Simone de Beauvoir adalah tokoh feminisme modern dan ahli filsafat Prancis yang terkenal pada awal abad ke-20 dan juga merupakan pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan ilmu sosial.
Fiksi Dan Puisi
2024-10-14 21:35:00
“Introduction” to the Second Sex oleh Simone de Beauvoir
-
By Rika Febriani
1. Komentar terhadap De Beauvoir
Simone de Beauvoir (1908-1986) merupakan pemikir perempuan yang terkenal pada masanya dan karyanya menjadi penting di dalam gerakan feminis di seluruh dunia hingga pada saat sekarang. Pemikirannya dipengaruhi oleh Hegel dan Heidegger dan teman hidupnya, Sartre. Beberapa pemikirannya juga mempunyai kesamaan dengan Merleau-Ponty tetapi tidak begitu diketahui oleh banyak orang karena Beauvoir sendiri lebih memilih diam, sebuah sikap yang disebut oleh Monika Langer sebagai komitmen pribadinya terhadap Sartre.
Di dalam bukunya Introduction to The Second Sex, Beauvoir menjelaskan tentang situasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Hubungan yang menindas ini berasal dari dua sisi kehidupan perempuan; peran penengah dari struktur politik dan institusi sosial di dalam pembuatan subjektivitas, dan pengalaman hidup dari kebertubuhan perempuan. Beauvoir memulai dengan pertanyaan: “Apakah itu perempuan?”. Dia juga meragukan apakah perempuan masih ada. Ini tentunya adalah pertanyaan metafisika yang ditanyakan dengan ironi tertentu. Di dalam pandangan Beauvoir, tidak ada catatan positif filsafat tentang “Perempuan”; “Perempuan” dikonstruksikan oleh “yang lain” yaitu laki-laki, yang beroperasi untuk menolak nilai positif terhadap kehidupan perempuan. Dengan memahami situasi perempuan kita akan melihat ketidakadilan seksual (dan faktanya ketidakadilan sosial) yang meliputi masyarakat yang hanya bisa diarahkan dengan reorganisasi total dari struktur politik masyarakat. Subjektifitas perempuan berbeda dari laki-laki karena di dalam situasinya saja mereka sudah berbeda.
Perempuan hanya diartikan di dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki mendapatkan status metafisisnya sebagai “the One” (Yang satu) dan perempuan adalah nothing (tidak ada). Beauvoir mengklaim bahwa struktur dyadic diri-yang lain (self-other) tidak berasal dari spesifik jenis kelamin tertentu, tapi lebih kepada struktur umum eksistensi. Hal ini didapat dari analisa Hegel, kategori “yang lain” menjadi dasar kategori “diri”: diri yang dibentuk dan subjektifitas didapat melalui hubungan dengan “yang lain”. Hal ini mengarahkan Beauvoir kepada pertanyaan: mengapa situasi perempuan yang subjektifitasnya terberi bersifat sebagai inferior terhadap laki-laki? Ada dua cabang pemikiran Beauvoir dalam merespon pertanyaan ini. Pertama, melibatkan penjelasan keadaan alamiah kebebasan dan keadaan alamiah situasi. Kedua, berhubungan dengan relasi antara situasi perempuan dan kebertubuhan perempuan.
A. Keadaan alamiah kebebasan dan keadaan alamiah situasi
Di dalam The Ethics of Ambition, Beauvoir berpendapat bahwa eksistensi manusia tidak hanya dualitas bagi dirinya (for-itself) dan dalam dirinya (in-itself), tetapi simultanitas ambiguitasnya. Eksistensi manusia adalah kapasitas subjektifitas untuk mentransendesikan kondisi terberinya dan beban dunia kausal objektif yang berfungsi dengan pengabaian sempurna terhadap rencana seseorang. Ambiguitas juga ada di dalam hubungan kita dengan orang lain. Orang lain yang bagi saya merupakan subjek dan objek, dan hanya saya yang merupakan subjek dan objek bagi diri saya sendiri, jadi saya juga adalah subjek dan objek bagi yang lainnya. Situasi seseorang distrukturkan dengan hubungan resiprositas dengan dunia material, dunia sosial dan tubuh diri seseorang. Kebebasan dan subjektifitasnya terkubur di dalam hubungan interpersonal dan institusi sosial yang membentuk bagian dari situasi seseorang.
