorang penyair yang menulis dengan sebilah pisau.
4/
Apa yang kami rasa lebih dari sekadar kata-kata:
Kami harus malu lantaran puisi-puisi kami.
5/
Dikendalikan oleh omong kosong Oriental,
Oleh sombongnya keangkuhan yang tak pernah membunuh seekor lalat pun,
Oleh biola dan beduk,
Kami pergi berperang,
Lalu menghilang.
6/
Teriakan kami lebih lantang ketimbang tindakan kami,
Pedang kami lebih panjang ketimbang kami,
Inilah tragedi kami.
7/
Pendeknya
Kami mengenakan jubah peradaban
Namun jiwa kami hidup di zaman batu.
8/
Kau tak memenangkan perang
Dengan buluh dan seruling.
9/
Ketaksabaran kami
Membayar kami lima puluh ribu tenda baru.
10/
Jangan mengutuk sorga
Jika ia membuang dirimu,
Jangan mengutuk keadaan,
Tuhan memberi kemenangan pada siapa yang Ia kehendaki
Tuhan bukanlah seorang pandai yang dapat kau minta menaklukan senjata.
11/
Betapa menyakitkan mendengar berita pagi hari
Betapa menyakitkan mendengar salak anjing.
12/
Musuh-musuh kami tak melintasi perbatasan kami
Mereka merayap melalui kelemahan kami seperti semut.
13/
Lima ribu tahun
Janggut tumbuh
Di goa-goa kami.
Mata uang kami tak diketahui,
Mata kami sebuah surga bagi serangga.
Kawan,
Bantinglah pintu,
Cucilah otakmu,
Cucilah pakaianmu.
Kawan,
Bacalah buku,
Tulislah buku,
Tumbuhkan kata-kata, anggur dan delima,
Berlayarkah ke negeri kabut dan salju.
Tak seorang pun tahu kau hidup di goa-goa.
Orang-orang mengambilmu untuk pengembangbiakan anjing liar.
14/
Kami adalah orang berkulit tebal
Dengan jiwa yang kosong.
Kami habiskan hari-hari kami dengan belajar sihir,
Main catur dan tidur.
Adakah kami “Bangsa di mana Tuhan memberkati manusia?”
15/
Minyak gurun kami bisa menjadi
Belati nyala api dan api.
Kamilah aib bagi nenek moyang kami yang mulia:
Kami biarkan minyak kami mengalir lewat jemari kaki para pelacur
16/
Kami berlari serampangan di jalan-jalan
Menarik orang-orang dengan tali,
Menghancurkan jendela dan kunci.
Kami memuji bagai katak,
Mengubah orang kerdil jadi pahlawan,
Dan pahlawan menjadi sampah:
Kami tak pernah berhenti dan berpikir.
Di mesjid
Kami tertunduk malas
Menulis puisi-puisi,
Pepatah-pepatah,
Memohon pada Tuhan untuk kemenangan
Atas musuh kami.
17/
Jika aku tahu aku akan datang tanpa kesalahan,
Dan dapat melihat Sultan,
Inilah yang akan kukatakan:
‘Sultan,
Anjing-anjingmu yang liar merobek pakaianku
Mata-matamu mengintaiku
Mata mereka mengintaiku
Hidung mereka mengintaiku
Kaki mereka mengintaiku
Mereka mengintaiku bagai Takdir
Menginterogasi istriku
Dan mencatat nama-nama kawanku.
Sultan,
Saat aku mendekati dindingmu
Dan bicara mengenai lukaku,
Tentara-tentaramu menyiksaku dengan boot mereka,
Memaksaku memakan sepatu.
Sultan,
Kau kehilangan dua perang,
Sultan,
Setengah rakyat kita tanpa lidah,
Apalah gunanya seorang manusia tanpa lidah?
Setengah rakyat kita
Terjebak bagai semut dan tikus
Di sela dinding.’
Jika aku tahu aku akan datang tanpa kesalahan,
Akan kukatakan padanya:
‘Kau kehilangan dua perang
Kau kehilangan kontak dengan anak-anak.’
18/
Jika kami tak mengubur persatuan kami
Jika kami tak merobek tubuh-tubuh segar dengan bayonet
Jika ia berdiam di mata kami
Anjing-anjing tak kan mencincang daging kami membabi-buta.
19/
Kami tidak menginginkan sebuah generasi yang marah
Untuk membajak langit
Untuk meledakkan sejarah
Untuk meledakkan pikiran-pikiran kami.
Kami menginginkan sebuah generasi baru
Yang tak memaafkan kesalahan
Yang tak membungkuk.
Kami menginginkan sebuah generasi raksasa.
20/
Anak-anak Arab,
Telinga jagung masa depan,
Kalian akan memutuskan rantai kami,
Membunuh opium di kepala kami,
Membunuh ilusi.
Anak-anak Arab,
Jangan membaca generasi kami yang tercekik,
Kami hanyalah sebuah kotak tanpa harapan.
Kami sama tak berharganya dengan kulit semangka.
Jangan baca kami,
Jangan turuti kami,
Jangan terima kami,
Jangan terima pikiran kami,
Kami hanyalah bangsa bajingan dan pemain akrobat.
Anak-anak Arab,
Hujan musim semi,
Telinga jagung masa depan,
Kalian adalah generasi
Yang akan mengatasi kekalahan.
*) Nizar Qabbani lahir di ibukota Suriah Damaskus dari keluarga pedagang kelas menengah. Qabbani dibesarkan di Mi’thnah Al-Shahm, salah satu tetangga Damaskus lama. Qabbani menempuh pendidikan di Scientific College School nasional di Damaskus antara 1930 dan 1941. Sekolah tersebut dimiliki dan dijalankan oleh teman ayahnya, Ahmad Munif al-Aidi. Ia kemudian mempelajari hukum di Universitas Damaskus, yang disebut Universitas Suriah sampai 1958. Ia lulus dengan gelar sarjana dalam hukum pada 1945. (Wikipedia)