

Prose & Poetry
Puisi-Puisi Ramadhan GG
Nonsens, volver arriba!
menghubungkan, loading…20/23kb
kota yang lain di direct message.
tagar. apa yang sedang terjadi?
daftar suka kamu. lihat lebih banyak foto.
lihat perincian. lihat percakapan.
ramadhangg me-retweet: puisi-puisinya
dijadikan perlawanan, “Henriette Roland
dan Para Pejuang Kemerdekaan”
di halaman awal internet explorer. rss.
gmail. new post. riwayat. halaman tersimpan.
sinkronisasi. google chrome. penanda.
tidak dapat menyambung ke internet.
sedang memuat…3/48kb, memuat kota asing
yang ada di dumay; omah. perfil. mensajes.
pameling. jagongan (87). amigos (105).
paginas. menu. andum karo umum.
tambahkan foto. apa yang sedang—
kamu pikirkan? panjalukan kekancan.
borrar notifictiones. hoy es el cumpeanos—
de Haryati Martina! curtir. komentari.
compartilhar. berita komplet. mais.
orang-orang menambahkan
jutaan kesepian baru.
volver arriba!
attention! pakai opera mini
buat posting info yang sensi
nggak disarankan, soalnya,
koneksi kamu nggak dienkripsi,
kamu mau ngelanjutin?
Ya Tidak
menghubungkan,
loading…0/0kb.
(Kelapadua, Bekasi, 2016)
malaikat yang lain
di jembatan yang melayang, apakah ada musim perah
dari sebuah kaleng susu, yang tumbuh di telapak tangan
seorang gadis kecil. belum dia raih, di sebuah kota
yang memuntahkan solar, rebusan tulang belulang yang
memancur dari tenggorokan fuel inlet hose, susu hitam
yang menetes dari puting robot; belum dia jumpai,
segelas milkyshakes di jembatan itu, mengucur ke kalengnya
dari dada srikandi, laki-laki atau perempuan, seorang manequin
yang harum saat ini, dalam kebekuan.
setelah sibuk di bawah eklips mengoyak moyak mimpi,
kalengnya berdentang di dalam lambung. dia merosot
di tangga dan lihatlah, panas yang mencintainya
telah menjilat tubuhnya di balik spanduk junk food.
detak izmir clocktower bisa berhenti jika kau menegurnya.
gemeretak kerikil, cekcekcek di bawah kakinya.
biarkan dia terbang. kalau kau percaya pada keajaiban,
kau dapat melihat bulu-bulu putih yang lembap dan mengkilat
rontok dari sayapnya.
(Kelapadua, Bekasi, 2016)
benci menurut seorang traveller
dia membencimu.
dia membenci wajahmu,
jalan raya berlubang
yang menyembunyikan 1 kg paku,
catatan kakinya di dalam toraksmu.
orang-orang percaya pada sebuah bangku
yang membuatmu jadi tajir, upaya lain
untuk tidak menjadi seekor babi-buta di kota.
baginya, dia hanya mau menggulung
jalan arteri sampai keluar pulau.
dari kesiasiaan, dia menggendong
sepasang kakinya dalam ransel
dan membuangnya ke lautan.
(Kelapadua, Bekasi, 2016)
hanya mimpi di udara
buat D.R
kaleng bearbrand dan bunga devi terbang. kabel listrik terbentang. kontak whatsapp. timbunan karung goni dalam the various flavours of coffee. terminologi kuda liar di ujung lidah. kipas angin dan radio pada dini hari. anak lelaki memimpikan bunga devi terbang mengitari kaleng bearbrand. dan bunga devi itu adalah susu murni yang diperah melalui portable milking machine. jika udara adalah anak lelaki yang bersiul-siul di bawah kupingmu, kaleng bearbrand jadi seorang perempuan tua yang tak punya dada, dan bunga devi itu bantal guling tanpa pelukan dengan kepala terbungkus selimut. tapi udara adalah seekor nightingale, kaleng bearbrand adalah kanal yang bocor, sedangkan anak lelaki adalah segelas kopi hitam di atas gedung perkantoran yang kosong. antara kaleng bearbrand dan bunga devi, paru-paru berlubang atau taman kota yang terbelah. dalam kaleng bearbrand ada seekor nightingale dan deru napas robot pemerah susu, dan dalam bunga devi ada tulang iga seorang anak lelaki.
