Puisi
Puisi-Puisi Goenawan Mohamad

Marco Polo
Hari masih gelap, hari Rabu itu, ketika Marco Polo pulang,
jam 6 pagi di musim gugur, beberapa abad kemudian.
I
Di dermaga Ponte Rialto tak dikenalinya lagi
camar pertama. Di parapet jembatan itu
tak bisa ia baca lagi beberapa huruf tua
sepanjang kanal.
Hanya dilihatnya seorang perempuan Vietnam
mendaki tangga batu yang bersampah.
Dan Marco Polo tak tahu pasti
apakah perempuan itu bernyanyi
di antara desau taksi air.
Apakah ia bahagia.
Atau ia hanya ingin menemani seorang hitam
yang berdiri sejak tadi di bawah tiang lampu
di depan kedai pizza, selama angin
merekatkan gerimis.
“Kalian datang dari mana?” pengelana Venezia itu bertanya.
“Tidak dari jauh,” jawab perempuan itu.
“Tidak dari jauh,” jawab orang hitam itu.
Dan camar pertama terbang.
Ia pernah kenal pagi seperti ini:
pagi yang dulu tak menghendakinya pergi.
II
Bau kopi pada cangkir
sebelum kantin membuka pintunya,
bau lisong pada kursi
yang masih belum disiapkan:
yang tak berumah di kota ini
tak akan pernah memulai hari.
III
Dua jam ia coba temukan tanda delima
yang pernah diguratkan di ujung tembok
lorong-lorong sempit.
Tapi Venezia, di tahun 2013 Masehi,
tak lagi menengok
ke arahnya.
IV
Di Plaza San Marco, dari dinding Basilika
malaikat tak bertubuh
menemukan gamis yang dilepas.
“Adakah kau lihat,
seseorang telah menemukan seseorang lain
dan berjalan telanjang
ke arah surga?”
Tak ada yang menjawab.
Hanya Marco Polo yang ingin menjawab.
Tapi dari serambi kafe
orkes memainkan La Cumparsita
dan kursi-kursi putih manari
tak kelihatan, sampai jauh malam
Ketika kemudian datang hujan yang seperti tak sengaja,
Seorang turis berkata: “Akan kubeli topi Jepang
yang dijajakan pada rak,
akan kupasang
ke kepala anak yang hilang dari emaknya.”
V
Menjelang tengah malam, para pedagang Benggali
masih melontarkan benda bercahaya
ke menara lonceng. “Malam belum selesai,” kata mereka,
“malam belum selesai.”
Marco Polo mengerti.
Ia teringat kunang-kunang.
VI
Cahaya-cahaya
setengah bersembunyi
pada jarak 3 kilometer dari laut
Dan laut itu
terbentang
gelap aneh yang lain.
“I must be a mermaid, Rango. I have no fear of dephts
and a great fear of shallow living.” – Anais Nin
VII
Esoknya hari Minggu, dan di bilik Basilika padri itu bertanya:
“Tuan yang lama bepergian, apa yang akan tuan akui sebagai dosa?”
Marco Polo: “Imam yang tergesa-gesa.”
“Saya tak paham.”
Marco Polo: “Aku telah menyaksikan kota yang sempurna.
Dindingnya dipahat dengan akses dan peperangan
di mana tuhan tak menangis.”
VIII
Di Hotel Firenze yang sempit
Marco Polo bermimpi angin rendah dengan harum kemuning.
Ia terbangun.
Ia lapar,
ia tak tahu.
Ia kangen,
ia tak tahu.
Ia hanya tahu ada yang hilang dari selimutnya:
warna ganih, bau sperma,
dan tujuh remah biskuit
yang pernah terserak
di atas meja.
IX
Pada jam makan siang
dari ventilasi kamar
didengarnya imigran-imigran Habsi
bernyanyi,
Aku ingin mengangkut hujan di kaki dewa-dewa,
aku ingin datangkan sejuk sebelum tengah hari besok,
aku akan lepaskan perahu dari kering.
