Classic Poetry
Kidung Cinta Jalaluddin Rumi

Tanpa Cinta, Segalanya Tak Bernilai
Jika engkau bukan seorang pencinta,
Maka jangan pandang hidupmu adalah hidup
Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan
Dihitung Pada Hari Perhitungan nanti
Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta,
Akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya.
Burung-burung Kesedaran telah turun dari langit
Dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari
Mereka merupakan bintang-bintang di langit
Agama yang dikirim dari langit ke bumi
Demikian pentingnya Penyatuan dengan Allah
Dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya.
Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting
Dalam zikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan
Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira
Bagaikan sekumpulan kebahagiaan
Tetapi wahai bunga Ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan ?
Sang Lili berbisik pada kuncup : “Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan.”
Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan Hati.
Hingga dia akan sampai pada jawaban “YA” dalam pertanyaan :
“Bukankah Aku ini Rabbmu ?”
Pernyataan Cinta
Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata
Kusimpan kasih-Mu dalam dada
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu
Segera saja bagai duri bakarlah aku
Meskipun aku diam tenang bagai ikan
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku
Tariklah misaiku ke dekat-Mu
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?
Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu
Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu
Bagai unta memahah biak makanannya
Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa
Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara
Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata
Aku bagai benih di bawah tanah
Aku menanti tanda musim semi
Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi
Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi…
Cinta : Lautan Tak Bertepi
Cinta adalah lautan tak bertepi
Langit hanyalah serpihan buih belaka
Ketahuilah langit berputar karena gelombang Cinta
Andai tak ada Cinta, Dunia akan membeku
Bila bukan karena Cinta
Bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan?
Bagaimana tumbuhan akan mengorbankan diri demi memperoleh ruh (hewani)?
Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri demi nafas (Ruh) yang menghamili Maryam?
Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju
Tidak dapat terbang serta mencari padang ilalang bagai belalang
Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna
Dan naik ke atas laksana tunas
Cita-cita mereka yang tak terdengar, sesungguhnya, adalah
Lagu pujian Keagungan pada Tuhan…
Kearifan Cinta
Cinta yang dibangkitkan
Oleh khayalan yang salah
Dan tidak pada tempatnya
Bisa saja menghantarkannya
Pada keadaan ekstasi
Namun kenikmatan itu,
Jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya
Kekasih yang sedar akan hadirnya seseorang…
Perih Cinta
Perih Cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta
Tiada penyakit yang dapat menyamai dukacita hati ini
Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi
Apakah dari jamur langit ataupun jamur bumi
Cintalah yang membimbing kita ke Sana pada akhirnya
Akal ’kan sia-sia bahkan menggelepar ’tuk menerangkan Cinta
Bagai keledai dalam lumpur, Cinta adalah sang penerang Cinta itu sendiri
Bukankah matahari yang menyatakan dirinya matahari
Perhatikanlah ia, Seluruh bukit yang kau cari ada di sana…
Cinta
Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya
Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya
Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya
Kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai
Dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta
Yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan
Dia dan mereka adalah dia.Ini adalah sebuah rahasia
Jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya…
*) Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad.
Classic Poetry
Eco homo-Sajak Sajak Friedrich Nietzsche

Eco homo (lihat, manusia)
Ya! Aku tahu asalku dimana
Tak terpuaskan, nyala laiknya
Aku membubus menelan diri
Terang jadinya segala kupegang
Sisa kutinggal; semua arang
Memang nyala hakikat diri.
Mentari Silam
Hari hidupku!
Mentari silam.
Sepuh emas meliputi laut yang rata
Bukit batu panas bernafas; istanakah di atasnya:
Bahagia, dalam nikmat tidur petangnya?
Dalam cahaya hijau
Masih main-main
Bahagia mendaki jurang nan jingga.
Hari hidupku !
Senja telah dibatas
Telah hampir padam nyala matamu
Telah mulai turun rinai tangis embunmu
Telah merata di laut putih;
Merahmu mesra,
Nikmat bimbangmu yang penghabisan….
