Puisi
Puisi-Puisi Halim Bahriz

Pagi yang Tak Lagi Seperti Ibu
Larut malam mirip warisan ayah tiri dan sore hari
mirip wajah perawan yang mati dalam dekapan.
Kota seperti sebuah lantai dengan tumpahan liur vagina
yang sempoyongan merangkai kalimat sebab mabuk berat.
Akulah si piatu sintetis yang lahir dari rahim yang amnesia.
Cuma asbak penuh putung rokok yang mendengarku
bergumam, ketika kantuk menyederhanakan waktu.
Hidup seperti mimpi; cerita usai setelah tubuh terjaga.
O, kematian—yang terus berulang. O, adegan-adegan
tanpa sebuah pagi yang membuatku merasa kanak kembali
sebentar: menatap sulur cahaya, bingkai pintu atau jendela
seperti menonton telur menetas dalam adegan lamban.
Hari-hari membagi panggung untuk peran-peran aneh,
mirip akar-akar tanaman dalam pot di persimpangan jalan
: harus hijau dan mesti riang berbunga, meski harga diri
dan warna kata telah terlepas dari jalinan semesta.
Bahagia tubuh telah etalase di luar habitat manusia
H.B. 2017
10 Tahun Usia Percintaan Kami
Malam ini, setelah komuter ini berhenti di Cikini
dan tubuhku terlepas dari pintu, maka 10 tahun sudah
kereta dan diriku berbagi cerita dan kebosanan.
Orang-orang itu lagi. Orang-orang itu lagi.
Si pembaca renta dan lelaki belia yang jakunnya
kini telah menggiurkan. Tubuh-tubuh lelah yang lupa
di mana harus meletakan dirinya. Mata-mata marah
yang gagal mencari-cari bidikan. Pula anak-anak kecil
yang selalu tampak piatu di pangkuan ibunya.
Merk-merk segar pada penumpang, sajak-sajak iklan
pada bilah pintu, bergilir memberi pemandangan baru.
Di luar, gelap kian gemerlap dan sebingkai kaca jendela
mirip televisi mati; 15 meter kesunyian mengambang
di udara kota.
Pernahkah kaulihat wajah sendiri dalam monitor mati,
berlama-lama? Seperti menonton mimpi sesosok mayat,
ruh yang menunggu. Atau, rindu sebuah makam yang
terlalu lama tak diziarahi calon pemiliknya.
Sebentar lagi, ketika komuter telah berhenti di Cikini,
setelah kaki-kakiku menapak pinggir jalan dan telingaku
benar-benar mendengar syahdu kesombongan bunyi sepatu,
maka selain angka yang bertambah—sungguh aku tak tahu
: apakah akan ada yang terasa wajar dan tak berulang
setelah ini, pada malam-malam berikutnya.
Maksudku, benar-benar berubah.
H.B. 2017
Menyewa Kepulangan
Kami berpulang kepada malam; di bangku taman,
emperan toko, atau losmen pemberian suami orang.
Rumah serupa kondom. Tidur selengang genangan.
***
Hampir tiap subuh, aku terjaga mirip orang berkemas
dari bencana. Seringkali lupa membenarkan letak tulang,
pula terbiasa abai membersihkan sisa-sisa bangkai sejarah
di sela-sela gigi; di dalam rahang tempat mimpi-mimpi
cepat menjadi basi dan darah daging menjelma fosil.
Aku seperti tak bisa mencintai apapun di kota ini.
Orang-orang melihatku seperti melihat kain sobek dan
melihat kain sobek seperti melihat kain sobek. Orang-orang
melihat caraku berjalan seperti melihat pembalut yang hanyut
dan melihat pembalut yang hanyut seperti melihat pembalut
yang hanyut. Seolah diriku pewarisi arus sungai yang tenang.
Ingin kulihat mata; orang-orang yang melihatku seperti melihat
lubang knalpot mobil mewah yang melindas sisa kubangan hujan
dari siklus musim yang mereka lupakan. Tapi mata orang-orang
tak pernah melihatku yang sedang melihat mereka yang juga
sedang melihatku. Melihat diriku seperti pembalut sobek
untuk sejarah yang dilanda menstruasi abadi.