(Kelapadua, Bekasi, 2016)
kepada perempuan cantik
perempuan cantik yang lewat! kau tahu, betapa ia
membenci kecantikanmu seperti sepiring whiskas
untuk segerombolan kucing jantan yang kelaparan
dan berahian, dan dia sendirian meraung-raung
di atas atap rumah. tapi kau tak tahu, kalau kaulah—
perempuan yang sedang dicarinya, dari facebook,
twitter atau path dan google image. ia percaya,
bahwa ia pernah mencengkram tanganmu
di sebuah kota yang dibangun dalam kepalanya.
ia teringat lagi waktu kalian makan bareng
di pinggir pantai, melumat biawak panggang
dengan guyuran bir, sate cumi cumi dan anak gurita
dan saling menukar tangan sambil menulis breaking
all illusions di atas pasir hitam. kau hadir dalam kamera
2.0 megapixel dan ia merasa tidak terganggu, sungguh,
oleh tombol delete di laptopnya! ia memecahkan
piring dan melempar bantal bersamamu, dan kalian,
saling menukar sebagian jasad untuk dibawa pulang.
kau membenamkan benih orion di mata dan mukanya
dan saat kau kembali ke rumah, kau mencuri tulang
paru-paru, bibir dan kakinya. ia tak melidahkanmu,
ia menggambarmu saat ia sedang sendirian
di lubang jendela, atau 30 menit sebelum ia login
ke twitternya dan terjaga di dunia maya. ia menantimu,
ia percaya akan menemuimu lagi. ia bersumpah padaku—
bahwa ia tidak gila, tapi aku tidak percaya.
(Kelapadua, Bekasi, 2016)
ada folder di recycle bin
jangan kau cut folder lamaku,
biarkan ia tertidur sendirian di recycle bin
berdesing heatsink intel pentium inside red-leppiku,
di tengah tusukan hujan di bulan maret
selembar pintu yang terbuka telah menelan
dan melemparku ke lambung kota yang gelap
26 pot mimosa 15 cm kuberikan padamu,
sebuah kado untuk jari-jarimu yang sedang keram
di depan pintu tol setiap pagi, mataku sedingin
air conditioner dalam bus kecil laju-utama
sepanjang jalan dikepung napas beku
yang berhembus dari lubang gitar ukulele
terkadang batu seperti perasaan jari tengah
yang takut pada tombol backspace, ctrl-a-enter!
kaulah Z kuadrat z di bawah F4 yang kelelahan,
setelah berputar-putar seperti kaki roadrunner
selembar pintu yang terbuka telah menelan
dan melemparku ke lambung kota yang gelap
asap sigar menggulung, membungkus tubuhku
yang kedinginan di supermarket
di atas tempat duduk, dalam bola mataku
ada gulungan benang kusut yang kini jadi jelatang
tapi jangan kau cut folder lamaku,
biarkan ia tertidur sendirian di recycle bin.
(Kelapadua, Bekasi, 2016)
*Ramadhan G.G, lahir di Jakarta 1991. Pecinta kucing. Suka ngotak ngatik dan ngetik. Sekarang tinggal di Bekasi. Boleh dinyinyirin di @rmgg_
Puisi
Puisi Musim Hujan

Nyanyian Hujan
Kita yang membakar api
Kau yang memilih tersedu
Jika tidak karena lukanya, kita telah sirna
Jika tidak karena ratapmu, kita telah menua;
Dan sia-sia
Nyanyikan lagi lagu jiwamu
Aku telah terkutuk mendenger deritamu
Cinta kita yang semi tanpa musim
Tumbuh dari akar kengerian
Jika tidak karena lukanya, kita telah sirna
Jika tidak karena ratapmu, kita telah menua;
Dan sia-sia
Betapa fana cinta betapa lara asmara
Betapa abadi rasa betapa dalam tangis
Kita yang terbakar dan habis
Jika tidak karena lukanya, kita telah sirna
*
Jika saja kau ingat
Betapa lembut tatapmu dulu
Betapa gairahku pada sekujur jiwamu
Seakan seluruh bumi menjadi musik
Kita lagut dalam tari yang mabuk
Betapa tak perdulinya
Jiwa kita alangkah bebasnya
Tidak gerak dari kerling matamu
Adalah madah dan sihir bagi jiwaku
Hidupku karena kerling matamu
Sungging senyummu nyawaku
Walau telah pasti kita kan sama pergi
Ke kubur tergelap nun abadi
Kenakan gaunmu warna merah
Tunggu aku di puncak kesunyian
Aku datang dengan selendangmu
Mengantarkan nasibku pada kengerianmu
Kita sama pergi kita sama abadi
Biarkan musik mengalun, kita terus saja
Menari-narikan tarian jiwa
Nyalakan api dalam matamu
Biar kita terbakar; dan puisi menjelma mantera
Dari dalam jiwa paling diliputi cinta.
Sayangku, siapa itu mengintip dari celah langit
Seperti maut menyungging; dan kita terus menari..
O, apa yang lebih ngeri dari matamu yang berhenti
mengerling?
Dan jiwaku ingin mati dalam kerling cintamu, pada
matamu..
Jakarta, 7 April 2016
Yang Hilang Dalam Hujan
Rambutmu cahaya petang
Kakimu tarian abadi
Kerling matamu ranjang sukmaku
Aku luruh pada sejengkal tulang dilehermu
Keindahan sepanjang kemabukan
Pada bibirmu aku menuju kebebasan
Kita berpagut tiada henti
Seolah sebantar lagi kita pergi…
*
Hentakkan lagi dan tertawalah
Lepas itu kita ke laut
Menacari kebebasan biar pasti karam
Tapi telah pasti kita pemberani
Mengayuh sampan walau rapuh
Ke tengah ke intinya penghidupan
Tiada sawan menali
Kita memang memilih pergi…
*
Jika saja kau ingat
Bagaimana aku luput
Ketika rambutmu tergerai
Dan matamu melesat ke dalam jiwaku
Kuserahkan seluruh
Kau menali—kita telah luruh.