Dilamun Sepi
Gagak-gagak riuh
Berisik terbang menuju kota
Sebentar… salju turun—
Bahagia orang, yang kini masih—ada kampungnya!
Kini kau kelu
Menoleh, ah, sekian lamanya!
Yang lari kedunia sebelum waktunya!
Duna—gerbang
Keribuan gurun dingin dan bisu
Jang kehilangan,
Bagai kau kehilangan, tak kunjung lesu.
Kini kau lagut
Ternasib kelana dimusim dingin
Ya—asap, tak henti
Mencaari langit-langit lebih dingin
Terbanglah burung
Kumandangkan lagu ala burung gurunmu!
Sembunyikan, anakku
Dalam es dan cerita, hatimu yang luka.
Gagak-gagak riuh.
Berisik terbang menuju kota:
Sebentar… salju turun—
Celaka orang, yang tiada kampugnya.
*) Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), selain penyair adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, kritikus budaya, dan juga komposer.
Classic Poetry
Sajak-Sajak Rasul Gamzatov

Sajak-Sajak Rasul Gamzatov—Sastrawan dari Dagestan
Penerjemah dari Bahasa Rusia: Ladinata Jabarti
___________
BURUNG-BURUNG BANGAU
Kadang kala terasa bagiku, bahwa serdadu-serdadu,
Yang tidak pernah kembali dari ladang-ladang pertempuran berdarah,
Entah pada suatu kapan bukan dibaringkan ke dalam bumi,
Tetapi mereka berubah menjadi kawanan burung bangau berwarna putih.
Burung-burung bangau tersebut sampai waktu kini sejak masa yang jauh itu
Berterbangan dan menyampaikan suaranya kepada kita.
Bukan lantaran itu-kah begitu kerap dan lara
Kita terdiam, seraya memandang-mandang langit?
Pada hari ini, di kala senja mengejar malam,
Aku melihat, bagaimana burung-burung bangau di tengah kabut
Terbang dengan susun-banjar yang pasti,
Bagaimana mereka mengembara seperti galibnya manusia di ladang-ladang.
Burung-burung bangau itu terbang dan menempuh perjalanan yang jauh
Dan mereka memanggil-manggil nama seseorang.
Bukan karena itu-kah bahasa Avar semenjak berabad-abad yang lalu
Serupa dengan teriakan burung-burung bangau?
Terbang, terbang melintas langit sebarisan baji yang kelelahan –
Terbang di tengah kabut pada penghujung hari,
Dan di dalam susun-banjar itu ada ruang kecil –
Bolehlah jadi, itu adalah tempat bagiku!
Bakal datang hari dan dengan kawanan burung-burung bangau itu
Aku akan berlayar di dalam kabut kelabu serupa,
Dan dari balik langit dengan bahasa para burung, aku memanggil-manggil
Kalian semua, yang telah aku tinggalkan di atas permukaan bumi.
KAU – SAJAK PERTAMAKU
Kepadamu aku kembali jatuh hati dan terpaku…
Yang demikian itu tidak bakalan terjadi – demikiankah yang kau ujarkan?
Tetapi pada setiap kedatanganku, tampak bagiku
Paris itu penuh misteri, magis dan selalu baru.
Begitulah yang terjadi. Kau hidup, kau hidup di dalam keberkahan sinar.
Musim semi sedang terjadi – dan seakan buat pertama kalinya
Kau merasakan, betapa belianya angin
Dan kisah tidak konsisten dari butiran salju yang meleleh merupakan sesuatu yang baru.
Buat pertama kalinya aku menuliskan sajak-sajak –
Meski aku menulis sajak sudah sedemikian lama.
Biarkanlah begitu banyak kegembiraan yang meriangkan,
Tetapi aku mengingat hanya sajak terakhir – satu sajak saja.
Begitulah yang terjadi…Tidak ada yang surut, atau pun yang membusuk
Yang dikenal oleh gairah, yang dilahirkan lagi dan lagi.