Penindasan adalah kekerasan spesifik yang diarahkan kepada kelompok tertentu, yang tujuannya secara sistematik untuk merubah situasi di dalam kelompok tersebut, untuk menghalangi mereka dari kebebasan yang dilihat sebagai kompetisi terhadap kebebasan si penindas. Hal inilah yang dilihat Beauvoir sebagai situasi terberi terhadap perempuan. Beberapa situasi tidak bisa ditransendesikan karena mereka telah terstruktur dan tercermin di dalam tindakan dan keinginan seseorang.
Di dalam The Second Sex Beauvoir menjelaskan berbagai macam proses yang dialami oleh perempuan yang berdampak terhadap subjektifitasnya sebagai “Yang Lain” terhadap laki-laki. Institusi sosial, khususnya perkawinan, menentukan bahwa laki-laki dan perempuan berlawanan satu sama lain dan tidak setara. Bahkan dalam situasi terbaik sekalipun, seperti: perempuan yang menjalani kehidupan mandiri harus terus menerus berkonflik antara kebebasan di dalam dirinya dan takdir keperempuannya yang secara sosial telah terkonstruksikan.
B. Situasi Perempuan dan Kebertubuhan Perempuan
Beauvoir menjelaskan bagaimana situasi perempuan yang terberi sebagai yang inferior. Permasalahan ketidaksetaraan perempuan ini merupakan masalah ontologis dan penjelasan yang diberikan oleh Beauvoir didasarkan kepada ambiguitas tubuh perempuan.
Menurut Beauvoir, moralitas dibutuhkan hanya oleh makhluk hidup karena keabadian tidak didorong untuk menjadi segala sesuatu. Kebebasan merupakan ide temporal yang mengandaikan masa depan dan generasi penerus. Beauvoir memperhatikan kebebasan temporalitas sebagai keinginan ontologis pengabdian para spesies. Dia berfikir bahwa membangun kebebasan manusia sebagai “menjadi” adalah kemungkinan spesies untuk mereproduksi diri. Sehingga ambiguitas eksistensi manusia adalah: transendensi ke arah hal yang bersifat biologis. Ini memberi eksistensi bagi perempuan dan situasi karakter spesifiknya. Tubuh perempuan merupakan “elemen penting di dalam situasinya di dunia” karena memungkinkan dia menghabiskan waktu dan energi berdasarkan fungsi alamiahnya terkait dengan kapasitas reproduksi seperti: menstruasi, kehamilan, menyusui dan lain sebagainya.
Perempuan mengalami konflik yang tidak dialami oleh laki-laki, yang disebut dengan konflik antara spesies dan individual. Perempuan berada diantara kebebasan yang mereka inginkan dan yang mereka dapatkan, pengabdian terhadap kebebasan tersebut juga mengikat perempuan. Kebertubuhan perempuan telah membuat mereka berada di dalam ”takdir fisiologis.” Dengan adanya alasan tersebut telah menguntungkan laki-laki untuk dapat mengeksploitasi perempuan, dengan cara membuat perempuan terkubur di dalam ruang domestik, sementara di lain pihak laki-laki bebas mengejar autentisitasnya, aktifitas mengafirmasi diri.
Beauvoir mengkritisi dengan memainkan nilai jenis kebebasan yang dimungkinkan melalui motherhood. Feminis lainnya seperti Luce Irigaray menuduh Beauvoir telah terjebak dengan memberi penghargaan terhadap perbedaan seksual. Hal ini mungkin karena hasil pandangan Beauvoir mengenai transendensi, dimana para ahli lainnya berargumentasi bahwa konsep gender yang mengandaikan konsepsi diri yang bergantung kepada bentuk kehidupan sosial dan konsep tindakan yang berharga didasarkan atas penahanan perempuan di dalam area domestik.