Aku tertimpa siklus keharuan buatan partai politik!
Mereka membuatku melihat diri seperti tetesan air melubangi
arus sungai yang tenang di bawah malam. Tubuhku menyimpan
seluruh jenis bau toilet umum yang dimiliki pemerintah, serupa
cara orang buta menampung seluruh kosakata percakapan tentang
kota tempatnya tinggal.
Aku tak pernah tahu siapa yang berulang mengencingiku
dan mewariskan perasaan terlantar sebusuk ini.
Mataku melihat waktu mirip lubang sanitasi dalam adegan
bunyi dari keran yang tak sempurna dimatikan.
Tapi malam ini tubuhku telah disewa seorang lelaki, yang
kedalaman mata dan dagingnya menyimpan doa-doa tua tak
dikabulkan. Degup jantungnya mirip kebenaran yang menangis,
menahan isak dan bisik. Aku lupakan diriku, sebab lebih dulu
khusuk mendengar bekas jerit kemiskinan yang jauh.
“Kelelakianku berabad-abad difermentasi pembangunan,”
katanya. Aku tak mengerti. Lalu ia bilang, aku telah lebih
dari sekadar mengerti. Tapi aku makin tak mengerti. Ia
memandangku seperti megah monumen dan mulai bicara
seperti pidato pemabuk kepada patung pendiri kota.
Menjadi miskin adalah kesialan. Menjadi miskin dan
terdidik sekaligus adalah kutukan! Tapi menjadi miskin
dan terdidik dan memiliki istri berlidah alarm adalah
ketololan yang tak mungkin sepenuhnya direncanakan
tuhan. 17 tahun menghuni rumah berlantai seng!
“Takkah kau merasa lahir kembali di losmen ini?” ujarnya,
mirip sungai yang telah lama dan bosan jadi milik para pelupa.
“Bukankah pintu itu seperti vagina Ibu; yang memberikan
tubuhmu kepada dunia baru, sekaligus menyediakan
rasa kepulangan paling purba?” Aku diam.
Aku tidak mengerti! Sampai lelaki itu tidur di sampingku
seperti bayi—dan pagi; datang seperti menagih hutang,
aku tetap tidak mengerti.
2017
Dongeng Sebotol Irisan Lemon
Irisan lemon bergoyang-goyang dalam genggaman. Tangan
yang pada hari itu menerima dering kematian akhirnya terbebas
dari gestur basa-basi di sebuah hotel tempat orang-orang hebat
membicarakan rancangan-rancangan rahasia terbodohnya.
Tapi ia masih harus menunggu; dua jam menatap pesawat
lalu lalang—dan merapikan kata-kata terakhir yang tercecer
dalam suatu pertengkaran. Lima purnama sebelum sore itu
memaksa diam merangkumnya kembali jadi hadiah natal.
“Maaf, ingkar janji, dan penyesalan mesti terjadwal di kota ini.
Juga jatuh cinta. Selain kematian, semua harus direncanakan!”
Jingga senja melapisi bilah kaca. Silau memasuki ruang tunggu
Lalu turun gerimis. Seperti hujan yang berbisik. Ia meminjam aura
langit dan lukisan angin pada awan-awan dari luar jendela; lantas
mengalihkan pandangan pada botol yang ia genggam. Matanya
seakan melihat dasar laut yang tertidur dalam rahim perempuan.
Irisan lemon bergoyang-goyang, “Kematian seharga dua hari cuti!”
gumamnya. “Kerja seperti mengunyah permen karet seumur hidup.”
23 menit dari kalimat itu, ia sadar: bahwa sesal tak banyak gunanya
dan pesawat yang akan ditumpanginya telah meninggalkan bandara.
2017
Subuh di Sekitar Stasiun Senen
Jika kamu lelaki, kamu boleh mencintai lelaki atau perempuan.
Jika kamu perempuan, kamu boleh mencintai perempuan atau lelaki.
Kaya atau miskin. Seiman atau yang kafir. Tapi jika kamu miskin,
kamu hanya boleh mencintai sesamamu.