Kau – sajak pertamaku
Dan cinta pertama, dan cinta yang tidak bakal pernah mati.
TIDAK ADA YANG LEBIH INDAH
Hidup itu tidak dapat dikira. Kita semua ada di dalam kekuasaannya.
Kita bersungut kepada kehidupan dan menyerapahinya.
Semakin rumit hidup, semakin berbahaya –
Semakin jadi putus asa kita mencintainya.
Aku melangkah di jalan yang tidaklah mudah,
Lubang-lubang, kubangan-kubangan – hanya, aku, bertahanlah!
Tetapi tidak ada seorang pun yang memikirkan, sesungguhnya,
Mengenai sesuatu pun, yang lebih indah, dibandingkan kehidupan.
CINTA, YANG DATANG KEPADAKU PADA MUSIM SEMI ITU
Tahun-tahun berlaluan, dengan mengambil dan memberi,
Kadang – melalui hati secara terang-terangan, kadang dengan jalan memutar,
Dan jangan menutup lembaran-lembaran kalender dan
Cinta, yang datang kepadaku pada musim semi itu.
Segalanya berubah – kadang mimpi, kadang waktu.
Segalanya berubah – kampungku dan bumi raya.
Segalanya berubah. Hanya satu yang tidak berubah
Cinta, yang datang kepadaku pada musim semi itu.
Ke manakah badai telah membawa kalian, kawan-kawanku?
Masih belum begitu lama juga kalian mengadakan pesta denganku.
Kini aku melihat satu-satunya kawan –
Cinta, yang datang kepadaku pada musim semi itu.
Baiklah, aku akan tunduk kepada tahun-tahun yang mendatang,
Akan aku berikan segalanya kepada mereka – kemilaunya siang dan sinarnya malam.
Hanyalah satu– biarkan orang-orang tidak memintanya! – yang tidak bakal aku berikan:
Cinta, yang datang kepadaku pada musim semi itu.
DAGESTAN
Manakala aku, yang berpergian ke banyak negara,
Dan kelelahan, kembali dari jalan, pulang ke rumah,
Dagestan bertanya, seraya membungkuk di atasku:
“Tidak adakah pelosok jauh, yang membuatmu jatuh hati?”
Aku pun menaiki gunung dan dari ketinggian itu,
Setelah menghela nafas dalam-dalam, kepadanya aku jawab:
“Tidaklah sedikit pelosok yang aku lihat, tetapi kau
Sebagaimana dulu memang tempat yang paling dicintai di muka bumi.”
Aku, bisa jadi, memang jarang bersumpah kepadamu dalam soal cinta,
Mencintai bukanlah sesuatu yang baru, tetapi bersumpah juga bukan sesuatu yang baru,
Aku mencintai dengan diam-diam, lantaran aku waswas:
Kata-kata yang diulang ratusan kali bakalan memudar.
Dan jika kepadamu, setiap anak laki-laki dari tempat ini
Seraya berteriak, seperti seorang bentara, akan bersumpah dalam soal cinta,
Maka batu-batu karang milikmu akan merasa jemu
Baik mendengar, maupun menjawab gema di dalam kejauhan.
Ketika kau tenggelam di dalam airmata dan darah,
Anak-anak lelakimu, yang sedikit berujar,
Pergi ke kematian, dan dengan sumpah diabdikannya perasaan cinta.
Terdengar tembang hebat dari bilah-bilah pisau belati.
Dan setelahnya, ketika pertempuran mereda,
Kepadamu, wahai Dagestan, di dalam cinta sejati
Anak-anakmu yang tidak banyak bicara bersumpah
Dengan beliung yang dipukul-pukul dan sabit yang mendencing.
Selama berabad-abad kau mengajarkan semua orang dan aku
Untuk bekerja dan hidup tidak dengan berisik, tetapi berani,
Kau mengajarkan, bahwasanya kata-kata lebih berharga dibandingkan kuda,
Dan orang-orang gunung tidak akan memasangkan pelana tanpa urusan.
