

Prose & Poetry
Puisi-Puisi Arya Adikristya
Salatiga
Ini kota tapi desa.
Desa tapi kota.
Kota kedesa-desaan.
Desa kekota-kotaan.
Kota rasa desa.
Desa rasa kota.
Jadi, di sini,
tidak ada yang namanya orang kota.
Tidak juga orang desa.
Ya orang kota-desa.
Ya orang desa-kota.
Ya sejuk ya sumuk.
Ya sumuk ya sejuk.
Hingar bingar siang kota ya ada.
Sunyi lewat jam 10 bengi ya ada.
Tak sepadat Jakarta atau Surabaya.
Tak sesunyi Dukuh Paruk.
Ia ada di tengah-tengah kota tetangga:
Semarang, Solo, Magelang, dan Yogyakarta.
Itulah sebabnya orang-orang kota-desa ini,
hampir setiap pekan pergi keluar kota.
Mereka cari pusat perbelanjaan
dan tempat hiburan murni rasa kota, tanpa desa.
Tapi yang cinta rasa desa,
Mereka ‘kan pergi ke tempat yang lebih sunyi,
tapi tak sunyi-sunyi amat:
Kopeng, Bandungan, Selo, Ambarawa.
Tak ada salahnya.
Tak ada benarnya.
Kota-desa ini memang tak menyajikan kemurnian.
Karena yang murni memang tidak ada.
Yang ada ya sejuk ya sumuk.
Ya sumuk ya sejuk.
Ya ramai ya sunyi.
Ya sunyi ya ramai.
Salatiga, 2016
Budaya(m)
sebagai penggemar nasi tumpang koyor
aku tak mau menghujat penggemar nasi ayam (broiler)
meski nasi ayam menjamur di mana-mana
mulai ayam goreng, ayam kremes, ayam kentuki,
dan ayam sambalasambalabalasambalado
sebagai penggemar nasi tumpang koyor
aku jadi bertanya-tanya tentang popularitas nasi ayam (broiler)
apa benar mereka kekinian
karena McDonaldisasi membumi demikian rupa
tsk tsk tsk, ayam goreng, ayam kremes, ayam kentuki, dan ayam sambalasambalabalasambalado
ini bukan menyoal soal Timur dan Barat
bukan juga soal asing dan lokal
mahal dan murah
populer dan kebalikannya
sehat dan penyakitan
baik dan buruk
capek aja liat makanan berkomposisi ayam!
Salatiga, 2016
Makanria
Senja itu, di rumah makan Manado “Nyiur Melambai”, kukatakan padamu:
“Mudah sekali mencari makanan banyak suku di Salatiga.”
Kau mengangguk setuju,
sambil melahap sate babi di genggaman tangan kananmu.
Aku melanjutkan makan nasi dengan babi tinorangsak di piringku.
Benar saja,
sebentar di Manado, bila ingin, kita bisa saja langsung di Makassar.
Kita pernah makan coto di sana, es palu butung, gogos,
tapi tak pernah memesan sop konro, karena harganya selangit.
Makan coto denganmu,
aku jadi teringat kapan pertama kali aku makan coto.
Semula kupikir coto adalah soto.
Rupanya berbeda. Apalagi, rasanya.
Tapi sampai sekarang,
diam-diam aku terus mengira kalau coto adalah soto khas orang Makassar.
Bila ingin, usai makan babi tinorangsak,
kita bisa lengang bersama ke rumah makan Toraja.
Di sana kita pernah makan bersama.
Memesan babi panggang merah,
komplit dengan sayur daun ketela rebus.
Tak pernah cukup makan sekali di sana.
Car, bila kamu tak takut perutmu melebar,
bolehlah kita menjajal ke rumah makan Batak.
Letaknya hanya beberapa rumah dari rumah makan Toraja.
Aku sudah pernah ke sana.
Tapi kita belum.
Percayalah, di sana,
Bang Petrus siap sedia babi masak Sangsang.
Aku tak pernah tertarik dengan arti namanya,
selain melahap sepiring atau dua atau tiga.
Pun begitu dengan sayur asin dan babi panggangnya,
komplit dengan bumbu darah babi
yang lebih mirip seperti sambel kacang.
Aku tak pernah cukup makan sekali di sana.
Cukuplah dengan babi.
Kata orang yang tak memakannya, itu daging haram.
Tapi perut tak mengenal haram atau halal.
Perut hanya mengenal bisa atau tidak bisa dicerna.