***
Ujarnya, subuh itu. Sembari mengemasi barang ke dalam gerobak,
ia mengeluh seperti menyatakan simpulan filsafat untuk terakhir kali
dan tak akan mengatakannya lagi kepada siapapun.
Tubuh lelaki itu legam dan dagingnya seolah selalu mengenakan balsam,
tatapannya mengerikan; menyerupai segelas anggur putih yang merendam
sebilah pisau. Matanya seolah jadi gudang fermentasi bagi dusta, dendam,
dan kesulitan memahami kegunaan tuhan dan negara.
Ia suguhkan teh hangat, lalu berkata: “Kamu pelanggan terakhirku.”
Kudengar kalimat itu seperti bisikan seorang pemalak di ujung gang.
Langit timur memutih ketika ia selesai beres-beres kemudian duduk
di sebelahku. Bokongnya mengeluarkan suara krak cocacola yang jatuh.
Aku terkejut dalam sebuah mode silent. Lalu menjadi getar ketika ia
menebak merek parfumku; dan tepat!
Sepasang suami-istri bersarung dan bermukena tiba-tiba melintas,
menyadap ke arah masa depan. Tatapan mereka seperti memergoki
pembalut yang lepas dari sepasang mata kami yang saling sipilis.
2017
Halim Bahriz lahit di Lumajang, 1989. Buku puisinya yang telah terbit, Punggung-Dada (2012). Meraih juara pertama Festival Sastra UGM kategori cipta puisi (2015). Menerima Piala Jendral Polisi Hoegeng dalam acara Proyek Seni Indonesia Berkabung kategori puisi (2015). Mengikuti Penulisan Kritik Seni Rupa dan Kurator Muda (DKJ-Ruangrupa: 2014) dan Bengkel Riset Penulisan Naskah Drama (DKJ: 2015). Buku kumpulan cerpennya yang baru saja terbit, Kolektor Mitos (Langgam Pustaka: 2017). Twitter [@] silakedua
Puisi
Sajak Sajak Angga Wijaya

Lidah Dimana-mana
Langit sampaikan pesan, seakan berkata
“Aku meniup nyawa, menumbuhkan lidah
di tubuh, bukan semata hanya percuma.
Lidah untuk berkata yang baik, bukan untuk
bergunjing, bak cerita sinetron menjelma
racun pagi hingga malam hari”
Namun terjadi sebaliknya; dimana-mana,
orang kerap gunakan lidah untuk hal buruk.
Gemar bicara tak benar, kaum munafik di
kitab suci yang hanya jadi sesembahan.
Jangan terlalu berharap pada gerombolan,
mereka membunuh kita dengan kata pedas.
Mata yang berbinar seiring percakapan yang
makin panas. Seperti dalam film, kumpulan
makhluk malas tak berguna. Ada yang
kurang jika tak membicarakan orang lain.
Seakan mereka paling utama dan sempurna
Kuman di seberang lautan tampak begitu jelas
Lidah menjulur dari segala tempat; layar ponsel
pintar, pintu, jendela bahkan dari lubang kemaluan
manusia itu. Hingga pada suatu waktu, di alam
setelah kematian, lidah mereka terbagi menjadi
potongan kecil, tumbuh di sekujur tubuh yang
terpanggang api abadi neraka. Cerita itu
kudengar berkali-kali beberapa hari ini.
2020
Penyair Melihat Hujan
Dari kamar lantai dua kontrakan, penyair itu melihat hujan
Suara air jatuh di atap rumah sebelah yang baru dibangun
Ia kehilangan langit tempat awan berarak, sumber inspirasi
ketika ia menulis puisi. Kini di depannya hanya hamparan
tembok. Tapi tak apa, semua akan menjadi biasa oleh hal itu
Hujan ternyata tak lama, hanya mampir sebentar basahi malam
yang amat gerah.Istrinya tertidur pulas, setelah seharian bekerja
di toko bangunan sebagai tenaga administrasi. Kucing tak tampak
di kamar, mereka beranjak setelah mendapat makanan.Pergi malam
hari dan kembali di pagi hari sesuka hati bagai raja di istana.