Dan bagaimanapun juga, setelah kembali kepadamu dari tempat-tempat yang asing,
Dari kota-kota yang jauh, baik yang riuh bicara maupun yang penuh akal,
Aku masih saja kesulitan untuk berdiam, manakala mendengarkan suara-suara
Dari ricikanmu yang menembang dan suara gunung-gunungmu yang bermartabat.
SANTA CLARA
Sampai pagi hari di boulevard aku berjalan-jalan,
Aku masih belum semuanya melihat Santa Clara
Barangkali, Santa Clara dari dongengan kuno –
Kota dengan penamaan yang demikian halus?
Semuanya aku ulangi dengan lembut: Santa Clara.
Dan aku memanggil dengan segala harap: Santa Clara.
Dan aku melirih dengan lara: Santa Clara.
Dan aku berdiri di dalam diam: Santa Clara.
Siapatah yang mendirikan sebagai kehormatan bagi perempuan kecintaannya
Kota indah yang tak tertiru ini?
Siapatah yang memberikan hadiah kepada pengantin perempuannya
Kota ini – sebagai satu dongengan, kota ini – sebagai satu tembang?
Aku mendengar, di kejauhan terdengar suara gitar.
Kepadamu aku akui, Santa Clara:
Hidupku ini indah dan kaya
Dengan nama-nama, yang sakral bagi hati.
Itu adalah bunda – kau dengar, Santa Clara
Itu adalah anak perempuan – o, lebih tenanglah, Santa Clara
Dan saudara perempuanku di kampung tua.
Dan istriku, ah, Santa Clara!
Kalau saja aku mampu membikin keajaiban –
Aku bakal dirikan kota-kota di mana pun
Kota-kota di seberang sungai, di balik gunung-gunung
Dan aku menamainya dengan nama-nama yang indah.
Kalau saja setiap kota ditahbiskan
Dengan nama-nama perempuan yang sangat luar biasa,
Orang-orang akan dapat tidur dengan tenang
Dan perseteruan dan perang akan menghilang.
Semua orang akan mengulang pada tiap jamnya
Nama-nama kawan perempuan yang indah –
Serupa, seperti di dalam kesunyian boulevard-mu
Dan sampai pagi hari aku ulang-ulang: Santa Clara…
________________________
*) RASUL GAMZATOV
Rasul Gamzatovich Gamzatov (1923-2003) dilahirkan di desa Tsada, distrik Khunzakhsky, Dagestan, di dalam keluarga sastrawan Gamzat Tsadasa. Ayahnya tersebut merupakan seorang guru dan mentor pertamanya di dalam seni sajak. Sajak pertama Rasul Gamzatov ditulis ketika dia berumur sebelas tahun.
Setelah lulus dari sekolah setempat, Rasul Gamzatov masuk ke sekolah pedagogi. Kemudian dia menjadi seorang guru, tetapi tidak begitu lama dan beberapa kali dia mengubah profesi: pernah menjadi asisten sutradara di teater keliling Avar, koresponden di surat kabar Bolshevik Mountains, dan bekerja di radio.
Pada tahun 1943 Gamzatov mempublikasikan kumpulan puisi pertamanya di dalam bahasa Avar, Fiery Love dan Burning Hate.
Pada tahun 1945-1950 Gamzatov belajar di The Maxim Gorky Literature Institute. Setelah menamatkan pendidikannya, Rasul Gamzatov pada tahun 1951 menjadi Chairman of the Union of Writers of Dagestan, tempat dia mengabdi sampai akhir hayatnya pada tahun 2003.
Karya-karya ternama Gamzatov, antara lain: The Older Brother (1952), Dagestani Spring (1955), Miner (1958), My Heart is in The Hills (1959), Two Shawls, Letters (1963), novel liris My Dagestan (1967-1971), Rosary of Years (1968), By The Hearth (1978), Island of Women (1983), dan Wheel of Life (1987).
