

Puisi
Puisi-Puisi Im Midadwathief
Penantian
Sayang, ke mana dikau pergi?
Kudatangi tempat-tempat suci
Kukunjungi rumpun bunga-bunga wangi
Tak kucium gelagatmu sama sekali
Sayang, temuilah aku barang sesruput kopi
Cuap-cuap tentang kebahagian sejati
Menata niat, mensejajarkan langkah demi keindahan abadi
Sayang, paling tidak wartakan kabarmu padaku
Masih relevankah janji-janji suci?
Masih tersisakah energi revolusi?
Masih adakah rona merah di pipi?
Sayang, resolusi hanyalah resolusi
Ia tak mampu berbuat banyak tanpa eksekusi
Ia seperti patung polisi yang menakut-nakuti
Formalitas tanpa arti
Nyatanya, kamu hanya ilusi!
Mengumpat di mulut-mulut orator ulung
Membaur di suara-suara dalam forum
Sayang, kau hanya ada dalam mimpi
Sesekali sosokmu digaung-gaungkan dalam berbagai konferensi
Terbingkai dalam teken tanda tangan yang disetujui
Sudah itu, sekejap kau pergi
Sayang, di mana rimbamu kini?
Kau yang memperkenalkan diri sebagai kedamaian kepada negeri
Kau yang menggaransikan cinta bagi tanah pertiwi
Sayang, tak tahu lagi ke mana aku harus mencari
Barangkali sempat, ketuklah pintu rumahku dengan hati
Kalau masih ada nyawa, kuantarkan kau melihat-lihat negeri ini
Kalau aku mati, kuburkan jasadku di tanah ini
Sebab biar aku mampus kumus-kurus, datangmu tetap kunanti
Agar tenang anak-cucu
Agar mesra jadi satu
Depok, 1 Januari 2017
Cerutu
Lelaki tua di tepian kali menemui senja
Lama ia pejamkan mata
Wajahya seperti tak pernah jatuh cinta
Lalu ia sulut sebatang cerutu
Dua detik kemudian ia buang itu
Membenam di pundak batu-batu
“Aku… Aku… Aku…”
Pekiknya lantang meski tak merdu
“Kamu… Kamu… Kamu…”
Bibirnya biru
Lidahnya kelu
Tubuhnya kaku
Raganya tanpa nyawa
Sementara cerutunya masih menyala
Depok, 2 Januari 2017
Bisu
Suara adalah mantra
Lesatnya mampu merapal cinta
Meski seringkali timbulkan huru-hara
Mulut menjadi rumah yang menyenangkan bagi Iblis
Dari sana, api mudah menyala
Mereka membeli domba-domba
Tanduknya di adu-picu
Darah bisa mengalir dengan sekali hentak saja
Iblis-Iblis bersorak gembira
Tertawa-tawa
Malaikat tak membangun sarang di kerongkongan
Berat baginya memukul mundur barisan rapat pasukan Iblis
Malaikat terhuyung-huyung meladeninya
Jatuh bangun ia
Terseok-seok
Jahit saja mulutnya
Biar jera semua-muanya
Kata Peri di angkasa
Tak ada lagi kata-kata
Tiada terdengar suara-suara
Iblis mendekam dalam benang-benang perak Malaikat
yang tersulam kuat berkilat
Bisu mulutnya beku
Lesu mukanya biru
Hampir terjadi kemesraan global
Kalau saja Dajjal tak datang mengudari jahitan
yang memenjara total
Suara-suara terdengar lagi
Huru-hara terjadi lagi
Depok, 2 Januari 2017
Puisi
Puisi Sabiq Carebesth

“Cinta macam apa yang tak membuatmu muda?”