Maka marilah makan ke tempat kesukaan kita: warung rica waung.
Warung ini sedia daging hitam, berlumur bumbu pedas.
Kadang ada lalapannya, ada sambel dabu-dabu,
dan juga merica bubuk atau kecap manis.
Di Pattimura dan Pasar Sapi,
kita pernah tanpa bicara,
sibuk melahap daging anjing hitam ini. Ingat?
Atau mau makanan yang sudah populer di seantero negeri?
Nasi Padang namanya.
Nasi Padang yang enak,
setahuku ada di manapun.
Asalkan gratis.
Yang enak tapi mbayar,
setahuku ada di Jensud, depan Hotel Grand Wahid.
Kamu biasanya makan rendang dan aku gule kambing.
Lalu biasanya kita berbagi lauk.
Bila sayurmu tak habis, aku yang menandaskannya.
Sayang, apa kamu benar-benar tak takut kolesterol dan diabetes?
Kalau tidak,
kita bisa singgah lagi ke warung nasi tumpang koyor di Banjaran.
Di situ langganan kita.
Katamu: “Tumpang koyor paling cocok ya di sini.”
Aku sependapat dan makin cinta padamu saat itu.
Berbeda dengan Sangsang di warungnya Bang Petrus,
aku justru tertarik dengan asal-usul tumpang koyor.
Makanan ini cuma ada di Salatiga.
Tumpang sendiri berasal dari kata “tumpang”.
Artinya “menumpahkan”,
“menumpuk”, atau “menjadikan satu”.
Apanya yang dijadikan satu?
Tempe busuk yang dihancurkan,
cabe-cabean, dan beberapa rempah-rempah
yang tak kumengerti wujudnya.
Sedangkan koyor adalah otot.
Tapi bukan otot daging.
Koyor adalah otot yang menempel di tulang.
Lunak, kenyal, mudah hancur bila dikunyah.
Selain di Banjaran,
kita juga pernah makan di warung Mbah Rakinem.
Tapi katamu: “Di Mbah Rakinem lebih sedikit dan mahal pula.”
Aku setuju. Dan makin cinta padamu saat itu.
Pernah kutanya padamu: “Ada rumah makan apa lagi di Salatiga?”
Kau menyebut satu yang kulupakan: Rumah makan orang Palu.
Aku baru ingat.
Kita pernah sekali makan di sana.
Lalu tak pernah makan lagi.
Entah, aku jadi lupa pernah makan apa di sana.
Barangkali kamu ingat?
Jika kuhitung-hitung, tapi sayangnya aku malas menghitung,
Mungkin sudah ratusan kali kita makan bersama.
Menerangkan malam karena puasa dengan satu tempat makan.
Atau meredupkan siang hanya karena debat soal tempat makan.
Saat ini aku kenyang menulis, tapi lapar di perut.
Lain kali kita harus menjajal gecok di Nanggulan,
sop konro di Kridanggo,
sop brenebon di Nyiur Melambai,
sate kambing Pak Dhar, rica menthok di Pujasera,
lotek Bu Atien di depan kampus UKSW,
nasi goreng empat ribuan di Gamol,
nasi kucing subuh di Pasar Sapi,
soto bening di Jensud,
nasi ruwet di perempatan Sukowati,
warung nasi babi Bali di depan Pizza Hut,
tahu campur Pak Min di Kalitaman,
RW Patemon di Ngawen
dan mengulang lagi tempat-tempat yang tertulis sejak awal.
Meninggalkan familiaritas pada sebuah makanan.
Menelusuri ratusan rasa yang selama ini luput dari lidah.
Salatiga, 2016
The SL3
2013 kudatang ke Salatiga.
Kusenang karena tak ada mol dan gedung tinggi seperti di Surabaya.
Sejuk dan tak terlalu sibuk.
2014 tersiar kabar pembangunan mol. The SL3 namanya.
Kubaru tahu kalau persoalan mol sudah mulai sejak 2010.
2010 investor dari Yogyakarta masuk ke Salatiga.
Didemo. Tertunda. Dan tidak jadi.
2014 investor dari Jakarta masuk ke Salatiga.
Didemo. Tertunda. Tapi jalan lagi.
2015 kulihat beberapa kali kendaraan besar
lalu lalang masuk lahan pembangunan.
Terakhir kulihat benda cagar budaya
yang ada di sana sudah roboh.
2016 kuingat satu ungkapan klasik:
“Salatiga. Silahkan mengota, asal jangan men-Jakarta.”