Jakarta, 23 Maret 2016
___________________________
*) Sabiq Carebesth: Lahir pada 10 Agustus 1985. Pendiri Galeri Buku Jakarta (GBJ). Buku kumpulan sajaknya terdahulu “Memoar Kehilangan” (2012), “Seperti Para Penyair” (2017).
Classic Poetry
Puisi Georg Trakl

Musim Gugur Yang Cerah
Begitu akhir tahun; penuh megah.
Bertanggar kencana dan buahan ditaman
Sekitar, ya aneh, membisu rimba.
Yang bagi orang sepi menjadi taman.
Lalu petani berkata: nah, sukur.
Kau bermain dengan senja Panjang dan pelan
Masih menghibur dibunyi terakhir
Burung-burung di tengah perjalanan.
Inilah saat cinta yang mungil
Berperahu melayari sungi biru
Indahnya gambaran silih berganti
Semua ditelah istirah membisu.
*) Georg Trakl (3 February 1887 – 3 November 1914) Penyair Austria. Salah satu penyair liris terpenting berbahasa Jerman di abad 21. Ia tak banyak menulis karena meninggal. Overdosis kokain menjadi penyebabnya. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
Classic Poetry
Puisi Rainer Maria Rilke

Hari Musim Gugur
Tuhan: sampai waktu. Musim panas begitu megah.
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
Dan atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan buahan penghabisan biar matang:
Beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka kemurnian dan baru jadi
Gulang penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang kini tidak berumah, tidak kan menegak tiang.
Yang kini sendiri, akan lama tinggal sendiri.
Kan berjaga, membaca, menyurat Panjang sekali
Dan akan pulang kembali melewati gang
Berjalan gelisah, jika dedaunan mengalun pergi.
Musim Gugur
Dedaunan berguguran bagai dari kejauhan,
Seakan di langit berlajuan taman-taman nun jauh;
Gerak-geriknya menampikkan tak rela jatuh.
Dan dalam gulingan malam dunia berat—jatuh
Lepas dari galau gemintang masuk kesunyian.
Kita semua jatuh. Ini tangan bergulingan
Dan padang Akumu itu: tak satu pun luput!
Betapa pun, ada orang yang sambut
Maha lembut ini jatuh di lengan kasihan.
Lagu Asmara
Betapa beta akan tahan jiwaku, supaya
Jangan meresah dikau? Betapa nanti ia
Kuntandai lintas dirimu ke benda lain?
Ah, aku ingin, semoga dapat ia kupisah
Ke dekat suatu sungai di tengah kegelapan
Disuatu tempat, sepi dan asing, nan tidaklah
Lanjut berdesing, bila kalbumu berdesingan.
Tapi semua yang menyentuh kita, kau dan aku,
Bagai penggesek menyatukan; kau dan aku.
Menarik bunyi tunggal dari sepasang tali
Pada bunyian mana kita ini terpasang
Dan ditangan pemain mana kita terpegang?
Wahai lagu berseri.
Dari buku ketika
Kau hari nanti, nyala pagi berkilau
Yang mencerah ranah keabadian
Kau kokok ayam disubuh akhir zaman
Embun, misa pagi dan perawan
Orang asing, sang ibu dan maut.
Kaulah sosok yang berubah-ubah
Yang menjulang dari nasib, selalu sepi
Yang tinggal tak dipuji dan tak diwelasi
Dan belum dipetakan bagai rimbaraya
Kau hakikat benda yang dalam nian
Yang menyimpan kata-kata wujudnya
Dan bagi yang lain selalu lain menyata;
Dipantai bagai kapal, di kapal; daratan.
*) Rainer Maria Rilke (1875-1926): ia kelahiran Praha, Ceko.Dianggap penyair bahasa Jerman terbesar dari abad 20. Karyanya yang terkenal antara lain Sonnets to Orpheus, Duino Elegies, Letters to a Young Poet, dan The Notebooks of Malte Laurids Brigge. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
-
Budaya4 months ago
Mengembalikan Kedigdayaan Maluku
-
Milenia4 months ago
Drama Korea, Instrumen Pengajaran dan Dosen
-
Kajian3 months ago
Dostoyevsky, Antara Kemuraman Jiwa, Kejahatan Dan Hukuman
-
Kolom3 months ago
Ambilkan Buku, Bu!
-
Milenia4 months ago
Tradisi Puisi “Imagism”: Mencari yang Konkrit, Menyepuh yang Abstrak
-
Kajian2 months ago
Sigmund Freud dan The Interpretation of Dreams
-
Cerpen4 months ago
Cinta yang Sulit
-
Kajian2 months ago
Imajinasi dan Strukturalisme Jacques Lacan