Penyair itu belum juga tertidur, ia bahagia kini bisa bekerja lagi.
Kemarin kawan di ibu kota menelponnya, ia ditawari menjadi
Wartawan budaya. Istri juga ikut senang, setidaknya
bebannya berkurang karena kini ada pemasukan baru
Tak risau ketika melihat saldo tabungan terus berkurang
Terlalu bahagia juga tak baik, sebab itu bisa membuat senyawa
dalam otak tak seimbang. Penyair itu ingin meminum obat tidur,
tapi ia menundanya. Biarlah malam ini ia merayakan kebahagiaan
dengan duduk di beranda memandangi sisa hujan dan udara dingin
Ia bersyukur telah diberi ruang untuk menjadi dirinya. Sudah enam
buku ia tulis dalam dua tahun ini. Tak pernah terpikir sebelumnya,
kini ia menjadi penulis. Mencintai hidup dengan segala upaya,
seperti hujan selalu tepat janji, datang saat amat dirindukan.
2020
Beranda Rumah Sakit Jiwa
Bisa keluar ruangan bangsal begitu
membahagiakan. Bagai raja sehari,
duduk menonton berita di televisi.
Tapi hati-hati, benda itu bisa bicara
Bercakap-cakap dengan kegilaan
Mengajakmu berbincang berdua
Pengatur saluran terus kau ganti
Perawat tersenyum lalu melarang
Mengajakmu kembali ke bangsal
“Coba ramal saya, kamu indigo?
kudengar kabar tentang dirimu
akhir-akhir ini saya sering lelah”
Aku menjawab dengan tuntas
Di matanya kulihat rasa cemas
Kebosanan jelang menopause
Kami berpisah saat senja tiba
Berbisik ia pada teman sejawat
Tepat saat pintu terali dibuka
“Skizofrenia Paranoid. Kasihan.
Kudengar ia mahasiswa pintar,
ditinggal kekasih amat dicinta”
Aku tersenyum mendengarnya
Batas kewarasan sangat tipis
Tak ada cermin untuk berkaca
2020
Belajar Bercinta
Sepasang anak muda itu hidup bersama. Berbagi banyak hal;
cinta, uang, air mata. Pelaminan selalu dinanti, tapi apa daya
kantong lebih sering kosong. Biaya hidup mesti dipenuhi;
kontrakan, listrik, air, pulsa juga kuota internet untuk bekerja
dan hiburan pelepas lelah selepas rutinitas.
Jangan kalian pikir ini hanya soal asmara atau hubungan ranjang.
Mereka telah lama beranjak dari hal itu. Cinta tak hanya seks,
ia lebih agung dari naluri rendah ini. Bisa jadi, mereka telah lama
belajar bercinta. Tahun-tahun awal kamar menjadi saksi percintaan
di ujung senja yang muram.
Pertengkaran beberapa kali menghiasi hari dalam babak hidup
membara,waktu demi waktu. Ada saatnya mereka bersedih
kehilangan seekor kucing, ada kala tawa penuhi ruang hati tak
sepi oleh kesunyian. Cinta menjadi dasar rumah jiwa yang
merdeka. Aku adalah saksi apa yang mereka alami.
2020
___
I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak SMA saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Buku kumpulan puisi terbarunya, Tidur di Hari Minggu (2020). Selain penulis,sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan di Denpasar.
.
COFFEESOPHIA
Tak Ada Sajak di Kafe-Kafe

I

(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
ISBN 978-623-93949-0-5
____
Puisi Sabiq Carebesth dalam buku ini menggunakan banyak kata yang berfungsi menebar berbagai asosiasi.Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat—Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi—dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
-Afrizal Malna, Penyair.
__
Buku ini bisa dipesan via kontak whatsapp 082111450777 atau tokopedia bookcoffeeandmore
Rp. 100.000
Aku tak menulis sajak untuk pembaca
Mereka mudah murka dan kecewa
Sajak-sajakku bukan pelipur lara
Aku menulis sajak untuk angin
Mereka hening dan luas.