2. “Introduction” to the Second Sex
a. Pokok Bahasan
Di dalam bab ini Beauvoir ingin mengemukakan keraguannya tentang perempuan. Beauvoir memulai dengan pertanyaan, apakah perempuan benar-benar ada? Jika mereka benar-benar akan selalu ada, baik itu diinginkan atau tidak, tempat seperti apa bagi mereka di dunia ini. Apa yang menjadikan perempuan?
Dimulai dengan pertanyaan: siapakah perempuan? ‘Tota mulier in utero’ yang berarti ‘perempuan adalah kandungan’. Semua orang setuju bahwa perempuan ada di dalam spesies manusia, dan pada saat sekarang kita mengatakan bahwa femininitas berada di dalam bahaya; perempuan terdesak sebagai perempuan, tetap perempuan, dan menjadi perempuan. Kemudian setiap manusia perempuan muda (female) tidak perlu menjadi perempuan dewasa (woman); untuk dapat dipertimbangkan, dia harus membagi dirinya ke dalam realitas yang mengancam yang disebut dengan femininitas. Beauvoir mempertanyakan, apakah feminitas merupakan suatu atribut yang disembunyikan di dalam ovarium? Atau di dalam esensi Platonik, suatu produk imajinasi filosofis? Walaupun beberapa perempuan berusaha mencari esensinya, tapi sangat sulit untuk mendapat jawaban yang jelas.
Konseptualisme telah kehilangan dasarnya. Pengetahuan biologi dan sosial tidak dapat mengakui keberadaan yang menentukan karakter diri manusia, seperti yang diberikan kepada perempuan, orang Yahudi atau Negro. Ilmu pengetahuan melihat karakteristik sebagai reaksi ketergantungan di dalam bagian situasi. Pertanyaan selanjutnya yang diajukan Beauvoir adalah, apakah kata perempuan kemudian mempunyai makna yang spesifik? Hal ini diafirmasi oleh orang yang percaya kepada filsafat pencerahan, rasionalisme, nominalisme. Perempuan bagi mereka adalah manusia yang secara arbitrer didesain untuk penggunaan kata perempuan. Di dalam karya, Modern Woman: The Lost Sex, Dorothy Parker menulis: “I cannot be just to books which treat of woman as woman...My idea is that all of us, men as well as women, should be regarded as human beings.” Beauvoir menganggap hal ini sebagai sesuatu yang menjengkelkan. Tentunya perempuan, seperti laki-laki adalah manusia, tapi hal ini adalah sesuatu yang abstrak. Fakta bahwa setiap manusia selalu bersifat singular, individu yang terpisah. Untuk menolak penerimaan ide feminitas, Yahudi, orang kulit hitam adalah tidak menolak bahwa Yahudi, Negro, dan perempuan masih ada sampai saat sekarang - penolakan ini tidak mewakili kebebasan bagi yang memperhatikan - tetapi lebih kepada lari dari realitas. Beauvoir juga mengejek Trotskyte muda yang menolak kelemahan feminitasnya. Tindakan menentang dari perempuan Amerika telah membuktikan bahwa mereka dihantui oleh rasa feminitasnya. Ketika kita berjalan di luar dengan mata terbuka, sudah cukup jelas terlihat bahwa kemanusiaan terbagi ke dalam dua kelas individu. Bisa jadi perbedaan ini palsu, dan mungkin mereka ditakdirkan untuk menghilang. Tetapi apa yang terjadi adalah perbedaan ini tetap ada.
Pertanyaan siapakah perempuan? Bagi Beauvoir adalah suatu analisa yang panjang. Dia pertama akan menjawab, bahwa “Saya adalah perempuan”. Laki-laki tidak pernah menampilkan dirinya sebagai individu dengan preferensi jenis kelamin tertentu. Terms maskulin dan feminin digunakan secara simetris hanya sebagai bentuk, di dalam dokumen hukum. Pada kenyataaannya, hubungan antara dua jenis kelamin tidak seperti dua kutub elektrik; laki-laki mewakili hal positif dan netral, sementara perempuan direpresentasikan sebagai yang negatif, yang dijelaskan dengan kriteria terbatas, tanpa adanya resiprositas. Perempuan mempunyai ovarium, uterus: keanehan ini terpenjara di dalam subjektifitasnya, mempunyai batas berdasarkan keadaan alamiahnya. Bahkan Aristoteles pun mempunyai pandangan negatif terhadap perempuan: “The female is a female by virtue of a certain lack of qualities”. St.Thomas juga mengatakan perempuan sebagai “laki-laki yang tidak sempurna”, dan “incidental” being.