Di antara doa dan nyanyi itu
derak dayung-dayung gondola mematahkan
sunyinya.
X
Sebulan kemudian.
Di hari Senin itu
musim mengeras tua
dan Marco Polo membuka pintu.
Cuaca masih gelap.
Jam 6 pagi.
Biduk akan segera berangkat.
“Tuanku, Tuhanku,
aku tak ingin pergi.”
Ia berlutut.
Ia berlutut tapi dilihatnya laut datang
dengan paras orang mati.
2013
Goenawan Mohamad menulis puisi, esai, dan lakon. Kumpulan puisinya yang terbaru adalah Gandari dan Sejumlah Sajak (2013)
Sumber: PUISI KOMPAS, MINGGU, 23 Februari 2014
Puisi
Sajak Sajak Angga Wijaya

Lidah Dimana-mana
Langit sampaikan pesan, seakan berkata
“Aku meniup nyawa, menumbuhkan lidah
di tubuh, bukan semata hanya percuma.
Lidah untuk berkata yang baik, bukan untuk
bergunjing, bak cerita sinetron menjelma
racun pagi hingga malam hari”
Namun terjadi sebaliknya; dimana-mana,
orang kerap gunakan lidah untuk hal buruk.
Gemar bicara tak benar, kaum munafik di
kitab suci yang hanya jadi sesembahan.
Jangan terlalu berharap pada gerombolan,
mereka membunuh kita dengan kata pedas.
Mata yang berbinar seiring percakapan yang
makin panas. Seperti dalam film, kumpulan
makhluk malas tak berguna. Ada yang
kurang jika tak membicarakan orang lain.
Seakan mereka paling utama dan sempurna
Kuman di seberang lautan tampak begitu jelas
Lidah menjulur dari segala tempat; layar ponsel
pintar, pintu, jendela bahkan dari lubang kemaluan
manusia itu. Hingga pada suatu waktu, di alam
setelah kematian, lidah mereka terbagi menjadi
potongan kecil, tumbuh di sekujur tubuh yang
terpanggang api abadi neraka. Cerita itu
kudengar berkali-kali beberapa hari ini.
2020
Penyair Melihat Hujan
Dari kamar lantai dua kontrakan, penyair itu melihat hujan
Suara air jatuh di atap rumah sebelah yang baru dibangun
Ia kehilangan langit tempat awan berarak, sumber inspirasi
ketika ia menulis puisi. Kini di depannya hanya hamparan
tembok. Tapi tak apa, semua akan menjadi biasa oleh hal itu
Hujan ternyata tak lama, hanya mampir sebentar basahi malam
yang amat gerah.Istrinya tertidur pulas, setelah seharian bekerja
di toko bangunan sebagai tenaga administrasi. Kucing tak tampak
di kamar, mereka beranjak setelah mendapat makanan.Pergi malam
hari dan kembali di pagi hari sesuka hati bagai raja di istana.
Penyair itu belum juga tertidur, ia bahagia kini bisa bekerja lagi.
Kemarin kawan di ibu kota menelponnya, ia ditawari menjadi
Wartawan budaya. Istri juga ikut senang, setidaknya
bebannya berkurang karena kini ada pemasukan baru
Tak risau ketika melihat saldo tabungan terus berkurang
Terlalu bahagia juga tak baik, sebab itu bisa membuat senyawa
dalam otak tak seimbang. Penyair itu ingin meminum obat tidur,
tapi ia menundanya. Biarlah malam ini ia merayakan kebahagiaan
dengan duduk di beranda memandangi sisa hujan dan udara dingin
Ia bersyukur telah diberi ruang untuk menjadi dirinya. Sudah enam
buku ia tulis dalam dua tahun ini. Tak pernah terpikir sebelumnya,
kini ia menjadi penulis. Mencintai hidup dengan segala upaya,
seperti hujan selalu tepat janji, datang saat amat dirindukan.