Di sana
Sajak-sajakku bisa rebah istirah
Sebab kerap
Ia lelah menempuh jalan panjang
Melewati tiap hampa dan sia-sia;
Ia rapuh dan lambat
Tapi senantiasa mencari puncak;
Di sana hanya hening
Di sana hanya kekosongan;
Selalu hanya sejenak
Tapi sajakku memahami
Terjalnya jalan kembali ke mula
Ingatan dari mana ia lahir
Merepih jalan memuncak.
II
Aku pernah mengira sajakku terbuat dari waktu
Mengira tersusun dari sore yang menderita
Dengan bunyi senja yang beringsut pada gelap
Dangan tatakan dari kayu di mana jiwa dibelah;
Sementara kuncup bunga tetap mekar tak iba—
pada sajakku.
Tapi sajakku tak dibuat untuk pembaca
Sajakku memang bukan sajak
Ia hanya sajak—memenuhi takdirnya
Untuk memapah jiwa-jiwa
Keluar dari sekam hampa
Agar senantiasa berdetak
Meski dengan suara jauh
Meski dengan kebisuan serigala
Serupa kepak rajawali di pucuk langit
Atau suara kesunyian tempat ibadah
Yang ditinggalkan hasrat para penyembah
Karena kematian yang tak memberi aba
III
Sajakku
Sajak-sajak rapuh
Yang tak sanggup bertahan
Untuk sampai pada pembacanya
Ia lahir lalu mendaki
Kembali pada sepi sebelum sempat
Duduk di antara pengunjung kafe
Yang tak pernah sempat menuntaskan
Menulis sajak tentang sajak-sajak
Tapi kini tak ada sajak di kafe-kafe
Sebab di luar hujan membadai
Orang-orang berlindung dalam kaca
Senantiasa sia-sia dan mengulanginya
Mereka membayar gairah
Dengan cinta yang ditambatkan sejenak
dan terburu;
Tak sempat bercumbu
Sibuk mengulur waktu
Seolah waktu segera habis
Dan kebisuan pun tak sempat memakna
IV
Aku menulis sajakku di kafe
Tapi sajakku bukan sajak
Sajakku tidak ditulis
Untuk dibaca para pembaca
Aku menulis sajak di kafe
Tapi tak ada sajak di kafe-kafe
Dan kau menunggu akhir sajakku?
Aku tidak menulis sajak untukmu
Aku telah menghapus dendam sukmaku
Sebelum sempat menjadi sajak
Maka sajakku tak punya kekuatan
Untuk meledak dan menulis sejarah
Waktu selalu lekas
Tapi sajak-sajak tidak
Sebab ia kedinginan
Seperti rumah yang ditinggalkan
Seperti pendaki di ujung petang
Ia hanya ingin istirah
Atau pohon-pohon kepurbaan akan menelannya
Hilang dalam gerbang sepi
Membeku bersama dingin
yang tak mungkin dipahaminya.
V
Kenapa sajak-sajak harus ditulis untuk pembaca?
Sajakku tak kutulis untuk pembaca!
Aku tak ingin sajakku dibaca
Sajakku bukan sajak
Aku ingin sajakku dibentangkan
Dalam sukma sehingga jiwamu membahana
Atau biarkan sajakku
Menjadi lumut pepohonan
Yang mewarnai jiwa
Menjadi selimut bagi tubuh waktu
Dan ketika para serigala menjadi sepi
Sajakku menjulang mengabarkan nyanyian
Agar sang rajawali kembali
Menemui kekasihnya yang tersesat
Di antara belantara kesepian
Di antara pepohonan purba
Dan para pendaki masih mencari
Nyanyian bagi jiwanya yang duka
Maka kutulis sajakku
Untuk menjadi kabut
Selimut bagi jiwa yang beku
Agar penantiannya menumbuhkan dedaunan rindu
Yang berguguran di hutan-hutan waktu
Menjadi api bagi peziarah puncak
Dengannya kehangatan menyerta
Peziarah tiba di puncaknya
Dan sajakku merayakan kenangannya
Sendirian..