Dalam dunia di mana daun-daun menguning berguguran
Kau kenakan gaun warna merah—dadamu bertalu dipenuhi
Kucup rindu dan cinta yang berbahaya
Rindu yang jadi semenjana semenjak musim menjadi lalu
Dan usia tak lagi muda—dalam dunia yang tua
Kenangan telah menumpuk menjadi temaram pura
Kebebasan yang dulu gemuruh berganti sepi yang lagut
Siapa akan datang mengabarkan nyanyian baru
Hanya para kelana penuh ratap—yang melupakan cinta
Cinta macam apa yang tak membuatmu muda?
Yang tak membuat dunia penuh gemintang abadi
Atau tak ada bedanya sebab waktu telah menjadi kegilaan
Tiap jengkal darinya adalah masa lalu dan masa depan
Masa kini adalah hayalan yang meloloskan diri
Dari dendam masa lalu dan kengerian esok;
Oh sampan itu yang membawa usia mudaku dan usia mudamu
Ke mana perginya masa—larung di sungai yang mana
Labuh di bandar kota mana atau tersesat dan tertambat?
Tapi betapa tak satu pun ingatanku padamu sirna!
Bila saja kota berganti rupa dan dunia baru menyepuh
Biarlah ingatanku padamu tinggal—tak soal bila hanya kenangan
Tapi rambutmu yang berseri, matamu binar—bibirmu segar
Seolah kita hendak berlari di atas laut,
Bagaimana bisa ingatan padamu padam? Meski dunia lupa
Bagaimana kota-kota dibangun; dengan cinta para pertapa
Yang papa dihadapan dunia—
Oh kota macam apa ini? Dibangun untuk membinasakan usia muda
Tidak cinta; tidak rindu; tanpa nafsu tanpa jiwa menari!
Ayo pulang sayangku pada kota lama kita—di mana kita muda
Rambutmu yang berseri, matamu binar—bibirmu segar
Seolah kita hendak berlari di atas laut; atau pergi ke museum
Nanti kubelikan untukmu kembang warna merah
Yang dibuat dari kertas berisi sajakku yang terbakar.
2018
“kelam sajak-sajak; ngeri lagu-lagu”
Betapa gersang dunia kita—tanpa musik dan lembar koran
Seorang datang entah dari dunia yang mana
Meski ia hanya sejengkal dari rumah kita
Seorang bernyanyi tapi ia tak pernah tahu
Dari mana nyanyian dan kidungnya bermula;
Betapa mengerikan dunia kita—
Aku tak menginginkan dunia baru
Hingga dunia kita sekarang kembali menjadi kehidupan
Seorang datang membawa tanda dan kengerian
Seorang lain datang membawa
Tanda dan kengerian yang lain;
Aku memandang pada hidup yang sepi
Tapi kesepian akan menjadi korban sejarah
Siapa bisa tahan, hidup dalam kenang tanpa cinta
Luput dari kasih dan kecantikan jiwa
Nanti lautan berhenti menderu—kalah oleh gemuruhmu
Aku akan terbang menjadi kupu-kupu mona
Mengabarkan kematian jiwa-jiwa
Kelam sajak-sajak; ngeri lagu-lagu
Dunia kita yang padam dunia kita yang muram
Dari jendela rumahmu hujan telah jadi angin
Dengan bau-bau kuburan—menjelang petang
Dunia kita berkabut penuh ketakutan—
hanya pemuja kegelapan berpesta dalam hujan
Tak ada lagi kecantikan—kita telah berhenti menatapnya
Di hadapan dan belakang dari penjuru-penjuru
Orang-orang siap memadamkan cahaya
Betapa rindu aku pada binar matamu…
Betapa pilu jiwaku melihat keletihan manusia.
2018
Classic Poetry
Puisi Georg Trakl

Musim Gugur Yang Cerah
Begitu akhir tahun; penuh megah.
Bertanggar kencana dan buahan ditaman
Sekitar, ya aneh, membisu rimba.
Yang bagi orang sepi menjadi taman.
Lalu petani berkata: nah, sukur.
Kau bermain dengan senja Panjang dan pelan
Masih menghibur dibunyi terakhir
Burung-burung di tengah perjalanan.