Menurut Beauvoir kemanusiaan adalah bagaimana laki-laki memberikan arti kepada perempuan, bukan sebagai dirinya tetapi sebagai yang relatif bagi laki-laki tersebut; perempuan tidak dilihat sebagai manusia yang otonom. Penyebutan “the sex” merujuk bahwa laki-laki menganggap perempuan sebagai makhluk yang berjenis kelamin. Bagi laki-laki, perempuan adalah jenis kelamin yang absolut. Maka laki-laki adalah subjek dan Absolut sementara perempuan adalah yang lain (Other).
Kategori Other sama tuanya dengan kesadaran itu sendiri. Di dalam masyarakat yang primitif, seseorang dapat menemukan ekspresi dualitas ini – Diri dan yang lain (Other). Dualitas ini tidak terikat dengan pembagian jenis kelamin; dan juga tidak bergantung dengan fakta empiris. Yang lain menjadi kategori fundamental di dalam pemikiran manusia. Maka tidak ada kelompok yang menggambarkan dirinya tanpa menciptakan yang lain sebagai lawan terhadap dirinya. Seperti: penduduk asli yang melihat pendatang sebagai “yang asing”; Yahudi “berbeda” dengan anti-Semit, Negro “inferior” terhadap para rasis Amerika dan lain sebagainya.
Levi-Strauss di dalam berbagai karyanya tentang masyarakat primitif telah sampai kepada kesimpulan: “Passage from state of Nature to the state of Culture is marked by man’s ability to view biological relations as a series of contrasts; duality, alternation, opposition, and symmetry, whether under definite or vague forms, constitute not so much phenomena to be explained as fundamental and immediately given data of social reality.” Fenomena ini menjadi tidak dapat dipahami jika pada faktanya masyarakat merupakan Mitsein atau persahabatan berdasarkan solidaritas. Jika kita mengikuti Hegel, kesadaran adalah musuh fundamental dari setiap kesadaran yang lain: subjek bisa diletakkan hanya di dalam berlawanan - yang menjadikan dirinya sebagai yang esensial, sebagai yang berlawanan dengan yang lain, tidak penting dan obyek.
Kesadaran yang lain membuat klaim sebaliknya. Penduduk asli suatu negara yang jalan-jalan ke luar negeri terkejut karena menemukan dirinya sebagai “yang asing” oleh penduduk asli negara lain. Maka, terjadilah perang, festival, perdagangan, perjanjian dan kontes diantara penduduk asli, negara dan kelas yang berusaha mencabut konsep “yang lain” dalam makna absolut untuk memanifestasikan relativitasnya; maka mau tidak mau, individu dan kelompok dipaksa untuk sadar akan resiprositas dari hubungan mereka. Yang lain diletakkan sebagaimana mestinya oleh yang satu (the One) dalam menjelaskan dirinya sebagai yang satu (The One). Tapi yang lain tidak mendapatkan status dalam menjadi yang satu (the One), dia harus mematuhi dan menerima pandangan yang lain. Bagaimana apabila kasus ini terjadi kepada perempuan?
Dalam berbagai kasus, yang terjadi adalah mayoritas mendominasi dengan memaksakan aturannya kepada minoritas. Tetapi di dalam halnya perempuan, perempuan bukanlah minoritas, jumlah perempuan dan laki-laki hampir sama di seluruh dunia. Dua kelompok tersebut harusnya bersifat independen, atau mengakui otonominya masing-masing. Tetapi peristiwa sejarah telah memperlihatkan penaklukan yang lemah oleh yang kuat. Mereka ada di dalam kejadian masa lalu, tradisi, dan terkadang di agama dan budaya.