2020
Beranda Rumah Sakit Jiwa
Bisa keluar ruangan bangsal begitu
membahagiakan. Bagai raja sehari,
duduk menonton berita di televisi.
Tapi hati-hati, benda itu bisa bicara
Bercakap-cakap dengan kegilaan
Mengajakmu berbincang berdua
Pengatur saluran terus kau ganti
Perawat tersenyum lalu melarang
Mengajakmu kembali ke bangsal
“Coba ramal saya, kamu indigo?
kudengar kabar tentang dirimu
akhir-akhir ini saya sering lelah”
Aku menjawab dengan tuntas
Di matanya kulihat rasa cemas
Kebosanan jelang menopause
Kami berpisah saat senja tiba
Berbisik ia pada teman sejawat
Tepat saat pintu terali dibuka
“Skizofrenia Paranoid. Kasihan.
Kudengar ia mahasiswa pintar,
ditinggal kekasih amat dicinta”
Aku tersenyum mendengarnya
Batas kewarasan sangat tipis
Tak ada cermin untuk berkaca
2020
Belajar Bercinta
Sepasang anak muda itu hidup bersama. Berbagi banyak hal;
cinta, uang, air mata. Pelaminan selalu dinanti, tapi apa daya
kantong lebih sering kosong. Biaya hidup mesti dipenuhi;
kontrakan, listrik, air, pulsa juga kuota internet untuk bekerja
dan hiburan pelepas lelah selepas rutinitas.
Jangan kalian pikir ini hanya soal asmara atau hubungan ranjang.
Mereka telah lama beranjak dari hal itu. Cinta tak hanya seks,
ia lebih agung dari naluri rendah ini. Bisa jadi, mereka telah lama
belajar bercinta. Tahun-tahun awal kamar menjadi saksi percintaan
di ujung senja yang muram.
Pertengkaran beberapa kali menghiasi hari dalam babak hidup
membara,waktu demi waktu. Ada saatnya mereka bersedih
kehilangan seekor kucing, ada kala tawa penuhi ruang hati tak
sepi oleh kesunyian. Cinta menjadi dasar rumah jiwa yang
merdeka. Aku adalah saksi apa yang mereka alami.
2020
___
I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak SMA saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Buku kumpulan puisi terbarunya, Tidur di Hari Minggu (2020). Selain penulis,sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan di Denpasar.
.
COFFEESOPHIA
Tak Ada Sajak di Kafe-Kafe

I

(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
ISBN 978-623-93949-0-5
____
Puisi Sabiq Carebesth dalam buku ini menggunakan banyak kata yang berfungsi menebar berbagai asosiasi.Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat—Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi—dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
-Afrizal Malna, Penyair.
__
Buku ini bisa dipesan via kontak whatsapp 082111450777 atau tokopedia bookcoffeeandmore
Rp. 100.000
Aku tak menulis sajak untuk pembaca
Mereka mudah murka dan kecewa
Sajak-sajakku bukan pelipur lara
Aku menulis sajak untuk angin
Mereka hening dan luas.
Di sana
Sajak-sajakku bisa rebah istirah
Sebab kerap
Ia lelah menempuh jalan panjang
Melewati tiap hampa dan sia-sia;
Ia rapuh dan lambat
Tapi senantiasa mencari puncak;
Di sana hanya hening
Di sana hanya kekosongan;
Selalu hanya sejenak
Tapi sajakku memahami
Terjalnya jalan kembali ke mula
Ingatan dari mana ia lahir
Merepih jalan memuncak.
II
Aku pernah mengira sajakku terbuat dari waktu
Mengira tersusun dari sore yang menderita
Dengan bunyi senja yang beringsut pada gelap
Dangan tatakan dari kayu di mana jiwa dibelah;
Sementara kuncup bunga tetap mekar tak iba—
pada sajakku.