Pada tahun 1952 Gamzatov dihadiahi the State Stalin Prize untuk karya kumpulan puisinya The Year of My Birth, tahun 1963 – The Lenin Prize untuk karyanya High Star, dan tahun 1981 – The International Botev Prize, suatu penghargaan yang didasarkan kepada nama sastrawan ternama Bulgaria dan juga seorang tokoh Revolusioner: Hristo Botev.
Monumen Gamzatov, sebagai suatu penghargaan yang tinggi dari pemerintah Rusia dan orang-orang Dagestan, diresmikan pada 5 Juli 2013 di Yauzsky Boulevard, Moskow. Monumen tersebut didirikan untuk merayakan 90 tahun kelahiran Rasul Gamzatov.
Sangatlah mungkin, Rasul Gamzatov merupakan satu-satunya sastrawan yang paling dikenal, yang menulis di dalam bahasa Avar atau Avarik, yakni bahasa yang digunakan, terutamanya, di bagian barat dan selatan Republik Kaukasus-Rusia di Dagestan, daerah Balaken, Zaqatala di barat laut Azerbaijan. Penutur bahasa ini diperkirakan hanya sekitar 762.000 orang dan UNESCO mengklasifikasikan bahasa Avar ini sebagai bahasa yang rentan terhadap kepunahan.
Classic Poetry
Kidung Sajak Nizar Qabbani

Sajak
1/
Kawan
Kata-kata lama telah mati.
Buku-buku lama telah mati.
Pembicaraan kita mengenai lubang seperti sepatu usang telah mati.
Mati adalah pikiran yang mengarahkan pada kekalahan.
2/
Puisi-puisi kami sudah basi.
Rambut perempuan, malam hari, tirai, dan sofa
Sudah basi.
Segalanya sudah basi.
3/
Negeri duka-citaku,
Secepat kilat
Kau merubah aku dari seorang penyair yang menulis puisi-puisi cinta
Menjadi seorang penyair yang menulis dengan sebilah pisau.
4/
Apa yang kami rasa lebih dari sekadar kata-kata:
Kami harus malu lantaran puisi-puisi kami.
5/
Dikendalikan oleh omong kosong Oriental,
Oleh sombongnya keangkuhan yang tak pernah membunuh seekor lalat pun,
Oleh biola dan beduk,
Kami pergi berperang,
Lalu menghilang.
6/
Teriakan kami lebih lantang ketimbang tindakan kami,
Pedang kami lebih panjang ketimbang kami,
Inilah tragedi kami.
7/
Pendeknya
Kami mengenakan jubah peradaban
Namun jiwa kami hidup di zaman batu.
8/
Kau tak memenangkan perang
Dengan buluh dan seruling.
9/
Ketaksabaran kami
Membayar kami lima puluh ribu tenda baru.
10/
Jangan mengutuk sorga
Jika ia membuang dirimu,
Jangan mengutuk keadaan,
Tuhan memberi kemenangan pada siapa yang Ia kehendaki
Tuhan bukanlah seorang pandai yang dapat kau minta menaklukan senjata.
11/
Betapa menyakitkan mendengar berita pagi hari
Betapa menyakitkan mendengar salak anjing.
12/
Musuh-musuh kami tak melintasi perbatasan kami
Mereka merayap melalui kelemahan kami seperti semut.
13/
Lima ribu tahun
Janggut tumbuh
Di goa-goa kami.
Mata uang kami tak diketahui,
Mata kami sebuah surga bagi serangga.
Kawan,
Bantinglah pintu,
Cucilah otakmu,
Cucilah pakaianmu.
Kawan,
Bacalah buku,
Tulislah buku,
Tumbuhkan kata-kata, anggur dan delima,
Berlayarkah ke negeri kabut dan salju.
Tak seorang pun tahu kau hidup di goa-goa.
Orang-orang mengambilmu untuk pengembangbiakan anjing liar.
14/
Kami adalah orang berkulit tebal
Dengan jiwa yang kosong.