Beauvoir juga melihat hubungan perempuan dan proletariat sebagai sesuatu yang bersifat valid karena mereka dibentuk sebagai minoritas atau unit koletif terpisah dari manusia. Satu peristiwa sejarah dalam dua kelompok tersebut dapat menjelaskan status mereka sebagai kelas dan keanggotaan dari individu partikular di dalam kelas tersebut. Tetapi proletariat tidak selalu ada, berbeda dengan perempuan. Perempuan mempunyai keutamaan di dalam anatomi dan fisiologinya. Di dalam sejarah, mereka selalu disubordinasi oleh laki-laki sehingga ketergantungan mereka bukanlah hasil dari peristiwa sejarah atau perubahan sosial. Alasan mengapa yang lain menjadi absolut di dalam bagiannya adalah kurangnya kontingensi atau kebetulan alami dari fakta sejarah. Kondisi alamiah ini mengatasi kemungkinan perubahan. Keadaan alamiah adalah sesuatu yang terberi, satu untuk semua dan menjadi realitas historis. Jika perempuan tidak pernah menjadi penting, maka hal ini terjadi karena mereka gagal membuat perubahan. Perempuan mendapatkan apa yang (dirancang) diinginkan oleh laki-laki, sementara perempuan sendiri tidak mendapatkan apa-apa, mereka hanya menerima.
Hal ini terjadi karena perempuan kekurangan arti konkrit untuk mengorganisir dirinya menjadi unit yang dapat berhadapan dengan unit yang lainnya. Perempuan tidak seperti proletariat, perempuan tidak punya masa lalu, sejarah ataupun agama, mereka tidak punya solidaritas kerja dan kepentingan. Perempuan tersebar diantara laki-laki, berada di dalam rumah, pekerjaan rumah, kondisi ekonomi dan bahkan lebih jelas daripada perempuan terhadap perempuan lainnya. Jika mereka borjuis, mereka merasakan solidaritas dengan laki-laki di dalam kelas itu, bukan dengan perempuan proletariat. Proletariat bisa melakukan perlawanan kepada kelas penguasa, tetapi perempuan tidak bisa, bahkan untuk dapat bermimpi memusnahkan laki-lakipun tidak bisa. Ikatan yang menyatukan perempuan dengan penekannya tidak bisa dibandingkan dengan yang lain. Pemisahan jenis kelamin adalah fakta biologis, bukan kejadian di dalam sejarah manusia. Perempuan adalah yang lain di dalam totalitas dimana dua komponen dimungkinkan terhadap satu dengan yang lainnya.
Beauvoir melihat pembebasan yang dilakukan oleh kelas pekerja telah melambat. Budak dan tuan yang disatukan dengan kebutuhan resiprokal tidak dapat membebaskan kaum budak. Di dalam hubungan tuan dan budak, sang tuan tidak membuat kebutuhan yang dia punyai untuk yang lain: dia punya kekuasaan untuk meraih kepuasan melalui tindakannya sendiri; sementara budak, di dalam kondisi ketergantungannya, sadar akan kebutuhannya terhadap tuannya.
Perempuan juga selalu menjadi tergantung kepada laki-laki, dua jenis kelamin ini tidak pernah membagi dunia di dalam kesetaraan. Hal ini terlihat di dalam berbagai segi kehidupan: ekonomi, politik dan industri. Ketika perempuan berusaha mengambil bagian di dalam dunia, tetap ini adalah dunia yang dimiliki oleh laki-laki. Laki-laki dengan kekuasaannya akan memberi perempuan perlindungan material dan akan mengambil justifikasi moral dari keberadaan perempuan. Bersamaan dengan kepentingan etis individu untuk menerima keberadaan subjektif laki-laki, juga ada usaha untuk mendahulukan kebebasan. Ketika laki-laki membuat perempuan menjadi yang lain, dia kemudian mengharapkan manifestasi kompleksitas. Sedangkan, perempuan bisa gagal meletakkan klaimnya terhadap status subjek karena kurangnya sumberdaya tertentu, karena dia merasa ikatan yang kuat terhadap laki-laki dan karena dia juga diuntungkan dengan perannya sebagai yang Lain.