Tapi sajakku tak dibuat untuk pembaca
Sajakku memang bukan sajak
Ia hanya sajak—memenuhi takdirnya
Untuk memapah jiwa-jiwa
Keluar dari sekam hampa
Agar senantiasa berdetak
Meski dengan suara jauh
Meski dengan kebisuan serigala
Serupa kepak rajawali di pucuk langit
Atau suara kesunyian tempat ibadah
Yang ditinggalkan hasrat para penyembah
Karena kematian yang tak memberi aba
III
Sajakku
Sajak-sajak rapuh
Yang tak sanggup bertahan
Untuk sampai pada pembacanya
Ia lahir lalu mendaki
Kembali pada sepi sebelum sempat
Duduk di antara pengunjung kafe
Yang tak pernah sempat menuntaskan
Menulis sajak tentang sajak-sajak
Tapi kini tak ada sajak di kafe-kafe
Sebab di luar hujan membadai
Orang-orang berlindung dalam kaca
Senantiasa sia-sia dan mengulanginya
Mereka membayar gairah
Dengan cinta yang ditambatkan sejenak
dan terburu;
Tak sempat bercumbu
Sibuk mengulur waktu
Seolah waktu segera habis
Dan kebisuan pun tak sempat memakna
IV
Aku menulis sajakku di kafe
Tapi sajakku bukan sajak
Sajakku tidak ditulis
Untuk dibaca para pembaca
Aku menulis sajak di kafe
Tapi tak ada sajak di kafe-kafe
Dan kau menunggu akhir sajakku?
Aku tidak menulis sajak untukmu
Aku telah menghapus dendam sukmaku
Sebelum sempat menjadi sajak
Maka sajakku tak punya kekuatan
Untuk meledak dan menulis sejarah
Waktu selalu lekas
Tapi sajak-sajak tidak
Sebab ia kedinginan
Seperti rumah yang ditinggalkan
Seperti pendaki di ujung petang
Ia hanya ingin istirah
Atau pohon-pohon kepurbaan akan menelannya
Hilang dalam gerbang sepi
Membeku bersama dingin
yang tak mungkin dipahaminya.
V
Kenapa sajak-sajak harus ditulis untuk pembaca?
Sajakku tak kutulis untuk pembaca!
Aku tak ingin sajakku dibaca
Sajakku bukan sajak
Aku ingin sajakku dibentangkan
Dalam sukma sehingga jiwamu membahana
Atau biarkan sajakku
Menjadi lumut pepohonan
Yang mewarnai jiwa
Menjadi selimut bagi tubuh waktu
Dan ketika para serigala menjadi sepi
Sajakku menjulang mengabarkan nyanyian
Agar sang rajawali kembali
Menemui kekasihnya yang tersesat
Di antara belantara kesepian
Di antara pepohonan purba
Dan para pendaki masih mencari
Nyanyian bagi jiwanya yang duka
Maka kutulis sajakku
Untuk menjadi kabut
Selimut bagi jiwa yang beku
Agar penantiannya menumbuhkan dedaunan rindu
Yang berguguran di hutan-hutan waktu
Menjadi api bagi peziarah puncak
Dengannya kehangatan menyerta
Peziarah tiba di puncaknya
Dan sajakku merayakan kenangannya
Sendirian..
VI
Sementara di kafe aku memesan kopi
Sambil melihat matahari berwarna putih
Aku tak juga mendapati sajak-sajak
Tak mendapati dedaunan dan peziarah
Tidak serigala kedinginan
Tidak juga rajawali yang kesepian
Kekasihku pun tak ada
Aku mencari sajak-sajakku
Tak ada yang membacakannya
Di kafe hanya pendusta
Yang membual tentang mimpi
Menebus hasrat dengan cinta
Yang sebentar dan tak berbalas
Masing-masing menjauh dari jiwanya
Kehilangan sajak-sajak milik jiwanya
Dan sajakku tak kunjung berhenti
Bernyayi ria dalam tarian kalbuku
Ia ingin berkisah tapi aku mulai lelah
VII
Aku harus pulang
Membawakan sisa sajakku
Anak gadisku telah menunggu
Di ranjang dengan ribuan malaikat
Menantiku membacakan sajak-sajakku
Di rumah kubacakan sajakku
Untuknya entah ratusan malaikat:
“Tak ada sajak di kafe-kafe
Pergilah pada jauh
Mendakilah pada hasrat
Sebab cinta membawa para ksatria
Pergi berperang sebagai martir
Untuk menaklukkan kesepiannya sendiri
Maka jadikan tanganmu perisai
Dan hatimu martir.”