VI
Sementara di kafe aku memesan kopi
Sambil melihat matahari berwarna putih
Aku tak juga mendapati sajak-sajak
Tak mendapati dedaunan dan peziarah
Tidak serigala kedinginan
Tidak juga rajawali yang kesepian
Kekasihku pun tak ada
Aku mencari sajak-sajakku
Tak ada yang membacakannya
Di kafe hanya pendusta
Yang membual tentang mimpi
Menebus hasrat dengan cinta
Yang sebentar dan tak berbalas
Masing-masing menjauh dari jiwanya
Kehilangan sajak-sajak milik jiwanya
Dan sajakku tak kunjung berhenti
Bernyayi ria dalam tarian kalbuku
Ia ingin berkisah tapi aku mulai lelah
VII
Aku harus pulang
Membawakan sisa sajakku
Anak gadisku telah menunggu
Di ranjang dengan ribuan malaikat
Menantiku membacakan sajak-sajakku
Di rumah kubacakan sajakku
Untuknya entah ratusan malaikat:
“Tak ada sajak di kafe-kafe
Pergilah pada jauh
Mendakilah pada hasrat
Sebab cinta membawa para ksatria
Pergi berperang sebagai martir
Untuk menaklukkan kesepiannya sendiri
Maka jadikan tanganmu perisai
Dan hatimu martir.”
___
Sabiq Carebesth, 2019
Puisi
Samsara Duka


(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat–ekspresionis. Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi— dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
____
Afrizal Malna, dalam pengantar untuk buku Samsara Duka
Kirab malam dengan panji-panji hitam di malam larut; hujan dengan lolongan serigala berusia berabad yang terkutuk oleh nasibnya sendiri—sebagai penjaga gerbang sunyi antara malam dan larut; onggokan jiwanya telah melihat cahaya dan mentari terindah yang tak mungkin lagi jadi bagiannya. Ia telah tahu ke mana kembara—hanya berujung laut mati bagi matanya: ia telah tahu kemana kelana hanya memperpanjang usia dukanya—tetapi tinggal tiada siapa datang—tidak duka tidak cintanya yang lalu, waktu telah memasungnya sebagai tugu kesunyian di kota dengan lampu-lampu warna rembulan atau di antara dinding-dinding kafe dan galak tawa muram dari jiwa-jiwa yang diburu ingatan pada luka dan kepalsuan . O hendak bagaimana ia tuju lautan dalam jiwanya? Embun dan kabut, terik dan sunyi tak menjelmakan apa-apa; sungai-sungai kering, danau-danau bisu, dan gunung-gunung hanya lintasan beku—sedang malam penuh rembulan; dan tak satu lagu pun dapat dikenang. Jiwanya akan mati sebagai penjaga malam dengan lolongan timur dan barat yang gemanya menari-narikan angin, dan pohon-pohon purba sama birunya dengan lumut-lumut waktu yang tak lagi bisa ditakar; seperti usia kerinduan yang telah jadi abadi dalam kefanaan saban hari; begitulah akhir cerita semua cinta sejati; membenam dalam kepurbaan, menjadi langit dan gemintang; menjadi perjalanan dan duka cinta, genangan kenangan tentang ranum bibir belia, atau pipi merah jambu yang terbakar terik mentari pertama di laut timur, atau payudara yang bercahaya; atau botol-botol bir di redup hotel-hotel, jendela kereta yang membekukan gerak dan batin, tempat-tempat dan kesunyian yang tak sempat dikunjungi atau apa saja dalam segala rupa samsara—yang tak mungkin dimiliki kecuali dukanya; atau segala rupa panji-panji hitam waktu yang tak mungkin diulang kembali; sebagai gelak tawa atau percumbuan penuh duka—yang mengantar pecinta ke puncak kekosongan. (*)
Jakarta, 28 April 2020
Sabiq Carebesth
___
*) Buku sajak ini akan diterbitan Galeri Buku Jakarta pada pekan ke 4 Agustus 2020. Untuk info pemesanan silakan kontak whatsapp +62 813-1684-2110 (Book Coffee and More )