Kubertanya-tanya sendiri,
apakah The SL3 akan mengubah wajah Salatiga mirip Jakarta?
Oh ya, dekat kosku juga akan dibangun pusat perbelanjaan lainnya:
Pattimura Centre.
Salatiga, 2016
Arya Adikristya: Lahir di Surabaya. Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Aktif di LPM Scientiarum. Biasa menulis di blog sendiri: adikristya.com
Puisi
Puisi Sabiq Carebesth

“Cinta macam apa yang tak membuatmu muda?”
Dalam dunia di mana daun-daun menguning berguguran
Kau kenakan gaun warna merah—dadamu bertalu dipenuhi
Kucup rindu dan cinta yang berbahaya
Rindu yang jadi semenjana semenjak musim menjadi lalu
Dan usia tak lagi muda—dalam dunia yang tua
Kenangan telah menumpuk menjadi temaram pura
Kebebasan yang dulu gemuruh berganti sepi yang lagut
Siapa akan datang mengabarkan nyanyian baru
Hanya para kelana penuh ratap—yang melupakan cinta
Cinta macam apa yang tak membuatmu muda?
Yang tak membuat dunia penuh gemintang abadi
Atau tak ada bedanya sebab waktu telah menjadi kegilaan
Tiap jengkal darinya adalah masa lalu dan masa depan
Masa kini adalah hayalan yang meloloskan diri
Dari dendam masa lalu dan kengerian esok;
Oh sampan itu yang membawa usia mudaku dan usia mudamu
Ke mana perginya masa—larung di sungai yang mana
Labuh di bandar kota mana atau tersesat dan tertambat?
Tapi betapa tak satu pun ingatanku padamu sirna!
Bila saja kota berganti rupa dan dunia baru menyepuh
Biarlah ingatanku padamu tinggal—tak soal bila hanya kenangan
Tapi rambutmu yang berseri, matamu binar—bibirmu segar
Seolah kita hendak berlari di atas laut,
Bagaimana bisa ingatan padamu padam? Meski dunia lupa
Bagaimana kota-kota dibangun; dengan cinta para pertapa
Yang papa dihadapan dunia—
Oh kota macam apa ini? Dibangun untuk membinasakan usia muda
Tidak cinta; tidak rindu; tanpa nafsu tanpa jiwa menari!
Ayo pulang sayangku pada kota lama kita—di mana kita muda
Rambutmu yang berseri, matamu binar—bibirmu segar
Seolah kita hendak berlari di atas laut; atau pergi ke museum
Nanti kubelikan untukmu kembang warna merah
Yang dibuat dari kertas berisi sajakku yang terbakar.
2018
“kelam sajak-sajak; ngeri lagu-lagu”
Betapa gersang dunia kita—tanpa musik dan lembar koran
Seorang datang entah dari dunia yang mana
Meski ia hanya sejengkal dari rumah kita
Seorang bernyanyi tapi ia tak pernah tahu
Dari mana nyanyian dan kidungnya bermula;
Betapa mengerikan dunia kita—
Aku tak menginginkan dunia baru
Hingga dunia kita sekarang kembali menjadi kehidupan
Seorang datang membawa tanda dan kengerian
Seorang lain datang membawa
Tanda dan kengerian yang lain;
Aku memandang pada hidup yang sepi
Tapi kesepian akan menjadi korban sejarah
Siapa bisa tahan, hidup dalam kenang tanpa cinta
Luput dari kasih dan kecantikan jiwa
Nanti lautan berhenti menderu—kalah oleh gemuruhmu
Aku akan terbang menjadi kupu-kupu mona
Mengabarkan kematian jiwa-jiwa
Kelam sajak-sajak; ngeri lagu-lagu
Dunia kita yang padam dunia kita yang muram
Dari jendela rumahmu hujan telah jadi angin
Dengan bau-bau kuburan—menjelang petang
Dunia kita berkabut penuh ketakutan—
hanya pemuja kegelapan berpesta dalam hujan
Tak ada lagi kecantikan—kita telah berhenti menatapnya
Di hadapan dan belakang dari penjuru-penjuru
Orang-orang siap memadamkan cahaya
Betapa rindu aku pada binar matamu…
Betapa pilu jiwaku melihat keletihan manusia.
2018
Classic Poetry
Puisi Georg Trakl

Musim Gugur Yang Cerah
Begitu akhir tahun; penuh megah.