___
Sabiq Carebesth, 2019
Puisi
Samsara Duka


(Aug, 2020)
by Sabiq Carebesth
Sebuah pilihan atas bahasa yang bertenaga, banjir dan muncrat–ekspresionis. Samsara dan duka dalam kumpulan Sabiq merupakan dua korpus yang berfungsi sebagai baling-baling yang menggerakkan narasi maupun sebagai jangkar; duka dilihat sebagai premis dalam melakukan perifikasi— dan lingkaran Samsara bekerja sebagai semacam makrifat, ngelakoni, jalan penderitaan: lingkaran lumernya batas sensualitas, erotisme, seksualitas dan spritualitas di mana pelacakan atas identitas yang tak lengkap itu dilakukan.
____
Afrizal Malna, dalam pengantar untuk buku Samsara Duka
Kirab malam dengan panji-panji hitam di malam larut; hujan dengan lolongan serigala berusia berabad yang terkutuk oleh nasibnya sendiri—sebagai penjaga gerbang sunyi antara malam dan larut; onggokan jiwanya telah melihat cahaya dan mentari terindah yang tak mungkin lagi jadi bagiannya. Ia telah tahu ke mana kembara—hanya berujung laut mati bagi matanya: ia telah tahu kemana kelana hanya memperpanjang usia dukanya—tetapi tinggal tiada siapa datang—tidak duka tidak cintanya yang lalu, waktu telah memasungnya sebagai tugu kesunyian di kota dengan lampu-lampu warna rembulan atau di antara dinding-dinding kafe dan galak tawa muram dari jiwa-jiwa yang diburu ingatan pada luka dan kepalsuan . O hendak bagaimana ia tuju lautan dalam jiwanya? Embun dan kabut, terik dan sunyi tak menjelmakan apa-apa; sungai-sungai kering, danau-danau bisu, dan gunung-gunung hanya lintasan beku—sedang malam penuh rembulan; dan tak satu lagu pun dapat dikenang. Jiwanya akan mati sebagai penjaga malam dengan lolongan timur dan barat yang gemanya menari-narikan angin, dan pohon-pohon purba sama birunya dengan lumut-lumut waktu yang tak lagi bisa ditakar; seperti usia kerinduan yang telah jadi abadi dalam kefanaan saban hari; begitulah akhir cerita semua cinta sejati; membenam dalam kepurbaan, menjadi langit dan gemintang; menjadi perjalanan dan duka cinta, genangan kenangan tentang ranum bibir belia, atau pipi merah jambu yang terbakar terik mentari pertama di laut timur, atau payudara yang bercahaya; atau botol-botol bir di redup hotel-hotel, jendela kereta yang membekukan gerak dan batin, tempat-tempat dan kesunyian yang tak sempat dikunjungi atau apa saja dalam segala rupa samsara—yang tak mungkin dimiliki kecuali dukanya; atau segala rupa panji-panji hitam waktu yang tak mungkin diulang kembali; sebagai gelak tawa atau percumbuan penuh duka—yang mengantar pecinta ke puncak kekosongan. (*)
Jakarta, 28 April 2020
Sabiq Carebesth
___
*) Buku sajak ini akan diterbitan Galeri Buku Jakarta pada pekan ke 4 Agustus 2020. Untuk info pemesanan silakan kontak whatsapp +62 813-1684-2110 (Book Coffee and More )