Dualitas menimbulkan konflik. Yang menang akan muncul dengan status absolutnya, tetapi kenapa laki-laki harus sudah menang semenjak awalnya? Apakah perubahan ini mengarah kepada hal yang baik? Akankan membawa kesetaraan terhadap laki-laki dan perempuan? Pertanyaan ini tidaklah baru. Tapi fakta bahwa perempuan cenderung curiga terhadap segala justifikasi yang dipunyai oleh laki-laki tidak mampu disediakan. Seperti yang diungkapkan oleh feminis abad ke-17, Poulain de la Barre: “All that has been written about women by men should be suspect, for the men are at once judge and party to the lawsuit.” Laki-laki hanya dapat menikmati hak istimewanya pada sesuatu yang absolut dan abadi, sehingga mereka membuat hukum yang menguntungkan jenis kelaminnya, dan para pembuat hukum kemudian menjadikan hukum sebagai prinsip.
Para legislator, pendeta, filsuf, penulis dan ilmuwan telah berusaha memperlihatkan bahwa posisi subordinat perempuan diinginkan di surga dan diuntungkan di dunia. Agama yang ditemukan oleh para lelaki merefleksikan keinginan ini sebagai dominasi. Kita dapat menemukannya di dalam legenda Hawa dan Pandora dimana laki-laki melindungi perempuan. Semenjak jaman dahulu para moralis memperlihatkan kelemahan perempuan. Terkadang bisa terlihat dengan jelas, seperti hukum romawi yang membatasi hak perempuan dengan alasan ”kesintingan dan ketidakstabilan jenis kelamin” hanya karena kelemahan di dalam keluarga terlihat sebagai ancaman terhadap kepentingan laki-laki. Dan di dalam usaha menjaga perempuan yang menikah, maka St.Agustinus pada abad ke-16 mengatakan bahwa “Perempuan adalah makhluk yang tidak bersifat yang menentukan dan konstan”, pada saat perempuan single mampu mengelola hartanya. Montaigne paham betul dengan kondisi perempuan yang seperti ini, seperti yang diungkapkannya: “Perempuan tidak pernah salah ketika mereka menolak menerima aturan bagi mereka, karena laki-laki telah membuat aturan ini tanpa berkonsultasi dengan mereka. Tidak heran banyak intrik dan perselisihan.” Tapi Montaigne tidak berusaha sejauh apa yang dia bicarakan.
Pada abad ke-18, Diderot mengatakan bahwa perempuan, sama dengan laki-laki adalah manusia. Kemudian muncul John Stuart Mill dengan argumentasinya. Pada Abad ke-19, perkelahian para feminis beranjak kepada perkelahian antar pendukung. Salah satu konsekwensi dari revolusi industrial adalah masuknya perempuan menjadi buruh produktif, dan disinilah klaim feminis timbul dari teori menjadi dasar ekonomis, sementara itu penentang mereka menjadi lebih agresif. Walaupun pemilik tanah kehilangan kekuasaannya, borjuis yang melekat kepada moralitas lama menemukan jaminan di dalam kepemilikan pribadi di dalam keluarga. Perempuan disuruh untuk kembali ke rumah karena emansipasinya telah menjadi suatu ancaman. Bahkan dengan kelas pekerja laki-laki berusaha untuk membatasi kebebasan perempuan.
Dalam membuktikan inferioritas perempuan, anti-feminis berusaha tidak hanya menggambarkan di dalam agama, filsafat dan teologi, sebagaimana sebelumnya, tetapi juga terhadap pengetahuan-biologi, psikologi eksperimental dan lain sebagainya. Kebanyakan jatuh pada “kesetaraan di dalam perbedaan” terhadap jenis kelamin lain. Hal ini sama dengan formula “sama tapi terpisah” dari hukum Jim Crow yang ditujukan kepada Negro di Amerika Utara. Perempuan pada masa sekarang adalah inferior terhadap laki-laki, tapi apakah keadaan ini harus tetap berlanjut?