Kami habiskan hari-hari kami dengan belajar sihir,
Main catur dan tidur.
Adakah kami “Bangsa di mana Tuhan memberkati manusia?”
15/
Minyak gurun kami bisa menjadi
Belati nyala api dan api.
Kamilah aib bagi nenek moyang kami yang mulia:
Kami biarkan minyak kami mengalir lewat jemari kaki para pelacur
16/
Kami berlari serampangan di jalan-jalan
Menarik orang-orang dengan tali,
Menghancurkan jendela dan kunci.
Kami memuji bagai katak,
Mengubah orang kerdil jadi pahlawan,
Dan pahlawan menjadi sampah:
Kami tak pernah berhenti dan berpikir.
Di mesjid
Kami tertunduk malas
Menulis puisi-puisi,
Pepatah-pepatah,
Memohon pada Tuhan untuk kemenangan
Atas musuh kami.
17/
Jika aku tahu aku akan datang tanpa kesalahan,
Dan dapat melihat Sultan,
Inilah yang akan kukatakan:
‘Sultan,
Anjing-anjingmu yang liar merobek pakaianku
Mata-matamu mengintaiku
Mata mereka mengintaiku
Hidung mereka mengintaiku
Kaki mereka mengintaiku
Mereka mengintaiku bagai Takdir
Menginterogasi istriku
Dan mencatat nama-nama kawanku.
Sultan,
Saat aku mendekati dindingmu
Dan bicara mengenai lukaku,
Tentara-tentaramu menyiksaku dengan boot mereka,
Memaksaku memakan sepatu.
Sultan,
Kau kehilangan dua perang,
Sultan,
Setengah rakyat kita tanpa lidah,
Apalah gunanya seorang manusia tanpa lidah?
Setengah rakyat kita
Terjebak bagai semut dan tikus
Di sela dinding.’
Jika aku tahu aku akan datang tanpa kesalahan,
Akan kukatakan padanya:
‘Kau kehilangan dua perang
Kau kehilangan kontak dengan anak-anak.’
18/
Jika kami tak mengubur persatuan kami
Jika kami tak merobek tubuh-tubuh segar dengan bayonet
Jika ia berdiam di mata kami
Anjing-anjing tak kan mencincang daging kami membabi-buta.
19/
Kami tidak menginginkan sebuah generasi yang marah
Untuk membajak langit
Untuk meledakkan sejarah
Untuk meledakkan pikiran-pikiran kami.
Kami menginginkan sebuah generasi baru
Yang tak memaafkan kesalahan
Yang tak membungkuk.
Kami menginginkan sebuah generasi raksasa.
20/
Anak-anak Arab,
Telinga jagung masa depan,
Kalian akan memutuskan rantai kami,
Membunuh opium di kepala kami,
Membunuh ilusi.
Anak-anak Arab,
Jangan membaca generasi kami yang tercekik,
Kami hanyalah sebuah kotak tanpa harapan.
Kami sama tak berharganya dengan kulit semangka.
Jangan baca kami,
Jangan turuti kami,
Jangan terima kami,
Jangan terima pikiran kami,
Kami hanyalah bangsa bajingan dan pemain akrobat.
Anak-anak Arab,
Hujan musim semi,
Telinga jagung masa depan,
Kalian adalah generasi
Yang akan mengatasi kekalahan.
*) Nizar Qabbani lahir di ibukota Suriah Damaskus dari keluarga pedagang kelas menengah. Qabbani dibesarkan di Mi’thnah Al-Shahm, salah satu tetangga Damaskus lama. Qabbani menempuh pendidikan di Scientific College School nasional di Damaskus antara 1930 dan 1941. Sekolah tersebut dimiliki dan dijalankan oleh teman ayahnya, Ahmad Munif al-Aidi. Ia kemudian mempelajari hukum di Universitas Damaskus, yang disebut Universitas Suriah sampai 1958. Ia lulus dengan gelar sarjana dalam hukum pada 1945. (Wikipedia)