Inilah saat cinta yang mungil
Berperahu melayari sungi biru
Indahnya gambaran silih berganti
Semua ditelah istirah membisu.
*) Georg Trakl (3 February 1887 – 3 November 1914) Penyair Austria. Salah satu penyair liris terpenting berbahasa Jerman di abad 21. Ia tak banyak menulis karena meninggal. Overdosis kokain menjadi penyebabnya. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
Classic Poetry
Puisi Rainer Maria Rilke

Hari Musim Gugur
Tuhan: sampai waktu. Musim panas begitu megah.
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
Dan atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan buahan penghabisan biar matang:
Beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka kemurnian dan baru jadi
Gulang penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang kini tidak berumah, tidak kan menegak tiang.
Yang kini sendiri, akan lama tinggal sendiri.
Kan berjaga, membaca, menyurat Panjang sekali
Dan akan pulang kembali melewati gang
Berjalan gelisah, jika dedaunan mengalun pergi.
Musim Gugur
Dedaunan berguguran bagai dari kejauhan,
Seakan di langit berlajuan taman-taman nun jauh;
Gerak-geriknya menampikkan tak rela jatuh.
Dan dalam gulingan malam dunia berat—jatuh
Lepas dari galau gemintang masuk kesunyian.
Kita semua jatuh. Ini tangan bergulingan
Dan padang Akumu itu: tak satu pun luput!
Betapa pun, ada orang yang sambut
Maha lembut ini jatuh di lengan kasihan.
Lagu Asmara
Betapa beta akan tahan jiwaku, supaya
Jangan meresah dikau? Betapa nanti ia
Kuntandai lintas dirimu ke benda lain?
Ah, aku ingin, semoga dapat ia kupisah
Ke dekat suatu sungai di tengah kegelapan
Disuatu tempat, sepi dan asing, nan tidaklah
Lanjut berdesing, bila kalbumu berdesingan.
Tapi semua yang menyentuh kita, kau dan aku,
Bagai penggesek menyatukan; kau dan aku.
Menarik bunyi tunggal dari sepasang tali
Pada bunyian mana kita ini terpasang
Dan ditangan pemain mana kita terpegang?
Wahai lagu berseri.
Dari buku ketika
Kau hari nanti, nyala pagi berkilau
Yang mencerah ranah keabadian
Kau kokok ayam disubuh akhir zaman
Embun, misa pagi dan perawan
Orang asing, sang ibu dan maut.
Kaulah sosok yang berubah-ubah
Yang menjulang dari nasib, selalu sepi
Yang tinggal tak dipuji dan tak diwelasi
Dan belum dipetakan bagai rimbaraya
Kau hakikat benda yang dalam nian
Yang menyimpan kata-kata wujudnya
Dan bagi yang lain selalu lain menyata;
Dipantai bagai kapal, di kapal; daratan.
*) Rainer Maria Rilke (1875-1926): ia kelahiran Praha, Ceko.Dianggap penyair bahasa Jerman terbesar dari abad 20. Karyanya yang terkenal antara lain Sonnets to Orpheus, Duino Elegies, Letters to a Young Poet, dan The Notebooks of Malte Laurids Brigge. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
-
Interview4 months ago
Haruki Murakami: Saya Kurang Suka Pada Gaya Kepenulisan Realis
-
Classic Poetry4 months ago
Puisi-Puisi Arthur Rimbaud
-
Budaya4 months ago
Mengembalikan Kedigdayaan Maluku
-
Inspirasi4 months ago
Alice Munro: Menulis Harus Disiplin dan Percaya Diri
-
Milenia4 months ago
Drama Korea, Instrumen Pengajaran dan Dosen
-
Milenia4 months ago
Marlina dan Perlawanan Perempuan
-
Kajian3 months ago
Dostoyevsky, Antara Kemuraman Jiwa, Kejahatan Dan Hukuman
-
Kolom3 months ago
Ambilkan Buku, Bu!