Bertanggar kencana dan buahan ditaman
Sekitar, ya aneh, membisu rimba.
Yang bagi orang sepi menjadi taman.
Lalu petani berkata: nah, sukur.
Kau bermain dengan senja Panjang dan pelan
Masih menghibur dibunyi terakhir
Burung-burung di tengah perjalanan.
Inilah saat cinta yang mungil
Berperahu melayari sungi biru
Indahnya gambaran silih berganti
Semua ditelah istirah membisu.
*) Georg Trakl (3 February 1887 – 3 November 1914) Penyair Austria. Salah satu penyair liris terpenting berbahasa Jerman di abad 21. Ia tak banyak menulis karena meninggal. Overdosis kokain menjadi penyebabnya. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
Classic Poetry
Puisi Rainer Maria Rilke

Hari Musim Gugur
Tuhan: sampai waktu. Musim panas begitu megah.
Lindungkan bayanganmu pada jarum hari
Dan atas padang anginmu lepaslah.
Titahkan buahan penghabisan biar matang:
Beri padanya dua hari dari selatan lagi
Desakkan mereka kemurnian dan baru jadi
Gulang penghabisan dalam anggur yang garang.
Yang kini tidak berumah, tidak kan menegak tiang.
Yang kini sendiri, akan lama tinggal sendiri.
Kan berjaga, membaca, menyurat Panjang sekali
Dan akan pulang kembali melewati gang
Berjalan gelisah, jika dedaunan mengalun pergi.
Musim Gugur
Dedaunan berguguran bagai dari kejauhan,
Seakan di langit berlajuan taman-taman nun jauh;
Gerak-geriknya menampikkan tak rela jatuh.
Dan dalam gulingan malam dunia berat—jatuh
Lepas dari galau gemintang masuk kesunyian.
Kita semua jatuh. Ini tangan bergulingan
Dan padang Akumu itu: tak satu pun luput!
Betapa pun, ada orang yang sambut
Maha lembut ini jatuh di lengan kasihan.
Lagu Asmara
Betapa beta akan tahan jiwaku, supaya
Jangan meresah dikau? Betapa nanti ia
Kuntandai lintas dirimu ke benda lain?
Ah, aku ingin, semoga dapat ia kupisah
Ke dekat suatu sungai di tengah kegelapan
Disuatu tempat, sepi dan asing, nan tidaklah
Lanjut berdesing, bila kalbumu berdesingan.
Tapi semua yang menyentuh kita, kau dan aku,
Bagai penggesek menyatukan; kau dan aku.
Menarik bunyi tunggal dari sepasang tali
Pada bunyian mana kita ini terpasang
Dan ditangan pemain mana kita terpegang?
Wahai lagu berseri.
Dari buku ketika
Kau hari nanti, nyala pagi berkilau
Yang mencerah ranah keabadian
Kau kokok ayam disubuh akhir zaman
Embun, misa pagi dan perawan
Orang asing, sang ibu dan maut.
Kaulah sosok yang berubah-ubah
Yang menjulang dari nasib, selalu sepi
Yang tinggal tak dipuji dan tak diwelasi
Dan belum dipetakan bagai rimbaraya
Kau hakikat benda yang dalam nian
Yang menyimpan kata-kata wujudnya
Dan bagi yang lain selalu lain menyata;
Dipantai bagai kapal, di kapal; daratan.
*) Rainer Maria Rilke (1875-1926): ia kelahiran Praha, Ceko.Dianggap penyair bahasa Jerman terbesar dari abad 20. Karyanya yang terkenal antara lain Sonnets to Orpheus, Duino Elegies, Letters to a Young Poet, dan The Notebooks of Malte Laurids Brigge. | Editorial Team GBJ | Editor: Sabiq Carebesth
-
Interview4 months ago
Haruki Murakami: Saya Kurang Suka Pada Gaya Kepenulisan Realis
-
Classic Poetry4 months ago
Puisi-Puisi Arthur Rimbaud
-
Budaya4 months ago
Mengembalikan Kedigdayaan Maluku
-
Inspirasi4 months ago
Alice Munro: Menulis Harus Disiplin dan Percaya Diri
-
Milenia4 months ago
Drama Korea, Instrumen Pengajaran dan Dosen
-
Milenia4 months ago
Marlina dan Perlawanan Perempuan
-
Kajian3 months ago
Dostoyevsky, Antara Kemuraman Jiwa, Kejahatan Dan Hukuman
-
Kolom3 months ago
Ambilkan Buku, Bu!