Banyak laki-laki yang berharap bahwa keadaan ini terus berlanjut. Borjuis konservatif masih melihat emansipasi perempuan sebagai ancaman terhadap moralitas dan kepentingan mereka. Siswa laki-laki baru-baru ini menulis: “setiap siswa perempuan yang belajar kedokteran dan hukum mengambil jatah pekerjaan kita.” Dan kepentingan ekonomi tidak hanya menjadi hal utama yang diperhatikan.
Laki-laki yang paling mediocre merasa dirinya setengah dewa jika dibandingkan dengan perempuan. Lebih mudah bagi M.de Montherland berfikir dirinya sebagai pahlawan ketika berhadapan dengan perempuan dibandingkan dengan dia yang bertindak sebagai laki-laki diantara para laki-laki.
Berbagai contoh telah diperlihatkan oleh Beauvoir mengenai sikap maskulin, tetapi laki-laki terus diuntungkan di dalam bentuk yang hampir tidak kentara dari yang lain. Dan parahnya, laki-laki telah menderita inferiority complex, tidak ada yang lebih arogan kepada perempuan, lebih agresif dan menghina, selain daripada laki-laki yang cemas akan kejantanannya. Mereka tidak bisa disalahkan karena tidak bahagia terlepas dari segala keuntungan yang berasal dari mitos, sementara mereka gagal untuk menyadari apa yang mereka dapatkan dari perempuan di masa yang akan datang. Penolakan untuk meletakkan diri sebagai subjek yang unik dan absolut membutuhkan penolakan diri yang besar. Mayoritas laki-laki tidak membuat klaim tersebut secara eksplisit. Mereka tidak mempostulatkan perempuan sebagai yang inferior, sekarang mereka terilhami dengan demokrasi ideal untuk tidak mengenali seluruh manusia sebagai sesuatu yang setara.
b. Kesimpulan dan Kritik
Di dalam bab Introduction of Second Sex ini, Beauvoir masih berada di tahap awal penjelasan akar ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki. Dimulai dari pertanyaan siapakah perempuan, dan jawaban dari berbagai filsuf dimulai dari Plato, kemudian St.Agustinus dan beberapa pemikir Perancis seperti Diderot dan Montherland tidak dapat menjelaskan siapa perempuan sebenarnya. Pertanyaan tentang siapa perempuan? terus menerus diragukan di dalam seluruh bab ini. Perempuan dilihat sebagai objek hasil kontruksi oleh laki-laki. Sejarah dan sistem sosial juga adalah hasil konstruksi laki-laki. Perempuan terberi di dalam kondisi ini. Sementara itu, dominasi laki-laki dan perempuan ini berbeda dengan jenis dominasi lainnya seperti dominasi kelas (borjuis dan proletar), yahudi dan kulit hitam. Jenis lain dari dominasi ini dimungkinkan untuk dapat terjadi pembebasan dan perlawanan, tetapi tidak dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Seperti kebanyakan kritik terhadap feminisme, pola pikir feminisme mendasarkan kepada oposisi biner, yang menempatkan laki-laki sebagai lawan terhadap perempuan. Pandangan ini menurut saya tidak bisa melihat apa yang terjadi dengan perempuan di abad-21 dimana banyak perempuan bisa terus berkarya dan menjadi pemimpin yang setara dengan laki-laki. Tanpa harus merasa ditindas. Hal ini dimungkinkan dengan perubahan sudut pandang masyarakat, pengaruh sistem adat dan sistem di dalam keluarga. Gerakan feminis juga mempunyai banyak aliran dimana pandangan yang satu secara substansial berbeda dengan yang lainnya. Hal ini tentunya menjadi sulit dalam perjuangan demi mencapai kesetaraan gender. Alih-alih menciptakan dunia yang setara, membereskan pandangan di dalam satu aliran pemikiran saja belum selesai di dudukkan.
*) Rika Febriani adalah mahasiswa program Doktoral Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada